Beranda Nasional Jogja Angka Penularan Covid-19 di DIY Masih Tinggi, Keraton Yogyakarta Tiadakan Rangkaian Tradisi...

Angka Penularan Covid-19 di DIY Masih Tinggi, Keraton Yogyakarta Tiadakan Rangkaian Tradisi Sekaten Miyos Gangsa hingga Garebeg Mulud

Wisatawan sedang memfoto para pemain karawitan di sela pembukaan pameran Sekaten di Keraton Yogyakarta. Foto: TEMPO/Pribadi Wicaksono via Tempo.co

YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Keraton Yogyakarta memutuskan untuk tidak menggelar berbagai tradisi dalam rangkaian perayaan Sekaten, yang akan dilangsungkan pada 22-29 Oktober mendatang. Hal itu lantaran situasi pandemi Covid-19 yang belum juga reda.

“Untuk rangkaian kegiatan Hajad Dalem (perayaan/selamatan oleh raja Keraton) berupa Miyos Gangsa, Kondur Gangsa, dan Garebeg Mulud ditiadakan,” ujar Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura atau Sekjen Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono, Minggu (11/10/2020).

Peniadaan seluruh kegiatan itu demi menaati anjuran pemerintah dan menjaga kondusivitas selama masa tanggap darurat Covid-19 di Yogyakarta yang kembali diperpanjang menyusul masih tingginya kasus baru penularan virus corona.

Perayaan Sekaten yang akan berlangsung pada 22-29 Oktober Tahun Jimakir 1954/2020 sedianya akan diawali dengan serangkaian tradisi. Salah satunya yakni Miyos Gangsa, yang merupakan rangkaian pengawal Sekaten yang digelar sebagai tradisi menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Prosesi itu ditandai dengan keluarnya sepasang gamelan pusaka Keraton, gamelan Sekati, yakni Kanjeng Kiai Naga Wilaga dan Kanjeng Kiai Guntur Madu untuk dibawa ke Masjid Gedhe Kauman.

Selama tujuh hari berturut, dua gamelan pusaka itu akan ditempatkan di Pagongan Lor dan Kidul Masjid Gedhe Kauman untuk dimainkan sebelum akhirnya dibawa masuk kembali untuk disimpan sebagai bagian pusaka Keraton.

Baca Juga :  Talud Longsor di Bantul Rusak Dua Unit Rumah

Prosesi pengembalian gamelan pusaka itu dari Masjid Kauman ke Keraton sendiri disebut tradisi Kondur Gangsa. Sebelum prosesi Kondur Gangsa dimulai, biasanya Raja Keraton Yogya, Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, akan hadir untuk prosesi tradisi Nyebar Udhik-Udhik di Pagongan Lor dan Kidul Masjid Gedhe Kauman.

Udhik-Udhik itu biasanya berisi beras, bunga dan uang logam sebagai simbolisasi upaya seorang pemimpin untuk selalu berusaha menyejahterakan rakyatnya.

Ribuan wisatawan biasanya memadati prosesi arak-arakan gamelan pusaka itu di area Alun-Alun Utara, baik saat gamelan dikeluarkan maupun saat dibawa masuk kembali ke Keraton yang dikawal ratusan abdi dalem dan prajurit keraton itu.

Tetap Digelar Terbatas

Puncak rangkaian perayaan Sekaten adalah Garebeg Mulud, yang digelar sebagai peringatan hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW yang jatuh tepat pada 12 Rabiulawal. Dalam tradisi Garebeg itu, para prajurit keraton akan mengawal keluarnya gunungan dari dalam keraton yang kemudian dikirab menuju ke Masjid Gedhe Kauman.

Baca Juga :  Kasus DBD di Yogyakarta Melonjak, Warga Diimbau Waspada Musim Hujan

Setelah Gunungan selesai didoakan oleh Kyai Penghulu Keraton maka warga dan wisatawan berama-ramai berebut ubo rampe (makanan sesaji) yang dipercaya mendatangkan berkah.

Gusti Condrokirono menuturkan, meski tradisi kali ini ditiadakan secara terbuka, keraton tetap melakukan penyesuaian prosesi rangkaian tradisi itu dengan cara membagikan gunungan secara simbolis dan terbatas bagi abdi dalem. “Pembagian gunungan secara terbatas itu tidak mengurangi esensi dan filosofi Garebeg itu sebagai bentuk konsistensi pelestarian budaya,” ujarnya.

www.tempo.co