Beranda KOLOM Intoleransi dalam Kemasan Gugatan Hukum?

Intoleransi dalam Kemasan Gugatan Hukum?

Ilham Bintang. Foto: dok cek&ricek

 

Catatan Ilham Bintang*

Definisi intoleransi beragama, menurut kamus Wikipedia, adalah kondisi  suatu kelompok (misalnya masyarakat, kelompok agama, atau kelompok non-agama) secara spesifik menolak untuk mentoleransi praktik-praktik, para penganut, atau kepercayaan yang berlandaskan agama.

Rasanya sulit membantah atau mengelakkan  langkah 12 warga Taman Villa Meruya, Jakarta memberi kuasa kepada pengacara Hartono menggugat pembangunan Mesjid At Tabayyun di Kompleks Perumahan TVM, sejenis tindakan  intoleransi. Intoleransi dalam kemasan gugatan hukum.

Catatan ini akan menguji itu. Saya akan  menerangkan mulai saat sosialisasi rencana pembangunan Mesjid At Tabayyun, di kantor RW pada 3 November 2019 malam hari. Saya juga hadir waktu itu sebagai warga Perumahan TVM.

Saya masih menyimpan foto-foto pertemuan, copy notulen, dan copy daftar kehadiran. Maaf, terpaksa sedikit menyita waktu Anda karena mau menyebut nama-nama yang hadir untuk melengkapi catatan ini. Yang hadir 19 orang, sebagian besar adalah pengurus RT setempat. Antaranya, Irjenpol (pur) Burhanuddin Andi, Thomas Harry, Stephen, Atham, Jimmy, Hendro HP, Andy K, Iwan, Djonny G, Cornelis, Anggiat Tambunan, Riyanto Usman, Yossi Salaki, Ady, Ending Ridwan, Marah Sakti Siregar, Usman Gumelar, dan Hartono.

Diskusi berlangsung hangat, sampai larut malam.  Hartono — mengaku karena sudah berumur tak kuat  mengikuti  acara hingga larut malam—pamit lebih dulu.

Saya ingat itu. Masih lekat pula dalam ingatan argumentasi Hartono untuk menolak bangunan masjid. Ia bilang karena di lokasi itu sudah ada kantor RW.

“Saya keberatan sekali. Saya yang memperjuangkan keberadaan kantor RW di sini. Setengah mati saya meyakinkan pengembang untuk membiayai pembangunannya,” klaim Hartono.

Saya lalu mengingatkan Hartono. Bahwa kantor RW dimaksud itu dibangun di atas lahan Ruang  Terbuka Hijau (RTH).Siapapun tidak boleh mendirikan bangunan di areal 1078m2 tanpa  izin.  Ada plang Badan Pemelihara Aset Daerah (BPAD) memperingatkan itu. Saya kenal Hartono, karena tinggal di komplek sama. Saya tahu klaimnya bohong soal kepeloporannya. Maka itu,   setengah guyon saya bilang begini. “Ton, Lu jangan sembarang klaim diri pahlawan. Bangunan  kantor RW ini ilegal, dan pemanfaatan tanahnya juga ilegal, mau masuk penjara lagi?!!” Seru juga warga awam mengingatkan potensi pelanggaran hukum oleh ahli hukum.

Saya juga mencatat ada beberapa pernyataan warga penentang yang sempat bikin merah telinga warga Muslim mendengarnya, namun dihadapi dengan sabar. “Kita kayak bukan di NKRI yang berazas Pancasila yah,” bisik Ending Ridwan, Ketua RT yang duduk di sebelah saya malam itu.

Benar. Ada yang tega menganggap mesjid cuma bikin kumuh lingkungan, jorok, bakal bikin stres dengar suara adzannya. Belum lagi para pedagang akan kumpul, parkir jamaah akan mengganggu warga dan sebagainya.

Marah Sakti Siregar, Ketua Panitia Pembangunan Mesjid dengan sabar menepis kekhawatiran penolak.

Dia juga mengingatkan kompeleks TVM ini sekarang bukanlah komplek hunian eksklusif, melainkan inklusif. Lalu lintas di jalan utama sampai tengah malam ramai digunakan pelintas motor yang tinggal di daerah pinggir Jakarta Barat dan Tangerang untuk keluar masuk Jakarta.

