JOGLOSEMARNEWS.COM – Konstruksi dalam bidang hukum, khususnya pembaruan hukum pidana, tidak hanya sekedar membangun sebuah lembaga-lembaga hukum saja. Melainkan, juga harus mencakup pembangunan substansi produk-produk hukum yang merupakan hasil dari manifestasi suatu mekanisme hukum dalam bentuk instrumen peraturan hukum pidana dan yang bersifat kultural, yakni sikap dan nilai yang mempengaruhi berlakunya sistem hukum.
Pembaharuan dan pembangunan hukum pidana tidak dapat dilakukan secara ad-hoc (partial) tetapi harus bersifat mendasar, menyeluruh dan sistemik dalam bentuk rekodifikasi yang mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok hukum pidana.
Ketiganya adalah perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) baik dari pelaku berupa manusia alamiah (natural person) maupun korporasi (corporate criminal responsibility) dan pidana serta tindakan yang dapat diterapkan.
Pemikiran para ahli tentang hukum pidana terus berkembang, mengikuti lajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai cabang ilmu, maka hukum pidana telah menyumbangkan karya-karya dan merentangkan jalan yang luas untuk perjuangan keadilan dan kepastian dalam berhukum di belahan dunia manapun.
Tidak ada kebutuhan dasar dari suatu masyarakat yang beradab, yang tidak memerlukan hukum pidana. Sebagai hukum yang mencirikan sanksi, adalah sumber ketertiban dan bahkan keadilan.
Sejarah mencatat persoalan pidana dan pemidanaan selalu menunjukkan perubahan. Seiring perkembangan zaman, keberadaannya telah banyak diperdebatkan para ahli.
Bila dilihat dari perspektif perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah wajar, karena manusia selalu berusaha untuk mempelajari suatu hal, demi meningkatkan kesejahteraan di masa mendatang.
Ketika hukum pidana dan hukum acara pidana, masih dikuasai oleh zaman absolutisme pada zaman ancien regime, penguasa merumuskannya secara politis dan tidak tegas. Pemeriksaan perkara pun dilakukan secara tertutup agar kekuasaan sewenang-wenang dimungkinkan.
Pada masa revolusi Perancis, merupakan langkah awal perubahan hukum pidana yang di susun secara sistematis.
Perubahan ini mengarah pada pola pendekatan sosial yang memandang kejahatan sebagai gejala sosial. Muncul kelompok aliran hukum pidana dengan klasifikasi aliran klasik, aliran kriminologi dan aliran sosiologis.
Dalam menentukan suatu tindak pidana, digunakan kebijakan hukum pidana. Penal Policy atau politik kriminal hukum pidana, pada intinya bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang, kebijakan aplikasi, dan pelaksanaan hukum pidana.
Sehingga, peraturan perundang-undangan pidana dibuat, sudah terarah sesuai dengan yang hendak dituju, atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.
Hal tersebut berarti menyangkut proses kriminalisasi, atau suatu proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat di pidana. Proses itu diakhiri dengan terbentuknya undang-undang, di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.
Dampak dari perkembangan pemidanaan melahirkan suatu prinsip menghukum menjadi prinsip membina, menjadikan terpidana bukan lagi sebagai objek melainkan menjadi subjek, sehingga melihat terpidana sebagai manusia seutuhnya.
Kemajuan globalisasi teknologi turut serta dengan kuat membentuk dan mempengaruhi proses pendidikan dan rasa keadilan didalam masyarakat yang pada akhirnya memunculkan pergerakan yang berpengaruh terhadap usaha-usaha pembaharuan hukum pidana yang hingga kini terus berlangsung.
Tercatat dalam sejarah Penerapan pidana, dapat dilihat terbagi menjadi beberapa periode, awal mula terjadi pada awal abad pertengahan menggunakan sistem ganti rugi yang di mana semua persoalan pidana diselesaikan dengan sistem pembayaran uang, binatang atau sejenisnya dengam daftar tarif yang sudah ditentukan.
Periode berikutnya, yaitu terjadi pada akhir abad pertengahan, dengan pertambahan jumlah penduduk, timbul banyak persoalan sosial, menurunya perekonomian serta meningkatnya kriminalitas untuk melakukan perampasan harta kekayaan sehingga melahirkan suatu sistem untuk menyakiti penjahat melalui penerapan pidana secara kasar.
Periode ketiga, yaitu terjadi saat 1600- an sampai revolusi industri, pada masa ini penerapan pidana penjara sedang berkembang, serta mengalami beberapa revolusi.
Periode keempat, yaitu pada abad kedelapan belas dengan munculnya pidana mati, sebagai bentuk upaya untuk membuat jera rakyat yang sudah tidak takut terhadap pidana perampasan kemerdekaan.
