YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Status keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dianggap belum mampu menjamin kesejahteraan masyarakat setempat.
Penilaian itu disuarakan oleh puluhan orang yang tergabung dalam Forum Warga Yogyakarta. Mereka turun ke jalan untuk menggelar aksi bancakan di simpang empat kawasan Titik Nol Kilometer, Kota Yogyakarta, Selasa (31/8/2021).
Pengendara maupun warga yang kebetulan melintas di kawasan tersebut mendapatkan nasi bancakan yang dibagi oleh sejumlah peserta aksi.
Aksi yang digelar bertepatan dengan peringatan 9 tahun keistimewaan DI Yogyakarta tersebut rupanya juga menjadi bentuk sindiran kepada pemerintah setempat.
Bahwasanya status keistimewaan Yogyakarta dianggap belum mampu menjamin kesejahteraan seluruh warga.
“Kita sebagai adat orang Jawa melakukan bancakan. Kita membagikan nasi-nasi bancakan di situasi pandemi di mana rakyat Yogya sedang kelaparan karena tidak ada jaminan penghidupan berupa bantuan sosial apapun dari Pemda,” jelas Juru Bicara Forum Warga Yogyakarta, Denta Julian disela-sela aksi.
Denta melanjtukan, dalam situasi pandemi, peran keistimewaan DIY sangat diharapkan oleh masyarakat.
Terutama pelaku usaha kecil, pedagang kaki lima, dan pekerja informal yang banyak mengalami pemutusan hubungan kerja hingga pembatasan aktivitas ekonomi.
Namun, sejauh ini kebijakan penanganan yang diterapkan Pemda DIY terkesan mengabaikan hajat hidup masyarakat.
Denta mencontohkan, sejauh ini dana keistimewaan (danais) justru dibelanjakan untuk membangun hal-hal yang bersifat monumental.
Seperti pemasangan pagar Alun-Alun Utara, pemugaran tembok benteng Keraton, pembelian eks Hotel Mutiara, serta pengadaan tanah bekas Kampus STIE Kerjasama.
“Itu bentuk bahwa danais tidak benar-benar dirasakan oleh rakyat itu sendiri,” bebernya.
Belum lama ini, Pemda DIY telah membuat skema relaksasi untuk membantu masyarakat terdampak.
Yakni dengan mengucurkan dana hibah untuk 115 koperasi di DIY.
Dana itu bisa dimanfaatkan koperasi untuk memberi pinjaman berbunga rendah kepada para anggotanya.
Namun menurutnya, skema tersebut belum tepat sasaran karena tak mampu menjangkau para pedagang kecil maupun pekerja informal.
“Dana tersebut hanya bergulir dalam bentuk hibah koperasi dalam bentuk pinjaman. Ini membuktikan bahwasanya Pemda DIY tidak ubahnya seperti lintah darat seperti rentenir yang akan mencekik rakyat Yogyakarta di tengah situasi pandemi seperti ini,” ungkapnya.
Atas beragam alasan tersebut, Denta menilai bahwa penerapan keistimewaan DIY belum sesuai dengan apa yang diamanatkan Undang-Undang (UU).
Tepatnya UU Nomor 13 tahun 2012 Pasal 5 yang mengamanatkan bahwa Keistimewaan DIY bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, kesejahteraan, dan ketenteraman.
“Ketika penetapan gubernur selama sepenuh hidup tidak dapat memberikan dampak apapun positif maka ya sudah kita kembalikan saja kepada pemerintah pusat untuk melakukan pemilihan gubernur di DIY,” jelasnya.
Sementara itu, Paniradya Pati Paniradya Kaistimewan DIY Aris Eko Nugroho mengungkapkan, pelaksanaan urusan keistimewaan berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sehingga seringkali keinginan masyarakat tak bisa direalisasi karena terbentur masalah birokrasi dan peraturan.
“Misalnya secara logika orang awam boleh tapi logika regulasi tidak bisa. Misalnya hibah kepada perorangan. Kalau perorangan itu namanya bansos. Begitu bansos maka harus ada di enam kriteria kelompok sosial,” jelasnya.
Aris menambahkan, jawatannya sangat terbuka dengan berbagai masukan dan kritik dari masyarakat.
Segala aspirasi baik melalui media sosial maupun pernyataan pengamat dan akademisi selalu menjadi perhatiannya.
“Kritik boleh, tapi kami selalu memohon kepada pihak yang mengkritisi untuk kami diberitahu (solusinya). Kritik boleh, tapi kami diberitahu apa yang harus kami lakukan,” tuturnya.