JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law telah resmi menjadi undang-undang usai ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (2/11/2020) kemarin. Namun sehari berselang, ditemukan sejumlah kesalahan penulisan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tersebut.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menemukan kesalahan ketik di dua pasal yang ada di UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang telah diteken Presiden Jokowi, yakni pada Pasal 6 dan Pasal 53.
“Terdapat kesalahan di Pasal 6 dan Pasal 53, tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani,” ujar Bivitri dikutip Tempo.co pada Selasa (3/11/2020).
Bivitri merinci, kesalahan pertama terdapat pada Pasal 6 Bab III, mengenai Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha yang ada di halaman 6 UU Cipta Kerja.
Pasal 6 di bagian tersebut menyebutkan, “Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a meliputi…(ada empat huruf, a sampai d, yang menjabarkan apa saja peningkatan ekosistem)”.
Yang menjadi permasalahan, ternyata dalam Pasal 5 yang dirujuk oleh Pasal 6 tidak memiliki ayat tambahan apapun. Tidak ada ayat 1 huruf a seperti yang dirujuk pada Pasal 6.
Kesalahan kedua, terdapat pada Pasal 53 Bab XI mengenai Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja, bagian kelima tentang izin, standar, dispensasi, dan konsesi, yang ada di halaman 757. “Ayat 5 pasal itu harusnya merujuk ayat (4), tapi ditulisnya ayat (3),” ujar Bivitri.
Dua kesalahan yang menurut Bivitri adalah kesalahan penulisan ini, ditegaskannya tidak bisa dianggap remeh karena UU sudah ditandatangani oleh Presiden, sehingga pasal-pasal di dalamnya tidak bisa lagi diperbaiki secara sembarangan.
“Apa dampak hukumnya? Pasal-pasal yang sudah diketahui salah, tidak bisa dilaksanakan. Karena dalam hukum, tidak boleh suatu pasal dijalankan sesuai dengan imajinasi penerap pasal saja, harus persis seperti yang tertulis,” ujar dia.
Cara memperbaikinya, ujar Bivitri, hanya bisa dilakukan dengan mengeluarkan Perpu. “Jika pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan Perpu, karena UU ini tidak bisa diubah begitu saja,” ujar dia.
Kesalahan-kesalahan ini, kata Bivitri, tentu akan semakin memperkuat alasan melakukan uji formal ke Mahkamah Konstitusi untuk meminta Omnibus Law dibatalkan. Selain itu, kata dia, kesalahan ketik ini semakin memperjelas buruknya proses legislasi yang dilakukan.
“Seakan-akan mengerdilkan makna pembuatan UU, padahal UU itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya. Ini akibatnya kalau tujuan buruk menghalalkan segala cara,” ujar Bivitri.