SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Polemik penarikan tanah kas desa yang memicu penolakan dari perangkat desa (Perdes) di Sragen, dinilai berpotensi masuk ke ranah pidana.
Sejumlah aktivis pemuda yang tergabung dalam aliansi pemuda peduli desa (APPD) Sragen menegaskan jika pengelolaan tanah kas desa oleh Kades dan perangkat sangat berpotensi melanggar aturan.
Tidak hanya pelanggaran administrasi, hal itu dinilai bisa berpotensi melanggar pidana.
Penegasan itu disampaikan juru bicara APPD Sragen, Handoko Wahyu di sela audiensi soal bengkok di DPRD setempat, Kamis (10/2/2022).
Audiensi digelar sebagai bentuk keprihatinan atas gelombang penolakan perangkat desa yang tergabung dalam Praja terkait penarikan dan pelelangan tanah kas desa ke Siskeudes.
“Kami mempertanyakan dasar aturan perangkat desa ngotot mempertahankan tanah eks bengkok untuk terus dikelola perangkat desa. Karena sejak muncul Perda No 2/2010 tentang Kedudukan keuangan Kepala Desa Perangkat Desa dan Peraturan Bupati No.9 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sragen, tanah bengkok seharusnya sudah dikelola sebagai sumber pendapatan desa. Sehingga mekanismenya memang harus dilelang,” paparnya kepada wartawan.
Karenanya, ia menilai sangat tidak beralasan ketika para perangkat desa kemudian ngotot melalukan perlawanan terhadap penarikan tanah kas desa jatah perangkat dan kades.
Sebab mengacu Perda No 2/2010 itu, mestinya sudah tidak ada lagi istilah tanah bengkok. Dalam Perda tersebut salah satunya mengamanatkan tanah eks bengkok harus dikembalikan sebagai sumber pendapatan desa paling lambat November 2010.
Sebaliknya yang ada adalah tanah kas desa yang pengelolaannya dilakukan melalui mekanisme lelang sebagai sumber pendapatan desa.
”Sejak 2010 regulasi harusnya sudah dikembalikan. Pada 2017 lebih diperjelas lewat Perbup nomor 76 tahun 2017,” imbuhnya.
Atas dasar itulah, Handoko memandang jika eks bengkok tidak ditarik ke Siskeudes dan nekat akan dikelola perangkat desa, maka sangat berpotensi menjadi pelanggaran.
Sikap Praja yang menolak kebijakan itu, dinilai justru bisa jadi bumerang bagi mereka. Sebab ada potensi manipulasi data terkait pendapatan desa dari tanah kas yang juga termasuk keuangan negara.
”Justru kalau praja seperti kemarin, artinya bunuh diri. Kalau masih diteruskan itu sangat berbahaya. Makanya kalau mereka masih ngotot merasa benar, menurut hemat saya silakan ditindaklanjuti ke Aparat Penegak Hukum (APH) bisa menjadi delik aduan. Semoga saja kami yang salah,” ujarnya.
Potensi Kerugian Negara dan Pidana
Handoko menegaskan penolakan Praja itu rawan menyeret ke ranah hukum. Sebab ada potensi kerugian negara dalam persoalan tanah bengkok sejak 2010 hingga sekarang.
Hal itu dikarenakan selama hampir 12 tahun sejak Perda berlaku, tanah bengkok tidak dikelola sebagaimana aturannya. Akan tetapi masih nekat dikelola sebagai tunjangan tambahan penghasilan Kades dan perangkat.
“Ada potensi ketidakjelasan administrasi dan tidak menjalankan regulasi yang telah dibuat. Misalnya tanah kas desa eks bengkok dimasukkan dengan nilai misalnya Rp 20 juta. Masalahnya nilai tersebut didapat dari mana? Misal ada lelang dengan penawaran tertinggi Rp 20 juta dan ada berita acara, tapi tidak ada lelang jadi sumber nilainya darimana? Ini bisa jadi bencana karena memanipulasi keuangan negara,” terangnya.
Atas kondisi itu, ia berharap bisa menjadi renungan dan perhatian bagi semua pihak utamanya perangkat desa dan Pemkab.
Bahwa setiap aturan mestinya tidak diterjemahkan atau ditafsirkan menurut kepentingan tertentu atau dipaksakan sesuai keinginan tertentu.
“Kalau boleh mencermati, kebijakan pencatatan tanah bengkok atau kas desa ke Siskeudes itu biar tertib administrasi dan sesuai aturan. Kalau mereka ngotot bunyi SK, bengkok melekat di jabatan silakan dilihat lagi. Bunyi SK itu setahu kami diberikan tambahan penghasilan setara dengan Persil no sekian. Artinya bukan mengelola, tapi diberikan setara dengan bengkok itu,” terangnya.
Ia juga menyebut pencatatan tanah kas dan pelelangan itu juga punya dampak positif terhadap kepentingan lebih besar yakni masyarakat secara umum.
Yakni memberi kesempatan para petani yang tidak punya sawah atau garapan tetap, untuk ikut lelang dan bisa menggarap.
“Nah petani yang nggak punya lahan setidaknya punya kesempatan menggarap kas desa eks bengkok melalui proses lelang. Inilah bentuk pemerataan ekonomi. Bukan monopoli perangkat dan kades lagi,” tandasnya.
Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Sragen Dwi Agus Prasetyo, menyampaikan sesuai aturan semua tanah eks bengkok memang dicatatkan dalam Siskeudes dan masuk dalam APBDes.
Sehingga proses pengelolaan nantinya akan dilelang terbuka. Pihaknya menyampaikan lelang harusnya sejak perbup nomor 76 tahun 2017 ditetapkan.
Namun baru 2021 mulai disosialisasikan ke semua perangkat desa. Hal itu karena banyak masukan dari perangkat dan kepala desa perlu penyesuaian di lapangan.
”Sewa dan penerimaan diberlakukan setiap tahunnya, tapi biasanya sewa bisa lebih dari satu tahun. Kita lebih fleksibel dan mulai memasukkan pada 2022. Pemkab Sragen mengimbau, untuk mulai memasukkan ke Siskeudes agar tertib administrasi. Itu saja,” tandasnya. Wardoyo