Catatan: Anas Syahirul*
Selama sepekan kemarin, mulai 11 sampai 17 Pebruari, Kota Solo dipenuhi rombongan wartawan yang juga penghobi sepakbola yang datang dari berbagai kota di tanah air. Mereka mengikuti “Turnamen Sepakbola Antar Wartawan se-Indonesia” memperebutkan Piala Gibran Rakabuming yang berlangsung di Stadion Sriwedari dan Lapangan Kotabarat.
Turnamen yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Surakarta bersama komunitas pecinta sepakbola “Kandang Ayam Rawamangun” ini untuk memeriahkan Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh 9 Pebruari, sekaligus menjalin silaturahim antarwartawan.
Mengapa digelar di Solo? Ya karena Solo punya magnet tersendiri termasuk dari sisi sepakbola tanah air. Ini bagian dari cerita Solo dan sepakbola.
Solo dan Sepakbola. Ya, dua wujud yang sulit untuk dipisahkan. Keduanya saling bekelindan, sudah menyatu atau ibarat orang jawa sudah gathuk (menyatu). Solo juga bagian sejarah sepakbola nasional, Solo juga menatap masa depan sepakbola Indonesia.
Kesejarahan sepakbola di tanah air memang tak bisa dilepaskan dari Kota Solo. Di kota inilah banyak cerita tentang itu. Solo yang kini dipimpin anak muda penuh semangat ini, dulunya menjadi salah satu titik penting perlawanan penjajahan Belanda lewat sepakbola.
Tan Malaka bilang “Sepakbola Adalah Alat Perjuangan”. Para tokoh dan pengelola klub sepakbola di tanah air kala itu menyadari sepakbola bisa menjadi sarana untuk menggelorakan semangat nasionalisme. Mereka ingin berperan turut menggelorakan semangat kemerdekaan Indonesia lewat sepakbola. Semangat itu harus disatukan bersama dari berbagai klub sepakbola di tanah air. Kala itu belum banyak klub sepakbola seperti sekarang yang setiap kota sudah ada.
Penggeraknya adalah Soeratin Sosrosoegondo, tokoh sepakbola dari Yogyakarta. Ia menggalang pertemuan dengan para aktivis sepakbola dari Solo, Bandung, Magelang, Surabaya dan Jakarta untuk berjuang menggelorakan perlawanan penjajahan lewat sepakbola.
Salah satu kota yang sering dijadikan tempat pertemuan para tokoh sepakbola tersebut adalah SOLO, selain di Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. Untuk menghindari penangkapan tentara atau polisi Belanda, komunikasi dilakukan secara diam-diam di antara mereka. Maklum, kala itu tak mudah untuk kumpul-kumpul apalagi untuk melawan penjajah.
Dari pertemuan-pertemuan itulah, salah satu karya besar sejumlah tokoh sepakbola tersebut adalah terbentuknya organisasi Persatoean Sepak Raga Seloroeh Indonesia yang disingkat PSSI yang disepakati pada pertemuan di Yogyakarta, 19 April 1930.
Solo kembali menjadi sejarah sebagai tempat penyelenggaraan Kongres PSSI pertama, setahun setelah organisasi itu terbentuk. Kala itu masih memakai itilah “Kerapatan Besar”. Kerapatan Besar atau kongres pertama pada 21-24 Mei 1931 itu digelar di Gedung Soceiteit Habipraya atau biasa orang Solo menyebut Habipraja. Sayang gedung itu sudah tak ada, dan kini sudah menjadi bangunan pusat perbelanjaan.
Kerapatan Besar di Kota Bengawan itu memutuskan perubahan nama PSSI menjadi Persatoean Sepakbola Seloroeh Indonesia. Kongres juga mengukuhkan Soeratin Sosrosoegondo sebagai Ketua PSSI yang pertama.
Kejuaraan PSSI untuk pertama kalinya juga digelar di Solo dibarengkan dengan Kerapatan Besar. Laga pertandingan saat itu digelar di Alun-alun Keraton Surakarta. Kejuaraan PSSI tahun 1931 ini dimenangi oleh Voetbalbond Indonesische Jakarta (VIJ-Jakarta), juara kedua Persatoean Sepak Bola Mataram (PSM-Yogyakarta), dan peringkat ketiga Voetbal Bond Solo (VVB-Solo).
