SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menekankan pentingnya kecepatan perusahaan dalam merespon terjadinya hal-hal yang sebelumnya tak terduga.
Pandemi Covid-19 yang datang secara tak terduga pada semester pertama tahun 2020 lalu, ujar Airlangga, seolah menjadi sinyal betapa tata kelola perusahaan selama ini masih memiliki banyak kelemahan.
“Karena itu tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) menjadi penting sebagai fondasi utama pengambilan keputusan yang lebih baik,” ujar Menko Airlangga dalam Indonesian Institure for Corporate Directorship Corporate Governance (IICD CG) Conference bertema The 10th ACGS Implementation: Road to ESG in Indonesia, secara virtual di Jakarta, Kamis (27/5/2021).
Diakui atau tidak, sejauh ini GCG masih menjadi salah satu kelemahan yang dipunyai sebagian besar perusahaan di Indonesia.
Airlangga mencontohkan, bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi di akhir tahun 90-an adalah tata kelola perusahaan yang kurang baik.
Tata kelola yang dinilai kurang baik itu antara lain berupa kualitas investasi yang buruk, diversifikasi usaha yang sangat luas dan jumlah pinjaman jangka pendek tak lindung nilai yang sangat banyak.
“Di samping itu juga lemahnya peran direksi dan komisaris, sistem audit yang buruk, kurangnya transparansi, serta penegakan hukum yang lemah,” beber Airlangga, seperti dikutip dalam rilisnya ke Joglosemarnews.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kelemahan tata kelola tersebut, salah satunya dengan pembentukan Komite Nasional Kebijakan Good Corporate Governance (KNKG) pada 1999 melalui Keputusan Menko Ekuin saat itu.
Pada awalnya, lembaga tersebut membangun kesadaran pentingnya tata kelola perusahaan melalui seminar dan pelatihan serta penyusunan beberapa pedoman tata kelola.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menerbitkan Peta Arah Tata Kelola Perusahaan Indonesia pada awal 2014. Pedoman ini terutama ditujukan untuk emiten dan perusahaan publik.
“Upaya reformasi tata kelola ini memicu munculnya inisiatif lain dari berbagai lembaga. Misalnya penerbitan indeks persepsi tata kelola setiap tahun, serta pemberian penghargaan kepada perusahaan yang telah menerapkan tata kelola dengan baik seperti yang dilaksanakan IICD saat ini,” jelas Menko Airlangga.
Pada level regional, kesadaran reformasi tata kelola juga terjadi kolektif di wilayah ASEAN, di mana ASEAN Capital Market Forum memperkenalkan ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS) pada 2011 yang dikembangkan dari prinsip-prinsip The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Scorecard tersebut diharapkan dapat meningkatkan standar tata kelola perusahaan dari perusahaan terbuka di negara-negara ASEAN dan meningkatkan visibilitas mereka kepada investor.
Reformasi tata kelola perusahaan tersebut, akhirnya membuahkan hasil. Pada tahun 2019, sebanyak 10 perusahaan di Indonesia masuk dalam kategori ASEAN Asset Class berdasarkan ACGS. Hal itu menjadi prestasi dan kebanggaan tersendiri bagi Indonesia.
Jumlah perusahaan tercatat yang masuk dalam ACGS setiap tahun juga mengalami peningkatan, yang artinya sudah banyak perusahaan tercatat di Indonesia yang memiliki tata kelola yang baik.
Secara kilas balik, Airlangga mencontohkan, pada tahun 2012, rata-rata total skor perusahaan di Indonesia baru mencapai 43,29. Namun posisinya terus meningkat hingga mencapai 70,8 di tahun 2019.
“Meski terus terjadi peningkatan setiap tahun dalam pencapaian ACGS ini, masih ada potensi perbaikan skor negara kita, karena melihat secara umum bahwa kita masih tidak lebih tinggi dari negara lain yang berpartisipasi di ACGS kecuali Vietnam,” ujar Menko Airlangga.
Karena itulah, Airlangga berharap perusahan-perusahan yang melantai di bursa agar berpartisipasi penuh dalam menerapkan praktik tata kelola yang baik.
Model Ekonomi Berkelanjutan
Airlangga menekankan, perusahaan Indonesia yang telah tercatat ASEAN Asset Class tersebut dapat dijadikan contoh dan motivasi. Ke depannya, diharapkan skor rata-rata Indonesia dalam ACGS bisa meningkat, sehingga mendatangkan lebih banyak lagi investasi ke negara.
“Pandemi ini telah mengingatkan kita bahwa kesehatan hanyalah salah satu dari 17 Sustainable Development Goals (SDGs) PBB yang harus menjadi bagian dari keberlanjutan bisnis, baik di sektor publik maupun swasta. Dalam kaitannya dengan GCG, kita perlu mengubah prioritas dan mulai mengidentifikasi risiko lain yang menjadi bagian dari SDGs seperti perubahan iklim, keanekaragaman hayati, bencana alam, dan bencana lingkungan akibat ulah manusia,” terang Menko Airlangga.
Sebagai langkah pertama menuju model ekonomi yang lebih berkelanjutan, demikian Airlangga, maka bisnis juga harus fokus pada dampak sosial dan lingkungannya.
Untuk itulah praktik Environmental, Social and Governance (ESG) atau sering disebut Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (LST) harus diterapkan di seluruh aktivitas bisnis.
“Perusahaan perlu menyadari risiko dan mengumpulkan data yang relevan untuk membangun bisnis yang bertahan di masa depan,” imbuhnya.
Tentu akan muncul banyak kerugian yang harus ditanggung jika prinsip ESG tersebut tidak dijalankan di Indonesia. Pasalnya, karakteristik geografis negara kepulauan rentan terhadap perubahan iklim dan bencana. Selain itu, penerapan ESG juga terbukti berdampak positif bagi kinerja perusahaan.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri untuk mewujudkan SDGs. Melainkan perlu upaya kolektif dari stakeholder lain, seperti perusahaan (BUMN/swasta), media, dan lembaga pendidikan,” ujar Airlangga.
Praktik tata kelola yang efektif, menurut Airlangga hanya dapat terwujud bila terjadi kesadaran bersama untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG, mulai dari akar rumput sampai pada jenjang para pengambil keputusan strategis. Suhamdani