YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Saluran drainase di Selokan Mataram, tepatnya di daerah Mayangan, Trihanggo, Gamping, Kabupaten Sleman mengalami ambles.
Hal itu diduga mengakibatkan meluapnya air dari saluran yang dibangun di masa penjajahan Jepang tersebut dan membanjiri areal persawahan, Kamis (15/10/2020).
Akibat kerusakan itu, Balai Besar Wilayah Serayu Opak (BBWSO) selaku penanggungjawab saluran sepanjang lebih dari 30 kilometer itu harus mengeringkan dan menghentikan aliran airnya dulu.
Padahal saluran yang menjadi kanal irigasi yang menghubungkan Kali Progo di bagian barat dan Sungai Opak di bagian timur itu selama ini mengairi tak kurang 5.140 hektar lahan petani, baik di Kabupaten Sleman, Bantul, hingga Kulon Progo.
“Waktu untuk perbaikan Selokan Mataram ini kami perkirakan 7-10 hari, sesuai kebutuhan pengerasan beton untuk melindungi drainase yang amblas itu,” ujar Kepala BBWSO Jawa Tengah- DIY, Dwi Purwantoro saat mengecek kondisi Selokan Mataram Jumat (16/10/2020).
Purwantoro menuturkan perbaikan musti dilakukan secara hati-hati karena saluran air yang tengah diusulkan sebagai cagar budaya itu selama 45 tahun terakhir belum pernah rehabilitasi total atau perbaikan besar. Sampai saat ini, saluran itu baru di-betonisasi, itu pun 20 tahun silam.
Sejarah Selokan Mataram selama ini memang sudah cukup familiar, khususnya oleh warga Yogyakarta. Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) D.I Yogyakarta melansir di masa penjajahan Jepang, saat itu Yogya termasuk daerah yang sedianya juga mendapat kebijakan kerja paksa yang dikenal dengan nama romusha.
Kebijakan kerja paksa ini diberlakukan Jepang kepada semua warga yang ada di bekas jajahan Belanda saat itu untuk dikirim ke berbagai daerah di nusantara serta luar negeri. Tujuannya demi membangun berbagai proyek kepentingan legitimasi Jepang di daerah jajahannya.
Namun kala itu, Sultan Hamengku Buwono IX tak tinggal diam dan berupaya menyelamatkan warganya dari kebijakan romusha itu.
Sultan HB IX dengan kedudukannya sebagai raja, mengusulkan kepada Jepang agar tenaga romusha dari Yogyakarta bisa bekerja di daerahnya sendiri.
Saat itu, Sultan HB IX beralasan kepada Jepang bahwa Yogya adalah daerah kering dan hasil buminya hanya singkong yang diolah menjadi gaplek.
Sultan saat itu menjelaskan yang dibutuhkan Yogya agar hasil buminya melimpah dan berkualitas serta berkontribusi positif bagi Jepang adalah saluran pengairan.
Akhirnya, usulan Sultan itu disetujui Jepang dan warga Yogya yang seharusnya dijadikan romusha ke berbagai daerah tak jadi dikirimkan.
Mereka diarahkan untuk bekerja di daerahnya sendiri dengan membangun sebuah saluran irigasi pada 1944 yang dinamai Kanal Yoshiro atau kini dikenal dengan nama Selokan Mataram.
Dwi Purwantoro menuturkan perbaikan Selokan Mataram dengan cara penutupan total itu akan dilakukan dari hulu hingga hilir aliran selokan.