SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM — Memiliki latar belakang pendidikan Sejarah, Christianto Dedy Setyawan, Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo memberikan pandangan perihal pandemi Covid-19 dari sisi keilmuannya tersebut.
Hal itu ia tuangkan dalam esai ‘Belajar dari Pandemi Pes di Awal Abad ke-20’ yang meraih Juara 2 pada Sayembara Penulisan Sastra 2020 gelaran HMPS Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma (USD), Bengkel Sastra USD, dan Bengkel Jurnalistik USD.
Melalui esai ini, Chris ingin menyegarkan ingatan masyarakat bahwa Indonesia pernah beberapa kali mengalami situasi pandemi, khususnya pandemi Pes pada era kolonial Belanda. Hal spesifiknya memang tidak sama persis dengan situasi saat ini. Namun, ada pembelajaran, nilai moral, serta pengalaman dari pandemi Pes tersebut yang dapat diambil dan menjadi cerminan berharga.
“Dari segi penanganan wabah, arus pertentangan di masyarakat, pengelolaan kepanikan publik, transparansi data, pengobatan yang berkelanjutan, hingga pola hidup yang ditanamkan di masyarakat. Kita dapat belajar banyak dari sana,” paparnya, Senin (25/1/2021).
Chris menyoroti kemunculan kasus penderita Pes di Malang pada tahun 1910 yang awalnya diabaikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka cenderung menganggap sepele wabah penyakit baru bernama Pes dan berulang kali menyangkal terjangkitnya masyarakat oleh Pes .
Pemerintah, imbuh Chris, baru bergegas menangani Pes ketika terjadi lonjakan warga yang meninggal secara misterius pada April 1911. Hal itu disebut Chris semakin menunjukkan unsur kemiripan dengan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, di mana kebijakan karantina wilayah yang terbilang setengah hati.
Mengacu pada pengalaman sejarah tersebut, setidaknya terdapat tiga hal yang menurut Chris perlu dipertegas dalam upaya menghadapi Covid-19. Pertama, memupuk kesadaran masyarakat perihal bahaya Covid-19.
“Melihat pengalaman pemerintah Belanda yang terlambat bereaksi, seharusnya kita pun tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama,” ujarnya.
Kedua, pentingnya mematuhi aturan pemerintah dan memulainya dari diri sendiri. Chris mencontohkan, ketika pandemi Pes merebak di Malang, perilaku masyarakat yang tidak menjaga kebersihan area tempat tinggal turut andil dalam tingkat persebaran penyakit.
Keinginan untuk sesekali melanggar peraturan, kata Chris, hanya akan merugikan diri dan orang banyak. Sekalipun kebijakan negara dalam penanganan pandemi ini terkadang membuat heran, tapi jangan sampai menjadi dalih pembenaran untuk bertindak seenaknya. Dan ketiga, yakni perlunya berpikir jernih dalam menghadapi beragam informasi di era pandemi ini.
“Hendaknya sejarah tidak sekadar dijadikan sebagai lembaran usang yang dianggap mutlak masa lalu saja. Akan tetapi, dijadikan pijakan penting untuk maju bersama dan bekal wawasan agar langkah ke depannya menjadi semakin baik,” jelas Chris. Prihatsari