WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Ternyata tidak hanya TBC atau tuberkulosis dengan gejala yang perlu diwaspadai. Ada lagi jenis TBC tanpa gejala yang wajib mendapatkan perhatian.
TBC tanpa gejala ini disebut TBC laten. Perlu dilakukan skrining terhadap kontak erat namun terkendala masyarakat yang enggan diskrining.
Kementerian Kesehatan atau Kemenkes RI pun meminta masyarakat tetap mewaspadai adanya potensi penyakit TBC laten itu.
Melansir kemkes.go.id, pada Kamis (24/3/2022), penyakit TBC telah menyebabkan 93 ribu kematian per tahun di Indonesia.
Selain TBC aktif yang dapat dilihat gejalanya, Kemenkes menyebut ada TBC laten yang perlu diwaspadai karena tidak terlihat gejalanya dan bisa muncul kapanpun.
Ketua Yayasan Stop TB Partnership dr Nurul H.W. Luntungan, penyebab TBC laten adalah bakteri yang bersembunyi di dalam tubuh seseorang, sehingga orang tersebut nampak tidak memiliki penyakit TBC.
”Penyakit TBC laten ini disebabkan oleh bakteri, dan bakteri TBC laten ini beda dengan bakteri lain. Bakteri TBC laten ini bisa sembunyi di dalam tubuh dan orang yang kena bakterinya belum tentu terlihat sakit TBC,” kata dia.
Selanjutnya, Koordinator Substansi TBC, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakti Menular Kemenkes dr Tiffany Tiara Pakasi mengatakan infeksi TBC laten terjadi saat seseorang yang terpapar kuman TBC namun memiliki imunitas yang bagus sehingga menyebabkan dia tidak bergejala.
Tapi sebenarnya kumah tersebut tidak hilang melainkan dalam posisi tertidur.
”Sehingga sewaktu-waktu ketika daya tahan tubuhnya turun dan lain-lain dia bisa memicu kuman tersebut sehingga terjadi tuberkulosis aktif,” beber dia.
Pengendalian TBC laten ini belum lama masuk ke dalam program pemerintah dengan ditetapkannya sebagai program eliminasi TBC setelah ada komitmen untuk mengakhiri TBC tahun 2030.
”Jadi baru beberapa tahun terakhir pemerintah memfokuskan TBC laten ke dalam program eliminasi TBC, dan fokus pada kelompok yang paling berisiko dalam hal ini kontak erat dari semua usia,” ujar dr Tiara.
Skrining kontak erat dilakukan melalui pertanyaan dan pemeriksaan dengan tes tuberkulin di kulitnya, atau pemeriksaan melalui darah.
Kalau diketahui ada TBC laten maka orang tersebut akan diberikan obat pencegahan TBC.
Dalam tes tuberkulin, sejumlah kecil protein yang mengandung bakteri TBC akan disuntikkan ke kulit di bawah lengan.
Bagian kulit yang disuntikkan lalu diperiksa setelah 48-72 jam, jika hasilnya positif, berarti orang tersebut telah terinfeksi TBC.
Namun, lanjut dr. Tiara, karena TBC laten tidak bergejala, kebanyakan masyarakat tidak mau melakukan skrining. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan dalam menemukan dan mengobati orang dengan TBC.
”Di sini memang diperlukan juga edukasi. Bagi orang yang diketahui positif TBC minum obatnya tidak sekali minum, minum obat paling cepat itu 3 bulan seminggu sekali, ada juga yang 6 bulan tiap hari. Sehingga memang perlu diyakinkan masyarakatnya yang sudah kita tes berisiko TBC laten untuk mau minum obat,” beber dr Tiara. Aris Arianto