Di mulut gerbang Kompleks TVM, puluhan pedagang kaki lima menggelar dagangannya. Pengurus RW dan RT tidak bisa apa-apa, padahal larangan itu diatur oleh Perda DKI.

“Semua itu melanggar menurut aturan pemda. Tidak sesuai lagi dengan site plan TVM yang posisinya mengantong. Tapi pengembang serta semua RW dan RT tidak ada yang berani melarang secara tegas. Warga yang tinggal di jalur utama paling menderita, terpaksa menerima kondisi tak enak, siang malam hadapi debu yang beterbangan dibawa kendaraan. Belum lagi raungan suara motor yang memekakkan telinga — hampir tiada henti melintas di depan rumah mereka. Protes mereka tidak kalian hiraukan. Padahal, sebagai  Ketua RT dan RW kalian gagal melindungi kenyamanan mereka. Giliran  Mesjid At Tabayyun yang mengantongi izin kalian protes,” papar Marah Sakti malam itu.

Semua argumentasi warga penentang memang bisa dipatahkan oleh panitia Mesjid. Menurut catatan, ada lagi pertanyaan dan pernyataan penentang yang tidak relevan, bikin panitia  cuma bisa mengelus dada.

Ridwan, salah satu Ketua RT bilang, dia sengaja memilih tinggal di Kompleks TVM karena mau hidup tenang, sunyi dan sepi. Diksinya seakan  mesjid berpotensi gaduh seperti tempat karaoke dan cafe.

Bagaimana kalau jamaahnya banyak dari luar? Pertanyaan ini datang Ketua RW Tanggerang, Djonny G. Rumahnya  berjarak sekitar 700 meter dari bakal lokasi Mesjid At Tabayyun.

Ketua RT Jakarta, Haji Ending Ridwan menjawab bijak. Dia bilang, sejauh ini belum pernah ada mesjid membatasi jemaahnya. Misalnya, yang boleh datang hanya warga yang tinggal di lokasi Mesjid. Mesjid itu Rumah Tuhan, sifatnya terbuka didatangi jamaah dari mana pun.

Baca Juga :  Respati-Astrid Kalah, Pengamat Sebut Survei Litbang Kompas Basi

Pak Ending yang berpembawaan santun lalu mengambil contoh jemaah Gereja MKK berlokasi di depan kompleks TVM. Tiap hari Natal atau hari- hari ibadah lainnya, jemaah gereja membludak datang dari penjuru ibu kota. Mobilnya parkir memenuhi jalan di komplek TVM.

“Ada yang protes itu? Tidak ada. Kami memahami. Warga Nasrani yang tinggal sekitar gereja cuma sedikit. Biar aja mereka datang luar, toh tujuannya baik. Makanya kita minta seluruh  satpam kompleks TVM membantu menata parkir mereka,” kata Pak Ending.

 

Jalan Tengah

Di akhir pertemuan, Ketua RW Jakarta, Irjenpol (Pur) DR Burhanuddin Andi mengusulkan jalan tengah : lahirlsh kesepakatan yang disetujui kedua pihak.

Kesepakatannya, sudah diulas dalam banyak tulisan, isinya seperti ini. Panitia Mesjid At Tabayyun dipersilahkan melanjutkan proses pengajuan izin kepada Pemprov DKI untuk mendapatkan lahan 1078 m2 di Blok C 1.

Sedangkan warga penentang — sebut saja Hartono dkk — dipersilahkan juga mengurus izin pembangunan mesjid di lokasi blok D seluas 312 m2 plus tambahan 1000 m2. Deal. Sayang Hartono sudah pulang, tidak hadir pada waktu kesepakatan itu dicapai.

 

Ingkar janji

Adakah Hartono dkk paham terhadap isi kesepakatan itu?  Paham!  Setidaknya bisa dilihat dari dua surat yang mereka terbitkan pasca kesepakatan. Pertama, tertanggal 15 November 2019 dan yang kedua, 24 November 2019.

Surat pertama dan kedua ditujukan kepada Ketua RW 10 Meruya Selatan Jakarta.  Surat atas nama pengurus RT Jakarta & Tanggerang. Kedua surat itu merupakan tidak lanjut dari kesepakatan tanggal 3 November 2019.