Kota Solo juga menjadi penyelenggara PON pertama di tanah air, di mana cabang sepakbola menjadi primadonanya. Kala itu pertandingan digelar di Stadion Sriwedari, yang berlangsung pada September 1948.
Gibran Cetak Gol
SOLO memang tak lekang dari perbincangan sepakbola. Dalam perkembangannya, Solo menjadi incaran tim-tim besar untuk berhomebase di sini. Misalnya Arseto Solo, Pelita Solo, Persijatim Solo FC yang dikenal dengan Solo FC, Bhayangkara United, Ksatria FC. Mereka yang berhome base di Solo merupakan tim-tim besar dengan torehan prestasi di kancah sepak bola nasional.
Sepakbola terus menjadi buah bibir di kota asal Presiden Joko Widodo ini. Persis yang berdiri tahun 1923 yang kala itu bernama VVB pernah menjadi tim yang diperhitungkan di era kompetisi perserikatan. Persis juga pernah masuk Divisi Utama. Kini Persis juga telah berhasil lolos berada di kasta tertinggi kompetisi nasional yakni di Liga 1 dan menjadi juara Liga 2.
Memang banyak cerita yang tak pernah habis tentang solo dan sepakbola. Agar ruang cerita tentang sepakbola terus bergema di Kota Bengawan ini, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Surakarta bersama para penggemar sepakbola dari Kandang Ayam Rawamangun meneruskan cerita sepakbola di Solo dengan membuat event Turnamen Sepakbola Antar Wartawan se-Indonesia.
Selama sepekan dari tanggal 12 hingga 17 Pebruari kemarin kami membuat cerita tentang sepakbola di kota ini. Tim dari delapan kota di tanah air berjibaku saling adu strategi bermain bola. Mas Walikota dan para legenda Timnas pun turut merangkai cerita sepakbola di momen ini. Gibran Rakabuming Raka bersama para pejabat dan legenda Timnas turun merumput dalam laga eksibisi di Stadion Manahan sebagai pembuka turnamen. Inilah kali pertama Mas Walikota Gibran merumput di Stadion Manahan dan mencetak satu gol hasil umpan matang dari legenda Timnas Kurniawan DY. Ditutup dengan laga final antara DKI versus Jatim yang dimenangkan Tim SIWO DKI sebagai kampiun-nya.
Mengapa cerita sepakbola selalu menarik di Solo. Di sini bukan hanya bicara infrastruktur yang memadai. Lihat saja ada stadion megah di pusat kota, Stadion Manahan. Begitu pula beberapa lapangan tambahan yang digunakan untuk latihan dengan sangat berkualitas. Selain infrastruktur stadion dan fasilitas kota yang memadai, ada daya tarik lain di kota ini tentang sepakbola. Atmosfir bersepakbola di kota ini sangat terasa. Suporter yang antusias, sambutan masyarakatnya yang ramah, fasilitas kota yang memadai maupun kenikmatan kuliner tradisional yang selalu dirindukan.
Ada pula cinta dan kasih sayang dalam turnamen sepakbola antara wartawan se Indonesia memperebutkan Piala Gibran selama 7 hari kemarin. Satu tim rata-rata beranggotakan minimal 30-an orang yang bergabung ke Solo. Di lapangan, mereka bertarung penuh persaingan, penuh gairah untuk saling mengalahkan.
Namun di luar lapangan, persaudaran dan cinta kasih sesama kawan tetap jadi junjungan di sela-sela turnamen. Kita udud bareng, ngopi bareng, saling ledek, kuliner bareng atau mencari kesenangan dan cinta lain di Kota Bengawan. Para wartawan yang hobi main bola dari delapan daerah (Solo, Semarang, Kalsel, Jabar, DIY, Riau, DKI dan Jatim) ini berbaur merasakan aura silaturahim dan persahabatan antar kawan. Itulah sejatinya, tujuan turnamen ini digelar. Warga Solo juga sudah terbiasa menyambut tamu yang datang ke kota ini dengan penuh cinta. Termasuk salam hangat penuh cinta dari Sang Walikota yang memberikan dukungan luar biasa….sampai bertemu di ajang berikutnya…! salam sehat dan persahabatan dari Kota Bengawan..(*)
—*Penulis adalah Penikmat Sepakbola—