SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kejaksaan Negeri (Kejari) Sragen memutuskan menghentikan penanganan laporan dugaan penyimpangan lelang dan pengelolaan proyek fisik di DPUPR Sragen tahun 2018 dengan terlapor Kepala DPUPR Sragen, Marija.
Penghentian itu dilakukan lantaran laporan dari Lembaga Kesatuan Pengawasan Korupsi RI (KPKRI) Sragen yang diterima beberapa waktu lalu, ternyata tidak cukup bukti.
Hal itu disampaikan Kepala Kejari Sragen, Sinyo Beny Redy Ratag melalui Kasi Intel, Dibto Brahmono, Rabu (4/11/2020). Ditemui di ruang kerjanya, Dibto mengatakan keputusan penghentian itu diambil setelah dilakukan klarifikasi terhadap pihak pelapor, terlapor dan beberapa pihak terkait baru-baru ini.
“Kita sudah melakukan klarifikasi terhadap pelapor apakah mereka memiliki alat-alat bukti untuk menjerat seperti yang diadukan, ternyata sampai dengan kita klarifikasi, pelapor tidak dapat menunjukkan alat bukti dan mereka juga tidak memiliki saksi,” paparnya.
Karena tidak didukung alat bukti dan saksi, sehingga pihaknya memutuskan bahwa laporan tersebut tidak bisa ditindaklanjuti. Dibto menyampaikan dalam laporan yang dilayangkan, pelapor juga tidak mencantumkan bukti.
Menurutnya, mereka hanya melampirkan foto waktu penandatanganan surat pernyataan saat membuat laporan.
Dokumen surat atau perjanjian kesepakatan yang diklaim sebagai bukti juga tidak ada.
Atas hal itu, Dibto mengatakan hendaknya kasus ini bisa menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Bahwa jika ingin membuat laporan dugaan penyimpangan sesuatu, hendaknya harus berdasarkan dengan hukum acara.
Sehingga laporan bisa ditindaklanjuti sampai proses perkara. Ia menyebut mengacu pasal 183 KUHAP, untuk bisa diproses, minimal harus ada dua alat bukti.
Kemudian dua alat bukti itu plus keyakinan hakim apabila sudah sampai di persidangan.
“Alat bukti itu apa, dirinci di pasal 184 KUHAP. Ada 5 yang masuk alat bukti. Yakni keterangan saksi, tersangka atau terdakwa atau terduga, keterangan ahli, surat petunjuk dan petunjuk,” jelasnya.
Meski tak bisa ditindaklanjuti, Dibto mengatakan seandainya di kemudian hari ada alat bukti, maka laporan itu bisa dibuka lagi.
“Mereka (pelapor) waktu kita klarifikasi, sudah tahu kekurangan mereka yakni tidak ada alat bukti yang kuat,” tandasnya.
Sebelumnya, laporan dugaan penyalahgunaan wewenang dan jabatan terhadap proyek 2018 itu dilaporkan oleh DPD Komite Pengawasan Korupsi RI (KPK RI) pada medio September 2020 lalu.
Ketua DPD KPKRI, Eko Prihyono saat itun mengatakan melaporkan Kepala DPUPR sebagai penyelenggara negara atas dugaan pelanggaran pasal 12 e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pelanggaran tersebut berkaitan dengan permintaan sesuatu pada seseorang terkait jabatannya sebagai penyelenggaara negara.
”Permintaan yang dimaksud nanti setelah secara spesifik sudah diterima kejaksaan. Berhubungan dengan barang atau jasa dengan menjanjikan sesuatu pada orang yang dimintai,” paparnya kepada wartawan.
Eko menyampaikan laporan dilakukan bukan asal, tapi pihaknya juga sudah mengantongi bukti otentik maupun saksi yang menguatkan laporannya.
Bahkan bukti-bukti perjanjian bermaterai yang menyangkut urusan proyek fisik juga sudah di tangannya.
”Laporan kami lebih menyoroti indikasi pelanggaran penyalahgunaan wewenang dan jabatannya sebagai penyelenggara negara,” terang Eko.
Sekretaris KPK RI, Wagiyanto menimpali salah satu indikasi pelanggaran yang dilaporkan adalah 5 titik proyek fisik yang dikerjakan 2018.
Dari analisa dan pencermatannya, timnya mengendus ada kebocoran yang mengakibatkan kerugian negara.
Menurutnya pada 5 titik proyek itu, negara berpotensi dirugialkan Rp 2,6 miliar.
“Oleh karena itulah kami bersurat ke Kejaksaan dan melapor secara resmi hari ini. Harapannya bisa segera diusut tuntas dan diproses hukum,” terangnya. Wardoyo