JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM –Para alumni Majalah Tempo menerbitkan dan meluncurkan buku baru. Biografi seorang tokoh senior di balik bisnis Tempo: Harjoko Trisnadi. Salah seorang pendiri Majalah Berita Mingguan Tempo.
Peluncuran buku berjudul: Harjoko Trisnadi Dari Jurnalis Mengelola Bisnis itu dilaksanakan, Selasa malam (22 Juni 2021) bersamaan dengan ulang tahun ke-91 sosok yang selama ini di berada di dapur bisnis Majalah Berita Tempo.
Acara peluncuran dilangsungkan secara virtual melalui aplikasi zoom yang diinisiasi Didi Prambadi, mantan wartawan Tempo yang kini bermukim di Philadelphia, AS. Didi juga adalah pengasuh majalah untuk komunitas Indonesia di sana. Namanya Lantern Indonesia.
“Kita semua, terutama saya, amat mengenal Mas Harjoko Trisnadi. Dia salah satu sosok penting dalam perjalanan Majalah Tempo yang kini sudah berusia 50 tahun,” ujar Goenawan Mohamad, mantan pemred dan salah seorang pendiri Majalah Tempo ketika membuka acara peluncuran buku.
Dia bersyukur karena buku tentang sosok Pak HT–begitu biasa Harjoko Trisnadi dipanggil– akhirnya bisa diterbitkan. “Saat Tempo sudah berusia 50 tahun. Mas Harjoko berusia 91 tahun dan saya sendiri 80 tahun,” ujar GM pada acara daring yang diikuti 72 alumni Tempo, keluarga dan kerabat Pak HT.
Ikut hadir dan memberi selamat kepada Pak HT dalam acara itu, antara lain, Dahlan Iskan, Christianto Wibisono, dan Arif Zulkifli, kini Direktur Utama PT Tempo Inti Media.
Buku biografi Pak HT dirancang dan ditulis para alumni Tempo dalam rangka menyambut ulang tahun Tempo ke-50, Maret lalu. Diisi dengan Kata Pengantar oleh A. Margana, Prolog oleh Goenawan Mohamad, Epilog oleh Dahlan Iskan. Lalu, riwayat perjalanan hidup Harjoko Trisnadi ditulis oleh: Marah Sakti Siregar, Renville Almatsier, dan Tutty Baumeister.
Lahir di Demak, 22 Juni 1930, Pak HT atau nama awalnya Joppie Kho Tiang Hoen. Ia memulai karier sebagai wartawan di Majalah Star Weekly saat dipimpin tokoh pers Petrus Kanisius (P.K) Ojong– salah satu pendiri Koran Kompas bersama Jacob Oetama–pada tahun 1952. Ia banyak berguru dalam masalah jurnalisme dan pengelolaan media dari tokoh pers yang dikenal idealis dan pekerja keras itu.
Setelah sembilan tahun berkiprah dan sedang asyik-asyiknya menjadi wartawan, Star Weekly dibredel pemerintah Orde Lama tahun 1961. Penyebabnya, antara lain, karena tulisan-tulisan di majalah –yang saat itu oplah mencapai 52.000 eksemplar–sering mengeritik policy luar negeri pemerintah. Menlu ketika itu dijabat Dr Soebandrio, sekutu dekat Bung Karno.
Lepas dari Star Weekly, Pak HT bersama beberapa seniornya eks Star Weely mendirikan Mingguan Djaja. Mereka bekerja sama dan didukung Gubernur DKI Jakarta waktu itu Dr. Soemarmo Sastroatmodjo.
Awalnya, sampai tahun 1965, Mingguan Jaya masih bisa eksis. Tapi setelah terjadi peristiwa G 30 S/ PKI tahun 1965 terjadi perubahan politik di Indonesia. Rezim Orla digantikan Orba. ABRI masuk ke dunia politik. Posisi Soemarmo digantikan Letjen KKO Ali Sadikin (1966).
Rezim Orde Baru memberi kebebasan pers. Sejumlah media yang sebelumnya dibredel, misalnya, Indonesia Raya (dipimpin Mochtar Lubis)dan Pedoman (dipimpin Rosihan Anwar) dibolehkan terbit lagi. Bersama mereka terbit juga beberapa media baru yang isinya tajam dan kritis. Misalnya, Kompas dan Harian KAMI. Mingguan Djaja yang kala itu diterbitkan yayasan nirlaba milik Pemda DKI, Yayasan Jaya Raya, pun tersisih dan kehilangan pasar.
Lalu sekitar empat tahun kemudian, Ir.Ciputra, Ketua Umum Yayasan Jaya Raya dihubungi Lukman Setiawan yang baru mengundurkan diri dari Koran Kompas. Lukman Setiawan mengabarkan kepada Ciputra bahwa terjadi perpecahan di Majalah Berita Ekspres yang diterbitkan Goenawan Mohamad dkk bekerja sama (dimodali) tokoh pers pemilik Grup Koran Merdeka B.M Diah.
Tanggal 14-19 Oktober 1970 berlangsung Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Palembang. Awalnya dalam kongres itu terpilih Rosihan Anwar sebagai Ketua Umum PWI Pusat. Tapi sejumlah figur wartawan dari media yang pro pemerintah Orba menolak sosok Rosihan Anwar. Mereka mengadakan kongres tandingan dan memilih B.M Diah sebagai ketua umum.
GM mengeritik B.M Diah yang dinilainya menolak bermusyawarah dan membawa PWI bekerja sama dengan pemerintah.
B.M Diah yang membaca kritik GM di beberapa media, langsung berang. GM pun dipecat. Beberapa temannya para pengasuh Ekspres, seperti Fikri Jufri, Christianto Wibisono, solider memihak GM. Mereka semua pun ikut dipecat.
Lukman Setiawan meminta Ciputra membantu para wartawan yang baru kehilangan pekerjaan itu. Setelah berunding alot, tercapai kesepakatan pada akhir 1970. Yayasan Jaya Raya menjadi penerbit baru majalah berita yang mirip Ekspres. Namanya Majalah Berita Mingguan Tempo. Mulai terbit 6 Maret 1971.
GM memimpin barisan redaksinya. Sedangkan Ciputra kemudian menunjuk stafnya di PT Pembangunan Jaya Eric Samola bersama Harjoko Trisnadi untuk mengelola urusan bisnis majalah tersebut. Langkah baru Yayasan Jaya Raya itu sekaligus menjadi pamungkas ditutupnya Mingguan Djaja.
Dalam perjalanan ikut membesarkan Tempo sampai majalah itu kini berusia 50 tahun, Pak HT yang low profile, menjalani suka duka. Masa keemasan dan masa surut Tempo setelah dua kali mengalami pembredelan. Pertama, pembekuan SIUPP tahun 1982. Kedua, pembatalan SIUPP pada 21 Juni 1994. Bersama Majalah Berita Editor dan Tabloid Detik, Tempo dibredel pemerintah.
Menghargai kiprahnya yang berpuluh tahun setia mengurus media massa, Panitia Hari Pers Nasional pada tahun 2018 menganugerahkan Penghargaan Seumur Hidup (Lifetime Award) kepada Harjoko Trisnadi. (ASA)