
SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Aktivis pemerhati hewan anjing yang tergabung dalam Koalisi Dog Meat Free Indonesia (DMFI) Solo kembali mengungkap fakta mencengangkan soal praktik perdagangan anjing liar untuk konsumsi yang digawangi juragan-juragan asal Sragen.
Dari hasil investigasi mereka, ribuan anjing liar yang diperdagangkan oleh pengepul-pengepul asal Sragen ternyata diangkut secara sadis dan tak beperikehewanan.
“Videonya kita ada. Proses pengangkutannya itu sangat kejam. Anjing diikat mulut dan kakinya
dan ikatan mereka tidak dapat bernafas. Sehingga itu rentan membuat pembuluh darah mereka membeku. Yang kedua anjing itu tidak diberi makan maupun minum selama perjalanan,” papar Koordinator DMFI Solo, Mustika Cendra kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Jumat (29/1/2021).
Aktivis yang akrab disapa Cik Meme itu juga mengungkap tak hanya kekejaman selama pengangkutan, cara pemindahan mereka dari satu truk ke truk lain untuk dijual, juga melampaui batas.
Yakni, anjing-anjing itu dipindahkan dengan cara dikarungi dan dilemparkan begitu saja.
“Dari bak truk dari tempat ke truk lain cuma dilempar. Videonya kita juga ada,” tuturnya.
Cik Meme juga mengungkap ada indikasi anjing-anjing yang didatangkan dari Jawa Barat dan Jawa Timur ke Sragen itu memang tak ada jaminan sehat atau bebas rabies.
Sebaliknya, ribuan anjing yang dipasok ke Sragen itu diperkirakan dipungut dari anjing hasil curian, kemudian dari ternak liar atau bahkan dari anjing rawatan yang pemiliknya sudah tak sanggup merawat .
“Karena ada anjing kurus pun ikut dipasok dan dibeli juga. Karena itu nanti laku dijual kulit dan organnya. Ini kan sudah sangat ngeri. Siapa yang bisa menjamin anjing-anjing itu bebas penyakit. Kalau toh anjing itu anjing rawatan atau ternak, nggak akan mungkin dijual di bawah Rp 500.000. Karena biaya perawatan saja bisa jutaan perbulan. Lalu untuk sekali vaksin saja bisa Rp 200.000. Sedangkan dari pengepul di Sragen itu jualnya maksimal di kisaran Rp 700.00-800.000,” tandasnya.
Ia juga mengatakan dari hasil pengecekan timnya ke lapangan, di Gemolong saja ada sekitar 6 sampai tujuh warung ya menjual menu berbahan daging anjing.
Mereka ada yang terang-terangan memasang tulisan warung Guguk namun sebagian ada yang terselubung tanpa tulisan.
“Jadi kalau dinas bilang di sana hanya ngepul saja dan tidak ada yang motong, itu nggak benar. Karena kami lihat sendiri di lapangan, mereka (pengepul) ada yang buka warung dan motong juga,” jelasnya.
Wanita yang akrab disapa Cik Meme itu mengungkap salah satu warung guguk terbesar ada di wilayah dekat pengepul yakni di Mijahan, Ngembat Padas, Gemolong.
Di salah satu pintu masuk gang wilayah itu, berdiri warung dengan terang-terangan memajang poster Warung Rica Guguk. Kemudian di wilayah lainnya di Gemolong juga ada warung-warung serupa meski kapasitasnya tak sebesar di Mijahan.
“Di Sragen juga ada. Yang sementara kami temukan di Gemolong saja ada 6 sampai 7 warung. Kalau dengan di Sragen mungkin bisa belasan warung,” tuturnya.
Cik Meme juga mengungkapkan di warung Mijahan itu, pemilik juga memajang anjing yang masih hidup dan dijual siap masak satu ekor. Harganya dipatok Rp 700-800.000.
Menurutnya fakta itu membuktikan bahwa praktik yang terjadi di Gemolong Sragen tak hanya pengepulan saja tapi mereka juga buka warung dan memotong daging anjing untuk dijual kuliner.
Ia juga meyakini bahwa angka belasan itu baru yang terdeteksi secara kasat mata. Jumlah riilnya diduga masih banyak lagi. Fenomena gunung es itu sudah terbukti di Karanganyar.
“Waktu di Karanganyar, Pak Bupati Juliyatmono waktu survei hanya nemukan sedikit warung. Tapi waktu ditutup dapat kompensasi, jumlahnya banyak dan akhirnya semua pada ngaku. Yang warung besar di Mijahan itu nyediakan anjing hidup, pembeli tinggal milih. Harga Rp 800.000 itu sudah termasuk dipotong dan dimasakkan.
Pembeli bisa milih posisi anjing yang masih hidup,” terangnya.
Atas fakta itu, ia meminta Pemkab dan Disnakkan tak lagi ragu untuk segera mengambil tindakan tegas menutup dan menghentikan praktik perdagangan anjing liar untuk konsumsi itu.
Selain melanggar aturan karena anjing bukan konsumsi, hal itu semata-mata demi menyelamatkan manusia dari ancaman penyakit rabies. Sebab anjing-anjing yang didatangkan dari Jawa Barat dan luar kota itu diyakini adalah anjing yang tidak beres dan tak ada jaminan sehat.
“Maka dari itu kami berharap Bupati segera menyusun Perda agar praktik ini bisa dihentikan. Nanti Senin depan kami akan bertemu dengan Disnakkan untuk mengungkap fakta dan temuan kami di lapangan,” tandasnya. Wardoyo
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.













