Beranda Nasional Jogja Ngobrol Kebhinekaan di SMA Boda Yogya, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo...

Ngobrol Kebhinekaan di SMA Boda Yogya, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono Juga Hadir

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol R. Prabowo Argo Yuwono, SIK., MSi. memberikan testimoni alumni pada zoom meetings “Ngobrol Kebhinekaan di Era Putih Abu-Abu”, Sabtu (21/8/2021) / Istimewa  
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol R. Prabowo Argo Yuwono, SIK., MSi. memberikan testimoni alumni pada zoom meetings “Ngobrol Kebhinekaan di Era Putih Abu-Abu”, Sabtu (21/8/2021) / Istimewa

YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Kebhinekaan yang ada dan dikembangkan menjadi Sekolah Multikultural Indonesia (SMI) di SMA BOPKRI 2 (Boda) Yogyakarta, adalah sebuah keniscayaan yang patut disyukuri dan dilaksanakan secara alami.

Nilai-nilai kepribadian empati, cinta kasih, integritas, toleransi dan semangat egaliter yang tertanam dalam sanubari siswa didik terbukti memberikan dampak positif di kemudian hari dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Hal tersebut mengemuka dalam acara Ngobrol Kebhinekaan di Era Putih Abu-Abu yang diselenggarakan SMA BOPKRI 2 Yogyakarta secara zoom meeting, Sabtu (21/8/2021).

Dengan moderator Kepala Sekolah Dr. Sri Sulastri, M.Pd, suasana zoom meeting terasa penuh keakraban, saling canda antarpeserta mengingat ketika masih studi sekolah itu.

Dihadirkan di sini, sejumlah alumni yang memberikan testimoni dan pemantik dialog.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol R. Prabowo Argo Yuwono, SIK., MSi dalam testimoni sebagai alumni mengemukakan, Indonesia itu sangat luas membentang dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia memiliki keberagaman. Sekolah multikultural di SMA BOKRI 2 Yogyakarta adalah wujud nyata keberagaman dan perbedaan ini merupakan keunggulan Bangsa Indonesia.

Argo Yuwono  merasa bangga dan bersyukur memperoleh pendidikan dan pengalaman keberagaman di SMA BOPKRI 2 Yogyakarta dan berharap sekolah ini dapat menjadi contoh bagi sekolah lain dalam mengelola dan mempertahankan kebhinekaan di Indonesia.

Jurnalis dan penulis buku Ag. Irawan berpendapat, kebhinekaan sebenarnya bukan hanya soal menyangkut perbedaan etnis, budaya, bahasa, dan sebagainya, namun apakah sekolah juga memberikan layanan pendidikan bagi disabilitas.

Dari pengalaman dia terjun ke pelosok, banyak ditemui anak-anak yang butuh layanan pendidikan yang lebih baik.

“Di sekolah ini, perbedaan keterampilan siswa saja diberi pemaknaan agar siswa dapat mengembangkan diri di kemudian hari. Juga ada semacam label di antara kami waktu itu, bahwa siswa   boleh tidak disiplin tapi harus taat aturan. Aturan paling penting bagi siswa adalah masuk sekolah, belajar dengan baik,” kata dia, seperti dikutip dalam rilisnya ke Joglosemarnews.

Baca Juga :  Warga Sleman Ini Dikejar 3 Pria Berboncengan dan Disayat Punggung dan Tangannya dengan Cutter di Jalan Kaliurang

Irawan menambahkan, ketika dia berkesempatan mengajar ekstrakurikuler di almamaterinya, melihat tumbuhnya inspirasi dan motivasi siswa terjadi pada saat dialog nonformal antara siswa dan guru. Siswa menemukan manfaat saat curhat dengan guru.

Wahyu Wibisono dari SHEEP Indonesia mengisahkan beberapa keisengan atau kenakalan antarteman yang kadang sepele atau tidak mutu, namun tetap memberikan kenangan dan pemaknaan.

Sebagai contoh,  guru Paulus yang mengharuskan siswa mencatat pelajaran dia pada hari itu dan esok harinya dicek apakah dilaksanakan siswa atau tidak. Guru memberikan paraf tanda tangan di kertas catatan siswa.

“Tanda tangan Pak Paulus di catatan saya pernah disobek teman. Ini keisengan antar kami. Tapi kami tidak sampai marah dan bermusuhan. Hubungan antaralumni ketika sudah dewasa baik sekali. Kami saling kontak, berjejaring dan saling membantu,” kata dia.

Arsitek Perencana Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Toni Sianipar berpendapat, soal keberagaman itu sebenarnya sudah ada dalam diri kita masing-masing, dalam DNA setiap manusia.  Untuk menghilangkan karunia itu butuh waktu 1.000 tahun. Maka sebenarnya kita tidak perlu khawatir soal perbedaan.

“Namun perbedaan bukan hanya soal budaya, etnis, agama dan sebagainya,  relasi antarrumah saja sudah ditemukan perbedaan. Maka yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya dengan baik. Jujur saja, saya pribadi banyak belajar toleransi dari teman Muslim yang sekolah di sini. Kita saling belajar dalam banyak hal. Sebenarnya, banyak pekerjaan rumah bagi guru dan sekolah agar siswa mampu memaknai dan mengaplikasikan karunia perbedaan itu dalam kehidupan sehari-hari yang lebih luas di masa depan,” kata dia.

Manila Kristin yang penyandang disabilitas sangat bersyukur dan berterima kasih selama studi di SMA BOPKRI 2 Yogyakarta mendapat kebersamaan dan dukungan yang luar biasa dari teman, guru dan karyawan sehingga dia lulus dengan baik.

Baca Juga :  Kecelakaan Karambol di U-Turn Brawijaya, Bantul, 1 Meninggal, 1 Luka Parah

Vista alumni yang kini menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi, sangat mengapresiasi dan merasakan pola pendekatan guru yang personal terhadap siswa dalam mendidik. Guru dapat menemukan dan membantu mengembangkan kemampuan siswa meski awalnya tidak kelihatan. Bahwa siswa yang nakal dan bodoh tidak harus dipinggirkan namun dibantu untuk menemukan kemampuan diri yang lain.

Mantan Ketua OSIS Javier Moses Ayorbaba mengisahkan, sebagai anak Papua pada awal masuk ke sekolah ini sempat mengalami keraguan karena merasa berbeda dalam banyak hal. Namun ternyata di sekolah ini dia justru merasakan kebhinekaan yang kental dan semua berjalan baik-baik saja. Dia merasakan sikap toleransi yang tinggi di antara sesama siswa dan hal ini harus terus dikembangkan.

Maria Goretti mantan guru yang sudah tiga tahun pindah tugas sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) ke sekolah lain, merasa belum dapat move on karena keakraban yang terjalin di sino.

“Ya saya merasa belum move on. Kebersamaan dalam perbedaan, sikap saling mendukung dan peduli di sini sangat kental.  Para siswa juga sangat menyadari dan belajar banyak dari kebhinekaan di sekolah ini,” kata dia. Suhamdani