Oleh: Begog D Winarso*
KINI publik riuh memperbincangkan. Di saat Covid-19 masih menyerang dan daya beli wong cilik turun drastis, 70 persen pejabat negara, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), harta kekayaannya meningkat.
Selain itu, banyak pejabat negara yang tidak menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara pejabat yang melapor banyak yang tidak jujur mengenai total jumlah hartanya. Mereka sengaja menyembunyikan hartanya yang tidak menutup kemungkinan hartanya diperoleh dari hasil KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
KPK mencatat, dalam kurun waktu selama pandemi kekayaan Jokowi naik Rp 8,9 miliar. Berdasarkan LHKPN periode 2020 yang disampaikan ke KPK pada 12 Maret 2021, total kekayaan Jokowi Rp 63,6 miliar. Adapun tahun 2019 harta Jokowi yang dilaporkan ke KPK Rp 54,7 miliar.
Harta terbanyak adalah berupa tanah dan bangunan. Ada 20 bidang tanah dan bangunan. Antara lain, tanah dan bangunan seluas 2.000m2/1.320m2 di Sragen, tanah dan bangunan seluas 1.380m2/138m2 di Boyolali, dan tanah/bangunan seluas 5.362m2/1992m2 di Kota Solo. Jokowi juga memiliki kas atau setara kas sejumlah Rp 10.047.790.536. Ia memiliki utang sebesar Rp 597.550.718.
KPK mengungkapkan ada 58 persen menteri yang kekayaannya bertambah lebih dari Rp 1 miliar. Salah satunya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Mantan Wakil Menteri Pertahanan itu memiliki harta Rp 1.947.253.281.442 per 2019. Kemudian naik Rp 481.530.801.537 menjadi Rp 2.428.784.082.978 per 31 Desember 2020.
Yang kita ngelus dada adalah ketidakjujuran pejabat negara yang tidak menyampaikan LHKPN harta miliknya secara keseluruhan dan mereka yang tidak melapor. Laporan yang dibuat hanya formalitas dan terulang setiap tahun.
Hal ini dilakukan lantaran UU yang mengaturnya menyebutkan, tiadanya sanksi pidana bagi yang tidak melapor dan yang ngapusi jumlah dan macam hartanya. Sanksinya hanya pelanggaran etika. Dengan demikian, mereka tenang, santai, dan bisa jadi tertawa riang.
Itu aturan hukum yang mandul pun dicampakkan. Hal ini membuat publik anyel, kecewa. Menurut KPK, dari tingkat kepatuhan, rumpun legislatif yang paling rendah kepatuhannya dibandingkan dengan rumpun kekuasaan lain. “Dari 575 anggota DPR, masih 239 anggota yang belum melapor,” kata Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan.
Ironis memang. DPR dan pemerintah selaku pihak yang membuat UU seolah masa bodoh atau sengaja membiarkan regulasi LHKPN yang tidak bertaji tersebut. Ada kewajiban, tetapi tak ada sanksi.
Lebih menyedihkan lagi adalah para pejuang reformasi yang kini duduk di kursi empuk di pemerintahan/BUMN juga tutup mata dan mulut. Mereka diam karena takut kehilangan kursi yang diduduki. Mereka boleh kita bilang mengkhianati apa yang pada tahun 1998 diperjuangkan.
Pelaporan kekayaan penyelenggara negara dan pemberantasan korupsi adalah inti reformasi. Gerakan mahasiswa pada Mei 1998 menuntut pengadilan terhadap pejabat korup yang mencuri uang rakyat. Gerakan reformasi mendesak penyelenggara negara mendeklarasikan kekayaan sebelum, ketika, dan sesudah menjabat.
Kita boleh bercuriga. Pejabat yang tidak melapor atau melapor tapi tak jujur banyak yang melakukan KKN, namun belum terhendus oleh KPK. Aman-aman saja. Dan dalam kondisi (tak adanya sanksi pidana) bisa jadi mereka kini asyik merancang KKN. Koruptor dan calon koruptor kini mungkin lagi sibuk mencatat/mendata peluang untuk KKN di titik mana saja. Begitu ada peluang langsung dieksekusi.
Sampai kapankah regulasi LHKPN yang mandul tersebut dibiarkan seperti sekarang? Semangat reformasi kini pudar? Perilaku tak terpuji (tidak menyampaikan LHKPN dan lapor tapi ngapusi) kian mengukuhkan pandangan bahwa korupsi adalah komorbid bangsa kita.
Kata banyak pihak, harapan satu-satunya hanya kepada Presiden Jokowi. Ia bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membolehkan negara merampas aset pejabat yang tidak dilaporkan, mewajibkan pembuktian terbalik aset penyelenggara negara. Singkat kata, Presiden Jokowi menerbitkan Perppu UU Perampasan Aset untuk menarik aset ilegal pejabat negara yang diperoleh dari hasil KKN.
Tak ada kata terlambat daripada tidak berbuat. Mumpung masih punya waktu hingga tahun 2024. Publik pasti mengapresiasi apabila Jokowi menerbitkan Perppu UU Perampasan Aset. Kita tunggu. (*)