SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM -Pemkab Sragen mengakui ada 22 warung kuliner berbahan daging anjing yang beroperasi di Sragen. Meski demikian, hal itu tak serta merta membuat Pemkab bergeming untuk segera menyusunnya.
Sekretaris Daerah Kabupaten Sragen, Tatag Prabawanto mengatakan dari laporan yang diterimanya, di Sragen memang ada 22 warung kuliner penjual daging anjing.
Dari jumlah itu, ada tujuh orang di antaranya yang beroperasional secara mobile atau keliling alias tidak membuka warung tetap. Sedangkan sisanya memang berjualan menetap dengan membuka warung.
“Memang ada 22 penjual atau warung daging anjing di Sragen. Yang 7 itu mereka sifatnya mobile jadi tidak ada warung menetapnya,” paparnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Senin (1/2/2021).
Meski demikian, Sekda menyampaikan bahwa para penjual dan warung guguk yang ada itu tidak melakukan penyembelihan anjing. Mereka juga mengklaim hanya dipasok daging anjing yang penyembelihannya bukan dari Sragen.
Ia juga menampik data dari aktivis bahwa ada praktik pengepulan dan penyembelihan daging anjing di Gemolong.
“Yang di Gemolong itu tidak melakukan penyembelihan anjing di Gemolong. Jadi mereka hanya loper atau broker saja. Pedagangnya dari luar kota Sragen terus pengepul di Gemolong itu jadi broker yang menjualkan ke pemesan-pemesan. Jadi nggak ada penampungan anjing atau perdagangan anjing dari Sragen,” katanya.
Tatap juga menyebut para pengepul atau broker itu hanya menjadi perantara saja. Kemudian anjing-anjing dari luar kota juga disebut tidak didrop di Sragen tapi dari pemasok langsung diantar ke pembelinya di luar kota Sragen.
Karenanya soal desakan pembuatan Perda larangan penjualan daging anjing, Sekda menyebut hal itu dipandang belum perlu. Terlebih menurutnya sudah ada undang-undang atau peraturan yang melarang perdagangan daging anjing yang berkedudukan lebih tinggi dan sifatnya kontinental.
“Lalu perdagangan lintas provinsi itu juga sudah menjadi ranah provinsi. Pengiriman ternak yang mana harus di karantina semua itu pengawasannya dan kontrol ada di provinsi. Jadi menurut kami tidak perlu ada Perda larangan lagi karena di situ undang- undangnya udah ada,” tandasnya.
Pernyataan itu disampaikan menyikapi desakan penindakan terhadap perdagangan anjing dari Sragen dan praktik banyaknya warung penjual daging guguk di Sragen.
Banyak Warung dan Pengepul Anjing
Koordinator DMFI Solo, Mustika Cendra kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Selasa (26/1/2021), mengatakan dari hasil investigasi timnya ke lapangan beberapa hari terakhir, menemukan sejumlah warung penjual kuliner daging anjing di beberapa wilayah.
Di antaranya di Dukuh Karanganyar RT 3 Patihan, Sidoharjo. Warung itu beroperasi terselubung dengan memasang tulisan jual Salad namun di dalamnya ternyata menjual rica, tongseng dan berbagai olahan daging anjing.
Lantas di Pucung, Tegalrejo, Jurangjero Karangmalang, tim juga menemukan warung yang menjual kuliner daging anjing.
Serupa, sebuah warung di Kampung
Sidomulyo, Sragen Wetan, juga diam-diam menjajakan sate anjing dan kuliner jenis lainnya dari bahan daging anjing.
Di Teguh Jajar, Plumbungan, Karangmalang dan di Gumantar, Pelemgadung, Karangmalang, tim juga menemukan warung yang nekat memasang poster jual rica guguk.
“Beberapa Penjual sengaja menyamarkan warungnya. Di depan masang jual Salad, tapi dalamnya menjual kuliner dari daging anjing. Ada juga yang tanpa nama, tapi ada yang terang-terangan memasang nama,” paparnya.
Aktivis yang akrab disapa Cik Meme itu menuturkan fakta itu membuktikan bahwa praktik pemotongan dan penjualan anjing untuk dikonsumsi di Sragen memang bukan isapan jempol belaka.
Deretan warung guguk di atas adalah beberapa sampel yang ditemukan hanya dalam sehari. Sebelumnya tim sudah mendeteksi ada sekitar 7 warung guguk yang beroperasi di wilayah Kecamatan Gemolong.
Ia juga mengungkap salah satu warung guguk terbesar ada di wilayah dekat pengepul yakni di Mijahan, Ngembat Padas, Gemolong.
Di salah satu pintu masuk gang wilayah itu, berdiri warung dengan terang-terangan memajang poster Warung Rica Guguk. Kemudian di wilayah lainnya di Gemolong juga ada warung-warung serupa meski kapasitasnya tak sebesar di Mijahan.
“Itu baru sementara yang kami temukan di lapangan. Saya yakin riilnya lebih banyak lagi,” tuturnya.
Cik Meme mengungkapkan di warung Mijahan itu, pemilik juga memajang anjing yang masih hidup dan dijual siap masak satu ekor. Harganya dipatok Rp 700-800.000.
Menurutnya fakta itu membuktikan bahwa praktik yang terjadi di Gemolong Sragen tak hanya pengepulan saja tapi mereka juga buka warung dan memotong daging anjing untuk dijual kuliner.
Ia bahkan meyakini bahwa angka belasan itu baru yang terdeteksi secara kasat mata. Jumlah riilnya diduga masih banyak lagi. Fenomena gunung es itu sudah terbukti di Karanganyar.
“Waktu di Karanganyar, Pak Bupati Juliyatmono waktu survei hanya nemukan sedikit warung. Tapi waktu ditutup dapat kompensasi, jumlahnya banyak dan akhirnya semua pada ngaku. Yang warung besar di Mijahan itu nyediakan anjing hidup, pembeli tinggal milih. Harga Rp 800.000 itu sudah termasuk dipotong dan dimasakkan. Pembeli bisa milih posisi anjing yang masih hidup,” terangnya.
Atas fakta itu, ia meminta Pemkab dan Disnakkan tak lagi ragu untuk segera mengambil tindakan tegas menutup dan menghentikan praktik perdagangan anjing liar untuk konsumsi itu.
Selain melanggar aturan karena anjing bukan konsumsi, hal itu semata-mata demi menyelamatkan manusia dari ancaman penyakit rabies. Sebab anjing-anjing yang didatangkan dari Jawa Barat dan luar kota itu diyakini adalah anjing yang tidak beres dan tak ada jaminan sehat.
“Maka dari itu kami berharap Bupati segera menyusun Perda agar praktik ini bisa dihentikan. Nanti Senin depan kami akan bertemu dengan Disnakkan untuk mengungkap fakta dan temuan kami di lapangan,” tandasnya. Wardoyo