Inti surat yang ditandatangani seluruh Ketua RT meminta Ketua RW 10 TVM  agar  menyurat kepada Gubernur DKI. Memohon izin penggunaan lahan sarana Ibadah di Blok D( dikenal sebagai lahan St John) untuk membangun Mesjid berikut tambahan tanah 1000 m2.

Surat mereka ditutup dengan cantik sekali : ” Mari kita semua menjaga ketentraman, ketertiban, ketenangan, dan kenyamanan hidup, berdampingkan di TVM yang selama ini sudah terbina dan terjalin dengan sangat baik. Semoga Tuhan selalu menyertai kita semua”.

Saya mencoba membuka- buka lagi catatan rapat  3 November 2019. Sama sekali tidak dibahas aspek hukum berkait dengan pembangunan mesjid. Begitupun dalam dua surat yang mem-follow up hasil kesepakatan.

Aspek hukum itu memang  saya yang lontarkan  untuk mengingatkan DR Hartono yang menyinggung riwayat perjuangannya membangun kantor RW. Saya bilang, biarpun kantor RW untuk kepentingan warga, diperjuangkan oleh pengacara, tetap saja statusnya ilegal. Tanpa IMB pula!

Perihal ini Usman Gumelar yang hadir pada pertemuan 3 November membenarkan. “Itulah anehnya. Giliran kepentingannya, dia anggap sah itu barang ilegal” komen Gumelar, warga yang sudah puluhan tahun tinggal di TVM.

Faktanya demikian. Surat 6 Maret 2020 kepada  Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)sudah lain bunyinya. Warga yang menamakan diri Forum Masyarakst Taman Villa Meruya menyampaikan keberatan terkait lokasi pembangunan tempat ibadah di jalur hijau, maksudnya di lahan Ruang Tebuka Hijau.

Tulisnya : Lahan Penyempurna Hijau Taman (Jalur Hijau). Saya teringat Andrey Suyatman, warga yang tinggal di wilayah Tanggerang TVM. Dia selalu terkekeh- kekeh kalau baca istilah ” lahan penyempurna hijau taman”. ” Unik, istilah itu cuma ada di sini,” kata dia.

Menurut Irjenpol (pur) Burhanuddin Andi, setelah dua surat di awal -awal, tidak pernah ada lagi mereka melaporkan progres urusan penambahan tanah dan izin pembangunan mesjid yang mereka maui.

Soal gugatannya kepada Gubernur DKI juga tidak dilaporkan, Ketua RW 10 itu malah mengetahuinya belakangan lewat pemberitaan media. “Sudah tiga kali saya adakan rapat para RT tapi sebagian Ketua RT penggugat Gubernur itu tidak hadir,” ungkap mantan Kapolda Sulsel dan Bengkulu itu.

 

Panitia Mesjid

Sesuai amanah kesepakatan warga TVM 3 November 2029, Panitia Mesjid At Tabayyun mengurus perizinan dari bawah sekali. Waktunya cukup lama dan rumit, tidak semudah membalikkan telapak tangan seperti anggapan sebagian orang. Selain  karena sikap lamban beberapa birokrasi, juga karena faktor pandemi.

Hampir setahun baru dapat semua surat penting yang dibutuhkan Panitia. “SK Gubernur, rekomendasi FKUB, termasuk penandatanganan kontrak sewa pakai tanah itu dengan Pudjiono, Kepala Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD).

Panitia sudah menyiapkan rencana peletakan batu pertama setelah Ramadhan nanti. Gugatan 12 warga TVM kepada Gubernur di PTUN soal Mesjid At Tabayyun, tidak masalah bagi panitia, tidak mempengaruhi rencana.

Baca Juga :  Dukungan Makin Deras Mengalir, Kali Ini Tokoh Katolik se-Serengan Deklarasi Dukung Respati-Astrid

Pihak Pemrov maupun Panitia At Tabayyun akan dihadapi dengan perlawanan hukum. Yang sempat mengganggu panitia, dan terutama warga Muslim TVM, entah dapat wangsit dari mana, Hartono mengirim surat somasi kepada Panitia Mesjid At Tabayyun yang mendirikan Tenda untuk Salat Taraweh.

Padahal, lokasi tenda di lahan Mesjid At Tabayyun, sesuai SK Gubernur DKI. Ada lima poin somasi Hartono yang isinya justru meragukan  yang bersangkutan memahami betul duduk permasalahan. Juga terutama tidak mencerminkan adat istiadat bertetangga atau sistem nilai kehidupan masyarakat Idonesia. Bayangkan Hartono sampai mengultimatum panitia supaya membongkar tenda Salat Taraweh dalam waktu 3 X 24 jam.

