SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Wacana pemerintah untuk mengimpor 1 juta ton beras mendapat kecaman dari petani Sragen. Mereka menuding wacana impor beras itu menunjukkan pemerintah sudah kehilangan naluri berpihak dan membela petani yang saat ini sangat terpukul dengan rentetan kondisi menyulitkan.
“Bayangkan, kuota pupuk tiap tahun dikurangi. Dampaknya biaya makin membengkak karena kekurangannya harus beli pupuk nonsubsidi yang harganya sangat mahal. Lalu pas panen raya seperti ini, harga gabah anjlok drastis sampai nggak ada yang beli di sawah. Sebenarnya pemerintah ini maunya apa, apa sudah nggak ada lagi naluri untuk peduli dan berpihak ke petani. Padahal katanya Indonesia ini negara agraris dan pinginya swasembada pangan kok malah petani disengsarakan terus,” keluh Manto (49) salah satu petani di Sidoharjo Sragen, Rabu (10/3/2021).
Ia menuturkan kehidupan petani kian tahun kian susah. Selain dipusingkan dengan problem pupuk yang kurang dan mahalnya nonsubsidi, anjloknya harga saat panen raya membuat petani makin susah.
Ia mencontohkan harga gabah panen ini hanya Rp 3.600 sampai Rp 3.800 perkilogram. Padahal normalnya harga panen raya sebelumnya bisa mencapai Rp 4.800 bahkan Rp 5.000 perkilogram.
“Kalau dikalkulasi dan tenaga dihitung, nggak jalan Mas. Bayangkan biaya produksi, pupuk, biaya tanam, olah sawah dan lain-lain terus naik. Sementara harga panenan anjlok. Eh ini malah pemerintah bikin wacana mau impor. Padahal panenan saja melimpah sampai nggak ada yang beli karena harganya murah. Kok mau impor, untuk apa coba. Dampak buruknya di lapangan ketika baru muncul wacana impor saja, imbasnya harga gabah langsung anjlok, apa pemerintah nggak mikir sampai kesitu. Makanya kami menolak wacana impor, dan saya rasa semua petani akan menolak karena impor itu menyengsarakan petani,” timpal Kardi, petani asal Tanon.
Senada, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno juga menegaskan KTNA menolak keras wacana impor beras 1 juta ton. Menurutnya kebijakan itu sangat merugikan petani dan berdampak buruk menghancurkan harga di lapangan.
Terlebih saat ini banyak daerah yang sedang panen raya termasuk Sragen. Menurutnya saat ini harga gabah yang sangat rendah yakni Rp 3.600 sampai Rp 3.800 perkilogram, sudah sangat merugikan petani.
“Apalagi ada wacana impor beras itu, sangat menyakitkan petani. Lha daerah-daerah saja banyak yang panen raya kok pemerintah mau impor beras, untuk apa. Daripada impor beras, mbok mending menyerap gabah petani dan HPP (harga pembelian pemerintah) dinaikkan. Itu malah kebijakan yang bisa membantu petani. Makanya kami juga menolak keras impor beras dan minta dibatalkan,” tegas Suratno.
Ia berharap pemerintah bisa menaikkan HPP gabah menjadi di atas Rp 4.200 atau Rp 4.500. Hal itu dinilai lebih membantu petani daripada kebijakan impor yang justru akan menyengsarakan petani.
Di sisi lain ia juga mempertanyakan kebijakan pengurangan kuota pupuk bersubsidi yang tiap tahun diberlakukan. Hal itu juga makin menambah beban petani yang selama ini sudah banyak dipusingkan dengan membengkaknya biaya produksi untuk membeli pupuk nonsubsidi karena jatah pupuk subsidi makin dikurangi.
“Tahun ini juga, sudah kuota pupuk subsidi dikurangi, harganya malah dinaikkan Rp 450 perkilogram untuk Urea. Malah ini ada pupuk cair juga. Daripada pupuk cair, mbok subsidinya itu dialihkan untuk nambah kuota pupuk Urea yang paling dibutuhkan. Itu akan lebih membantu petani,” tegasnya.
Suratno menambahkan sebagai bentuk keseriusan, KTNA secara nasional sudah melayangkan penolakan terkait wacana impor beras kepada pemerintah. Hal itu diharapkan bisa menjadi pertimbangan agar impor beras bisa dibatalkan.
Sebelumnya, penolakan sudah dilontarkan berbagai elemen.
“Kalau mengimpor sebaiknya tunggu Juli atau Agustus ketika sudah ada kepastian berapa potensi produksi 2021. Jika memang kurang silakan impor, kalau tidak kurang tidak perlu impor karena produksi tahun ini diperkirakan memang bagus,” kata Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa ketika dihubungi wartawan Minggu, 7 Maret 2021.
Dwi mengemukakan wacana impor menjelang masa panen raya ini menjadi pukulan tersendiri bagi petani di tengah harga gabah kering panen (GKP) yang terus turun sejak September 2021.
Menurutnya, alasan importasi untuk menjaga stok cadangan beras pemerintah (CBP) tidak bisa diterima karena Perum Bulog sebagai pengemban tugas seharusnya menyerap beras petani lebih banyak tahun ini.
Hasil proyeksi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan produksi padi nasional untuk periode Januari–April 2021 bakal lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya akibat naiknya potensi luas panen.
Hasil survei kerangka sampel area (KSA) yang dilakukan BPS menunjukkan luas panen padi pada musim Januari–April 2021 mencapai 4,86 juta ha atau naik sekitar 1,02 juta ha (26,53 persen) dibandingkan dengan sub round Januari–April 2020 yang sebesar 3,84 juta ha.
Dengan potensi luas panen yang besar, produksi gabah kering giling (GKG) pada Januari–April mencapai 25,37 juta ton atau naik 26,68 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Jika dikonversi menjadi beras, potensi produksi pada periode Januari–April 2021 diperkirakan mencapai 14,54 juta ton beras atau mengalami kenaikan sebesar 3,08 juta ton (26,84 persen) dibandingkan dengan produksi beras pada sub round yang sama tahun lalu sebesar 11,46 juta ton.
“Potensi kenaikan masa panen raya kali ini cukup tinggi menurut perkiraan BPS. Jika pemerintah mau mengimpor 1 juta ton mau disalurkan ke mana? Usia beras ini kan hanya 6 bulan,” kata Dwi.
Dwi mengatakan impor yang berlebihan bisa merusak harga beras di pasaran karena Bulog tidak bisa menyimpan beras dalam jumlah besar terlalu lama.
Di sisi lain, potensi produksi beras yang naik seharusnya diiringi dengan peningkatan serapan beras lokal oleh perusahaan pelat merah tersebut, bukan penugasan impor.
“Wacana impor beras menjelang panen raya ini sangat menyakitkan bagi petani. Hal tersebut bisa makin menjatuhkan harga di tingkat usaha tani. Kami minta dibatalkan, kalau tetap impor harap ditinjau lagi volume dan waktunya,” kata dia. Wardoyo