WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM — Bagi warga Desa Ngabeyan Kecamatan Sidoharjo Wonogiri, keberadaan Watu Lumpang sudah lama diketahui. Namun demikian belum ada yang bisa menunjukkan siapa pemilik pertama batu tersebut serta darimana asalnya.
Watu Lumpang merupakan batu hitam berbentuk lumpang atau tempat menumbuk padi secara tradisional. Batu ini berada di Dusun Craken RT 2 RW 4, Desa Ngabeyan, Kecamatan Sidoharjo, Wonogiri. Ada yang mengatakan, konon terdapat batu berbentuk alu atau penumbuk padi sebagai pelengkap lumpang. Tapi saat ini tidak dijumpai adanya alu.
Watu Lumpang saat ini berada di pekarangan rumah milik Patmo Wiyono, warga setempat. Diameter batu lumpang itu diperkirakan sekitar satu meter dengan ketebalan batu sekitar 40 sentimeter. Lalu di tengah batu terdapat cekungan sedalam 20 sentimeter dan diameter sama. Terdapat satu buah batu berukuran panjang sekitar 40 sentimeter dan lebar 30 sentimeter berada sejajar di samping Watu Lumpang.
Kepala Dusun (Kadus) Craken, Desa Ngabeyan, Sidoharjo, Ngadiman saat dijumpai awak media, Senin (8/2/2021) mengatakan sejak kecil, Watu Lumpang sudah ada di daerahnya. Bahkan kemungkinan sudah ada sejak nenek moyang.
“Tapi asalnya darimana, milik siapa, siapa yang membuat, tidak ada yang tahu,” kata dia.
Ngadiman menyebut, watu lumpang oleh warga sekitar sudah dianggap sebagai punden. Ketika ada warga menggelar hajatan pernikahan dan sebagainya, situs itupun masih diberi sesajen. Oleh warga, sajen itu disebut panjang ilang berupa janur dan diisi dengan sejumlah sesaji.
Dari cerita masyarakat sampai saat ini, kata Ngadiman, di tempat itu didiami oleh sosok jin penunggu. Namun begitu, tak semua orang dapat melihat wujud makhluk astral yang mendiami tempat itu.
“Katanya sosok perempuan berpakaian putih-putih,” jelas dia.
Awalnya, tutur Ngadiman, watu lumpang itu hanya tergeletak di pojok pekarangan warga yang digarap sebagai ladang. Berdasar cerita turun temurun, batu itu sempat dibuang ke sungai yang berada di sisi utar pekarangan. Anehnya, tanpa diketahui keesokan harinya, batu itu sudah kembali ke tempat semula.
“Dulunya dibiarkan saja. Baru setahun ini dibangun gubuk kecil sebagai pelindung batu lumpang ini. Ada sih pengunjung yang datang, tapi kebanyakan siang hari dan hanya foto-foto saja, sudah,” terang dia.
Lantaran sudah menjadi nurani orang Jawa, imbuh Ngadiman, batu lumpang itu oleh warga setempat dibalut menggunakan kain adat Bali. Soal bobot batu lumpang tidak ada yang mengetahui. Tapi dipastikan seandainya diangkat tiga orang tidak akan mampu.
“Tidak maksud musyrik atau apa. Itu sengaja dibalut kain adat Bali, ya biar kelihatan bersih saja,” ujar dia.
Ngadiman mengakui jika jaman dahulu, Watu Lumpang sempat menjadi tujuan alternatif tempat ritual banyak orang. Namun saat ini jarang sekali ada yang menggelar ritual di tempat itu.
“Jaman dulu banyak warga luar Ngabeyan datang ke sini. Maklum waktu itu masih musim kupon nomor Togel. Jadi,mereka “nepi” (tirakat) di sini, biar dapar bisikan gaib soal kupon Togel itu. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi orang nepi di sini,” ujar dia.
Selain itu, imbuh dia, air yang terdapat pada cekungan Watu Lumpang sempat dikeramatkan. Air di lubang batu itu dahulu kala jadi buruan para pemilik ayam aduan. Kabarnya, jika ayam aduan itu diberi air watu lumpang dipercaya dapat memberi kekuatan terhadap ayam aduan sehingga saat diadu bisa menang.
Air kemungkinan berasal dari hujan atau embun yang tertampung di dalam cekungannya. Aria