Saya ingat kisah sejarah di masa Belanda menjajah Nusantara selama 350 tahun. Belanda bisa bertahan lama karena mematuhi nasehat orang Eropa pada umumnya. Kuncinya, jangan   ganggu agama dan budaya masyarakat setempat jika mau selamat tinggal di sana.

Ini catatan saya yang lain. Sudah  tiga kali TVM berganti perusahaan pengembang, namun tak satu pun dari pengembang itu membangun rumah ibadah sebagaimana menjadi kewajibannya. Pengembang pertama, PT PSP ( Putra Surya Perkasa). Tapi, perusahaan ini tidak berumur panjang. PSP terlibat kasus BLBI. Dirutnya buron ke Singapura. TVM disita BPPN.

Lalu berpindahtangan ke PT Kartunindo. Ada yang menyebut PSP dan Kartunindo ini cuma ganti nama pengelola saja, pemilik sama. Di masa Kartunindo inilah lahan RTH berhasil dinegosiasi pengacara Hartono sehingga bisa dibangun puluhan rumah mewah.

Tahun lalu TVM berganti lagi perusahaan pengelola dari Kartunindo ke perusahaan pengembang baru, group pabrik obat. Belum ada informasi keterkaitan  pengelola  baru TVM ini dengan gugatan kepada Gubernur DKI di PTUN.

Lahan mereka memang sediakan, tapi tidak dibangun-bangun. Dan, sejak 5 tahun lalu semua lahan fasos dan fasum termasuk untuk lahan sarana ibadah di wilayah itu sudah dikembalikan ke Pemprov DKI.

Rencana pembangunan Mesjid Jami At Tabayyun atas prakarsa dan swadaya warga Muslim TVM. Setelah mengantongi izin, kini kembali hadapi tentangan dari 12 warga yang menggugat itu di PTUN. Mereka  menganggap lahan seluas 1078 m2 adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tidak boleh didirikan  bangunan.

Menarik menyimak kisah ini. Di depan tadi sudah diceritakan motif penolakan dan sekarang menyoal dengan motif status hukum tanah. Pelakunya tetap sama. Modus operandi yang berubah-ubah itulah yang dibaca warga Muslim TVM makin menjelaskan sikap intoleransi yang terus ditunjukkan penentang secara terselubung. Kini dicoba dibungkus dengan status hukum lahan menjadi alasan gugatan hukum.

Padahal, di TVM ada juga lahan RTH  sekitar 5000 m2 di atas wilayah DKI dan Tanggerang yang dimanfaatkan  membangun belasan rumah di atasnya. Rencana itu pernah digugat sebagian besar  warga yang sama yang menentang pembangunan mesjid.

Tapi gugatan dulu itu berujung manis. Damai. Tidak sampai ke PTUN. Pengembang lanjut membangun puluhan  rumah  mewah di situ. Warga yang memprotes mendapat kompensansi uang berikut bangunan kantor RW sekarang.

Tempo hari  kepada beberapa warga TVM, Hartono   bangga mengklaim dialah  pahlawan pembangunan  kantor RW di atas lahan RTH. Seperti mau minta pengakuan gelar “Bapak Pembangunan TVM.”

“Iya, waktu rapat 3 November 2019 Hartono menceritakan begitu,“ kata Marah Sakti Siregar, Ketua Panitia Pembangunan Mesjid At Tabayyun membenarkan.

Nah! Jika seperti itu kata Hartono, muncul pertanyaan. Darimana wewenang dia selama ini bisa mengatur kapan lahan RTH legal untuk satu bangunan dan ilegal bagi bangunan lain, misalnya rumah ibadah?

Tidak salah jika gugatan Hartono disebut sebagian pengamat itulah contoh tindak intoleransi yang dipakaikan jubah hukum karena kebetulan Hartono adalah pengacara.

Tunggu. Ataukah Hartono dkk pengin mengulang sukses komersial lagi, seperti ketika dia akhirnya menyetujui pengembang membangun puluhan rumah mewah di RTH yang sebelumnya yang larang dia juga ? Wallahualam.(*)

 

—Penulis Penghuni TVM—