JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Manufer Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari dalam kasus suap jual beli jabatan, ternyata tak lepas daari peran anggota DPR setempat, Hasan Aminuddin, yang tak lain adalah suaminya sendiri!
Pasalnya, diduga ada paraf Hasan Aminuddin dalam dokumen mengenai nota dinas pengangkatan pejabat di Probolinggo itu sebelum disetujui oleh Puput.
Gerak-gerik Hasan sudah masuk radar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak dua tahun lalu.
Saat itu, komisi mengendus adanya rencana penyerahan uang Rp 300 juta kepada Hasan dari seseorang yang baru menjabat kepala dinas.
“Saya memiliki catatannya,” kata Kepala Satuan Tugas Penyelidikan KPK, Harun Al Rasyid, Kamis (2/9/2021).
Dari laporan itu, KPK menurunkan tim ke Probolinggo melakukan pemetaan. Dari hasil suveilans, diketahui setiap calon diminta menyerahkan Rp 300 juta. Setelah informasi terkumpul, KPK menaikkan ke tahap penyelidikan.
Namun, proses penyelidikan berjalan berlarut-larut. Kasus sempat mangkrak, setelah Harun dan dua anggota penyelidiknya tersingkir lewat tes wawasan kebangsaan pada Mei 2021.
Sebulan belakangan, anggota tim Harun kembali bergairah karena mendapatkan informasi baru mengenai dugaan jual beli jabatan kepala desa di Kabupaten Probolinggo.
Tujuh anggota tim penyelidik berangkat ke Probolinggo pada Rabu (25/8/2021) untuk mengkonfirmasi informasi itu.
Harun yang sudah dinonaktifkan tetap berperan memberikan saran dan petunjuk mengenai pengintaian hingga penangkapan.
Pada 30 Agustus 2021, tim menangkap camat dan kepala desa yang diduga baru saja memberikan uang ke Hasan.
Hasan dan Puput diringkus belakangan di rumahnya di Jalan Ahmad Yani, Kota Probolinggo. KPK menetapkan suami-istri itu, dan 2 camat serta 18 calon kepala desa menjadi tersangka.
KPK menduga Hasan menerima Rp 360 juta dari para calon kepala desa.
Meski tak memiliki wewenang, Hasan diduga masih berpengaruh atas pengangkatan pejabat di Probolinggo.
Paraf Hasan sebagai tanda persetujuan diduga terdapat di nota dinas usulan pengangkatan kepala desa.
Setelah disetujui, dokumen usulan itu baru diserahkan ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Dari dinas itu, kemudian dibuatkan surat keputusan untuk diteken bupati.
Hingga kini, Hasan dan Puput belum bisa dimintai konfirmasi. Ketika dibawa ke KPK setelah operasi tangkap tangan, keduanya tak mau berkomentar.
Tempo berusaha meminta tanggapan melalui putra sulung Hasan, Zulmi Noor Hasani, tapi nomor kontaknya dalam keadaan tidak aktif.
Tempo juga berupaya menghubungi Zulmi lewat Pimpinan Redaksi Koran Pantura, Abdur Rohim Mawardi. Koran Pantura adalah media milik Zulmi. Abdur mengatakan bosnya tak bisa dihubungi sejak KPK menangkap Hasan.