YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pandemi Covid-19 ibarat buah simalakama bagi pihak rumah sakit swasta.
Bagaimana tidak, selain persoalan klaim biaya perawatan pasien Covid-19 untuk rumah sakit swasta yang terkendala, pihak rumah sakit swasta juga merasakan kesulitan memberikan insentif bagi para tenaga kesehatan (nakes) yang terlibat dalam penanganan Covid-19.
Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) cabang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencatat, kekuatan nakes untuk rumah sakit swasta di DIY yang terlibat menangani Covid-19 saat ini mencapai sekitar 5.000 nakes.
Mereka bekerja di 56 rumah sakit swasta anggota ARSSI cabang DIY.
Sejauh ini para nakes tersebut mengalami penurunan pendapatan.
“Ada sekitar 5.000 nakes yang tersedia dan terlibat dalam penanganan COVID-19. Sejauh ini mayoritas mereka mengalami penurunan pendapatan,” kata Sekretaris ARSSI cabang DIY dr Bima Achmad Bina Nurutama, belum lama ini.
Ia menjelaskan, meski mengalami penurunan pendapatan, para nakes tersebut masih sedikit terbantu dari insentif yang diberikan oleh pemerintah.
Akan tetapi, masih banyak rumah sakit swasta yang merasakan dilema lantaran terdapat nakes yang terlibat dalam penanganan COVID-19 akan tetapi tidak mendapatkan insentif dari pemerintah.
Alasannya para nakes yang tidak mendapat insentif tersebut lantaran berdasarkan regulasi Kemenkes, setiap rumah sakit hanya dapat mendaftarkan beberapa nakes yang terlibat dalam penanganan COVID-19.
“Nah, ini yang membuat kami di rumah sakit swasta dilema,” terang dia.
Pria yang kerap disapa Bima ini menambahkan, tak sedikit para nakes yang terlibat namun tidak mendapat insentif dari pemerintah akhirnya mengundurkan diri dari tugas.
Karena dalam regulasi dari Kemenkes belum ada aturan yang mengakomodir pemberian insentif bagi nakes yang tidak terverifikasi data Kemenkes tapi terlibat penanganan COVID-19.
“Akhirnya nakes tersebut walau dibutuhkan, tapi tidak masuk insentif Kemenkes akhirnya mengundurkan diri,” imbuhnya.
Bima belum memastikan, berapa jumlah nakes yang mengundurkan diri lantaran tidak mendapat insentif tambahan dari pemerintah.
Namun yang pasti, persoalan insentif para nekes rumah sakit swasta tersebut dikembalikan ke masing-masing rumah sakit.
“Kalau rumah sakit memadai otomatis akan membuatkan insentif sendiri. Tapi hanya sekelompok kecil yang menganggarkan insentif sendiri,” tegas Bima.
Di satu sisi, apabila terdapat anggaran sebesar Rp 400 juta untuk gaji karyawan selama 3 bulan, dan harus dibagi rata ke semua nakes dalam satu rumah sakit termasuk yang tidak terverfikasi ke Kemenkes, maka akan menimbulkan kecemburuan internal di rumah sakit.
Bima juga khawatir hal itu dapat menimbulkan persoalan atau temuan di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Misalkan uang turun Rp 400 juta, harus dibagi rata dengan seluruh nakes, lah itu bisa beropetensi diperiksa dan jadi temuan BPKP. Karena dalam proses penyaluran harus sesuai nama,” urainya.
ARSSI DIY belum memastikan rumah sakit swasta mana saja yang belum menerima suntikan insentif dari pemerintah.
Namun, sejauh ini dirinya menegaskan bahwa pemberian insentif untuk nakes tersebut masih terbilang lancar.
“Sejauh ini masih lancar kok. Cuma ya kendalanya bagi nakes yang terlibat penanganan COVID-19 tapi tidak mendapat insentif ini,” tegasnya.
Ia juga belum memastikan berapa jumlah nakes yang terlibat penanganan COVID-19 akan tetapi mengundurkan diri.