JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah Kota Yogyakarta mengalami kenaikan.
Kenaikan tersebut sebagai dampak dari pandemi covid-19 yang melanda negeri ini selama sekitara 2 tahun belakangan.
Bukan tanpa sebab, masalah ekonomi menjadi satu di antara latar belakang terbesarnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Yogyakarta, Edy Muhammad menandaskan, pada 2019, angka kekerasan pada perempuan berada di angka 122.
Kemudian, naik di angka 145 per 2020 dan 175 hingga Oktober 2021.
Setali tiga uang, kekerasan pada anak yang pada 2019 silam berada di angka 39, kemudian hingga Oktober 2021, sudah menyentuh 55 anak.
Faktor orang tua yang kini “dipaksa” menjadi guru akibat sekolah online, melatarbelakangi fenomena, yang didominasi kekerasan psikis itu.
“Secara tidak langsung, iya, angkanya menunjukkan seperti itu, antara pandemi, dan setelahnya. Tapi, ini baru sebatas angka-angka yang menunjukkan korelasi. Seharusnya ini butuh penelitian juga,” cetusnya, Rabu (1/12/2021).
Dijelaskannya, penyebab utama dari tindak kekasan adalah faktor karakter, dan tempramen dari pelaku yang memang tidak mampu mengendalikan emosinya. Kemudian, yang kedua, barulah didorong faktor terkait ekonomi.
“Ini jadi evaluasi bagi kami, karena kami harus memberikan pendampingan terhadap korban kekerasan. Kalau fisik, ya, pendampingan secara medis. Kalau psikis, ya, didampingi secara kejiwaannya. Kita intens di sana,” ujarnya.
Oleh sebab itu, pihaknya berupaya membangun ketahanan dalam keluarga, agar setiap person di dalamnya dapat lebih memahami kondisi.
Termasuk, mengimbau mereka, untuk mendalami sisi religiusitasnya, agar emosi tidak begitu mudah meledak-ledak, dan semakin terkontrol.
“Karena banyak kekerasan disebabkan faktor ekonomi. Jadi, harus lebih memperdalam sisi keagamannya, ibadahnya, supaya bisa lebih menahan diri, ya,” ucap Edy.
“Selain keluarga, lingkungan juga kita ajak untuk berperan. Dalam artian, jika melihat adanya kekerasan di lingkungan, bisa melaporkan lewat RT, RW, atau Satgas Sigrak melalui JSS, karena bisa langsung terlacak,” lanjutnya.
Hanya saja, jika mendapat laporan kekerasan, khususnya yang menjurus ke fisik, pihaknya tidak mampu serta merta membawanya ke ranah hukum.
Sebab, untuk ke arah sana, dibutuhkan persetujuan dari korban. Alhasil, situasi ini seringkali membuat Pemkot merasa dilematis.
“Mereka mendapatkan kekerasan, tapi ada masalah yang berdampak pada ekonomi, atau kesejaheraan keluarganya. Sehingga, kita cenderung mendampingi kedua belah pihak, baik korban, maupun pelaku,” cetus Edy.