SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Dua puluh tiga tahun berlalu rupanya tak cukup untuk menghilangkan memori kelam bagi sebagian warga di Desa Gading, Kecamatan Tanon, Sragen ini.
Rasa trauma mendalam masih menggelayuti benak sejumlah warga di Dukuh Dulas di desa itu.
Maklum, bencana tanah ambles nan mengerikan yang terjadi tahun 1998 sempat meluluhlantakkan kampung itu.
Saat itu, bencana tanah ambles nyaris menenggelamkan satu kampung hingga ambles sampai kedalaman 13 meter. Tercatat ada 28 KK puluhan jiwa yang terpaksa harus merelakan angkat kaki dari dukuh itu demi keselamatan.
Namun, ada tiga KK yang masih memilih untuk bertahan tak mau pindah. Hingga kini mereka tetap bertahan sekalipun hampir semua tetangga mereka sudah meninggalkan kampung.
Satu di antaranya adalah Suminem (69). Nenek itu mengaku bersikukuh tetap bertahan meski sadar tempat yang ditinggalinya dalam ancaman longsor.
Ia mengaku memilih bertahan karena sebelumnya sudah menerima pesan oleh seorang sesepuh yang menurutnya masih ada trah Keraton Solo.
“Saya nggak takut dan masih di sini. Wong mpun diwelingi kalih Pak Hadiningrat Solo. Piyambake sanjang kowe ojo ngaleh-ngaleh soko kene yo. Nengo kene wae pokoke selamet ora ono opo-opo. (Saya sudah dipesan oleh Pak Hadiningrat Solo. Dia bilang tidak usah pindah. Di sini saja pokoknya selamat nggak akan terjadi apa-apa),” ujarnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Kamis (4/11/2021).
Entah kebetulan atau memang benar pesan itu, faktanya Suminem mengatakan sejak tragedi itu hingga kini dirinya juga aman-aman saja tinggal di rumahnya.
Kekhawatiran akan ancaman longsor susulan, juga tak pernah terjadi. Pun dengan kejadian fenomena alam sejenisnya tak pula ia rasakan.
“Aman-aman mawon Mas. (Aman-aman saja Mas),” tuturnya.
Suminem pun mengisahkan tragedi tanah ambles puluhan tahun silam memang sempat mengejutkan warga.
Seingatnya, kala itu tanah di kampungnya mendadak ambles seperti bergerak ditelan bumi.
Pasca kejadian, ratusan warga dari Sragen hingga luar daerah berbondong-bondong datang untuk melihat fenomena kampung yang ambles kala itu.
Mbah Dinah (60), warga yang juga masih bertahan, menuturkan seingatnya kala itu aliran warga sampai memicu kemacetan di jalan-jalan kampung di Desa Gading.
“Macetnya sampai ke beberapa kampung. Pelawak Pak Kirun itu juga sampai penasaran dan datang kesini. Dulu dia pernah ngiyup di rumah mbokde saya. Katanya datang hanya pingin lihat tanah ambles,” ujarnya.
Sebelumnya, Ngadiyo (60) salah satu warga Dukuh Dulas, Desa Gading mengisahkan bencana yang mendadak terjadi di malam hari 23 tahun silam itu.
“Iya yang benar-benar ambles jadi korban waktu itu ada 3 rumah. Lalu ada 25 rumah warga lain yang ikut terancam. Kejadiannya pas malam Jumat Kliwon lagi,” kata Ngadiyo.
Meskipun tidak ada korban jiwa, namun bencana itu membuat seisi kampung panik dan berhamburan menyelamatkan diri.
Dari catatannya, tiga rumah itu milik orangtuanya, Sarindi, Sakimin dan miliknya sendiri. Hingga kini ia masih tak habis pikir karena saat kejadian tidak ada gejala atau tanda alam apapun.
“Tidak ada hujan tidak ada angin tiba tiba waktu itu suaranya bruukkk begitu Mas. Lalu tanah dan rumah seperti anjlok ke dalam,” kenangnya.
28 KK Direlokasi
Akibat kejadian itu, 28 KK di kampungnya terpaksa harus direlokasi. Lokasi kampung yang sudah retak dan ambles membuat pindah tempat menjadi pilihan yang sulit dihindari.
Warga dari 28 KK itu kemudian direlokasi ke lahan tanah kas desa atas rekomendasi Pemkab Sragen.
“Waktu itu disuruh pindah ya kita pindah semua di tanah milik pemerintah. Sampai saat ini dan setiap tahun juga pajak Rp 50.00 per KK lewat Ketua RT baru disetorkan ke Pak Lurah, kalau sekarang warganya udah nambah KK-nya sekitar 36 KK,” ujarnya.
Sementara, pantauan JOGLOSEMARNEWS.COM , lokasi bekas tanah ambles di Dulas itu sangat memprihatinkan.
Hanya rumput liar dan sejumlah pohon keras yang menghiasi lahan yang sempat menjadi domisili puluhan warga tersebut.
Kades Gading, Puryanto membenarkan tragedi tanah ambles yang melanda desanya itu. Seingatnya bencana tanah longsor dan ambles itu terjadi antara 1997 dan 1998.
Menurutnya topografi permukiman di Dukuh Dulas yang kala itu di dekat sungai kecil, menjadi pemicu bencana longsor yang meluluhlantakkan seisi perkampungan.
“Dulu kondisi lahan di situ memang ada kalennya (sungai kecil) sehingga tanahnya menjadi longsor. Kalau enggak salah kejadiannya sekitar 1997/1998,” ujar dia.
Ihwal kondisi sekarang, Kades mengatakan selama ini relatif kondusif. Tidak ada bencana yang signifikan lagi.
“Masalah gempa bumi dan tanah longsor sekarang enggak ada. Mungkin hanya angin itu pun jarang,” pungkasnya. Wardoyo