SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Keputusan Menteri ATR/BPN tentang peta Lahan Sawah Dilindungi (LSD) akhir 2021, memicu polemik di Sragen.
Masuknya sekitar 1.000 hektare lahan zona industri dan kawasan investasi di Sragen ke LSD, dinilai membuat para investor resah.
Bahkan, PLT Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Tugiyono mengaku hampir tiap hari digeruduk investor yang menanyakan nasib investasi mereka lantaran lahan yang dibeli mendadak masuk LSD.
“Iya, harian kami digeruduk investor dan pengembang (perumahan) karena mereka terlanjur beli lahan yang di RTRW sudah masuk zona industri, perdagangan jasa dan investasi. Tapi begitu turun LSD, ternyata lahan yang mereka beli masuk LSD,” paparnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Jumat (1/4/2022).
Tugiyono yang juga Assisten II Setda Sragen itu menyampaikan dari 1.000 hektare lahan investasi yang masuk LSD itu mayoritas ada di wilayah Sambungmacan dan Gondang.
Kemudian, beberapa lahan yang sudah dibidik investor seperti dua titik di Sragen Barat, juga masuk LSD.
Menurutnya keputusan Menteri ATR/BPN soal LSD itu sangat merugikan daerah karena tidak relevan dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Sebab 1000 hektare lahan industri yang masuk LSD itu di RTRW sebenarnya sudah ditetapkan sebagai zona industri, perdagangan jasa hingga perumahan.
Karenanya setelah dilakukan verifikasi di lapangan oleh 2 tim Dirjen ATR/BPN akhir pekan lalu, Pemkab Sragen tegas langsung membuat pernyataan sikap.
“Hari Minggu (27/3/2022) rapat terakhir dengan 2 tim itu, lalu Pemkab Sragen membuat pernyataan sikap tegas yaitu tetap minta Kementerian ATR/BPN agar Sragen kembali ke RTRW,” jelasnya.
Rapat akhir dengan tim Dirjen itu juga membuat kesimpulan Pemkab Sragen siap menginventarisasi lahan industri yang masuk LSD. Kemudian segera menginventarisasi dokumen dan data pendukung disertai komitmen.
Lantas, jika ditemukan fakta di lapangan posisi lahan sudah dibeli, sudah diurug, sudah ada bangunan, ada proses izin, dan ada bukti pembelian, maka bisa dikeluarkan dari LSD.
“Lalu lahannya tidak ada irigasi premium dan bukan lahan yang ada irigasi teknis. Kemudian panenan di bawah 6 ton per hektar sekali tanam dan masa tanam dalam setahun maksimal 2 kali,” urai Tugiyono.
“Mereka (tim) sudah melakukan sampling cek ke beberapa wilayah. Nanti yang tidak sesuai akan didata dan tinggal diajukan untuk menunggu revisi LSD,” jelasnya.
Lebih lanjut, Tugiyono menegaskan sikap kembali ke RTRW itu didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Dari hasil kajian hukum yang ia lakukan bersama beberapa pihak dan pakar, kedudukan LSD dinilai sangat subyektif karena hanya keputusan sepihak dari menteri.
Sementara, Perda RTRW lahir melalui proses pembahasan panjang meliputi kajian, public hearing, KLHS, persetujuan DPRD dan evakuasi Gubernur.
Di Sragen, Perda RTRW disahkan tahun 2020 setelah melalui proses pembahasan dan kajian selama 4 tahun sejak 2016.
Sebelum ditetapkan, RTRW juga harus melalui pembahasan alot di pusat yakni Kementerian PU bersama kontak sektor 13 kementerian terkait.
“Lalu secara kedudukan tata perundang-undangan, keputusan menteri itu tidak masuk. Sementara Perda masuk dan menjadi perundangan paling bawah. Makanya ketika LSD yang dibuat selama 4 tahun dan disahkan 2020, otomatis tidak serta merta dipatahkan oleh Keputusan Menteri,” tandasnya. Wardoyo