SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Usia yang sudah uzur, tidak membatasinya untuk terus bekerja keras. Dialah Ngatiyem, seorang penjual makanan keliling yang hidup sendirian di umurnya yang sudah tua dan harus mengais rezeki untuk menyambung hidup.
Dengan penuh kesabaran, Ngatiyem melangkahkan kaki menyusuri gang-gang kecil dengan menggedong dagangan makanan di punggungnya.
Di usianya yang sudah 60 tahun, ia tak bisa bersantai dan menikmati hari tuanya. Ibarat pepatah Jawa, ora obah ora mamah, begitulah Ngatiyem. Jika mau makan hari itu maka ia harus lebih dulu berjalan menyusuri lorong-lorong kampung berjualan makanan.
Tubuh yang sudah tak lagi muda dipaksanya untuk terus berjalan sejauh ia mampu. Baginya, tak ada tempat untuk mengeluh.
Saat ditemui Joglosemarnews di kediamannya Bibis Baru RT 03/ RW 24, Nusukan, Banjarsari, raut wajah tua itu masih menyisakan ketegaran.
Mbah Tress, sapaan akrabnya, mengaku sudah berjualan makanan keliling sejak 1990-an silam sampai sekarang.
“Jadi kalau dihitung ya sudah tiga puluh dua tahunan saya berjualan,” ujarnya membagi kisah.
Hidup sendirian tanpa ditemani oleh suami dan anak-anaknya, mengharuskan Ngatiyem tetap berjualan di usia tuanya.
Suaminya yang sudah tiada beberapa tahun yang lalu membuat Ngatiyem harus mengerjakan semuanya sendiri, di rumah tua yang beralaskan semen berdinding triplek atau kayu ia hidup sendirian.
Dulu, ketika suaminya, Sutrisno masih hidup, ia masih bisa berbagi pekerjaan sehingga pekerjaanya lebih ringan. Namun sekarang ia harus melakukannya sendirian.
Anak-anaknya sudah berkeluarga dan merantau ke Jakarta. Ngatiyem pilih hidup sendiri karena tidak mau merepotkan anak-anaknya. Jarang sekali anaknya menengok untuk mengetahui keadaan mbah Tress.
“Anak-anak di Jakarta juga mencari uang. Kalau di sini cari pekerjakaan juga susah. Dulu jarang pulang, apalagi sekarang saat pandemi ini,” ujarnya.
Kakinya yang mulai rapuh, membuat ia sering merasakan sakit, wajarlah diusia senjanya ia harus berjalan jauh.
Seharusnya di usia senja seperti itu, ia sudah istirahat untuk tidak bekerja dan menikmati masa tuanya. Tetapi kehidupan yang memaksanya untuk terus bergerak mencari rezeki.
Di pagi hari ia pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan masakan. Mengenakan jarik, rambut yang digulung seperti konde, mata yang mulai rabun, dan pendengaran yang mulai menurun.
Namun kondisi itu seolah tak dihiraukannya. Ia terus saja berjalan ke pasar di tengah ramainya jalan raya yang membuat dia harus berhati-hati ketika hendak menyebrang.
Di pasar ia sudah mengenal semua pedagang pasar, kadang terdapat pedagang yang merasa kasihan dan memberikan harga miring kepada mbah Tres.
Sepulangnya dari pasar ia langsung meracik semua bahan untuk dijadikan makanan matang. Mbah Tres berjualan dari pukul 16.00 WIB sampai pukul 20.00 WIB. Ia sering kali merasa sedih ketika pulang masih membawa dagangan yang cukup banyak.
“Ya sedih, sudah keliling jauh-jauh tapi tidak laku,” katanya.
Hidup hanya sendirian di kota besar dan harus mencari rezeki untuk memenuhi kehidupannya. Hal ini membuat para membelinya iba dan merasa kasihan terhadap Mbah Tress.
Komariah, salah seorang pelanggan Mbah Tress juga merasakan kasihan melihat nenek-nenek yang sudah tua harus berdagang dengan menggendong dagangannya.
“Saya sering beli gorengan mbah Tres, ya kasihan juga kalau tidak dibeli,” ujar Komariah. Selvia Safitri