Pidana denda terus mengalami perkembangan pada abad kedua puluh yaitu ketika raja menerima pembayaran atas kasus-kasus pidana dan para korban dapat memperoleh ganti rugi melalui pengadilan perdata.
Pengaruh pendidikan hukum, oleh para ahli hukum pidana, di berbagai masanya, Dalam pembaruan hukum pidana, menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah utama, yang sangat fundamental dan strategis, termasuk dalam masalah kebijakan dalam menetapkan sanksi pidana.
Kebijakan menetapkan pidana dalam perundang-undangan sebagai suatu garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan, yang sekaligus sebagai landasan legalitas pada tahap berikutnya.
Pengaturan hukum pidana merupakan pencerminan ideologi suatu bangsa, yang menjadikan hukum itu berkembang, dan merupakan hal yang sangat penting, bahwa seluruh bangunan hukum itu, didasarkan pada pandangan politik yang sehat dan konsisten.
Dapat diperhitungkan, bahwa KUHP negara-negara Eropa barat, bersifat individualistis dan bercorak lain dengan KUHP negara-negara Eropa timur yang berpandangan politis sosialis.
Indonesia berpandangan politik berdasarkan Pancasila, sedangkan pandangan hukum pidana, erat sekali hubungannya dengan pandangan yang umum tentang hukum, negara dan masyarakat. Perumusan pembaharuan hukum pidana, mempertimbangkan persinggungan eksistensi norma-norma sosial, yang mana dirumuskan dan dilengkapi oleh hukum pidana.
Oleh sebab itu penting dilakukan tranformasi norma-norma sosial menjadi norma hukum. Konteks masyarakat demokratis, pada akhirnya terjadi kongruensi antara berbagai norma-norma sosial, melalui etika sosial dan norma-norma hukum. Meskipun norma-norma sosial lebih mudah berubah, dibandingkan dengan aturan hukum tertulis.
Karenanya diberikan tempat, agar hakim lebih leluasa, untuk memperhitungkan perkembangan masyarakat. Hukum pidana yang direalisasikan dalam suatu proses peradilan pidana, disebut dengan hukum acara pidana (starfvorerderingsrecht), atau disebut hukum pidana formil.
Kitabnya dikodifikasikan dalam kitab undang-undang hukum acara pidana. Di negeri Belanda menetapkan bahwa proses acara atau peradilan, harus dilaksanakan dengan baik.
Dengan merujuk dan berpayung pada ketentuan, yang dikembangkan melalui yurisprudensi Mahkamah Agung Belanda, sejumlah ajaran hukum acara pidana, misalnya tentang bukti-bukti yang diperoleh secara melawan hukum, serta asas-asas tertib acara yang baik.
Mengembangkan prinsip perjanjian Eropa tentang perlindungan HAM. Karenanya perlu memahami hukum pidana materiil dan formil secara bersamaan.
Di era modern ini hukum pidana tidak hanya berfokus bagaimana hukum pidana menimbulkan rasa jera atau takut melalui sanksinya namun dapat tmenciptakan ketakutan akan penjeraan dalam sistem peradilan pidana.
Sehingga,sanksi tidak hanya dilihat sebagai pusat rasa jera dan derita, tetapi juga sebagai alat untuk mencegah potensi tindak pidana yang mungkin terjadi.
Di berbagai belahan dunia, hukum pidana modern tercermin dalam penegakan dan pengawasan sanksi yang bertujuan tidak hanya menciptakan kesengsaraan, tetapi juga menciptakan rasa ingin kembali ke sistem sosial. Dengan demikian, pidana dapat dianalogikan sebagai rumah sakit, serta Kejahatan adalah penyakit, diikuti dengan serangkaian perawatan dan pemeliharaan untuk mengembalikan kondisinya.
Pembaruan hukum pidana di Indonesia telah menjadi isu yang berlangsung selama puluhan tahun lamanya karena mengingat beberapa rumusan pidana dalam KUHP sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini.
KUHP yang digunakan sampai saat ini adalah warisan dari kitab undang-undang hukum pidana Belanda. Oleh karenanya terdapat beberapa kasus yang ada di masyarakat mendorong untuk diadakannya pembaharuan hukum pidana di Indonesia yang semakin dinamis.
Selain itu terdapat beberapa keadaan yang mendasari perlunya dilakukan pembaruan hukum pidana di Indonesia yaitu sebagai berikut:
- Tidak tertampungnya berbagai masalah dan perkembangan bentuk tindak pidana baru;
- KUHP yang sekarang berlaku sudah tidak relevan terhadap nilai-nilai sosiofilosofik, sosio-politik, dan sosio-kultural yang berkembang di masyarakat;
- Sudah tidak sesuai dengan perkembangan ide dan aspirasi tuntutan dari masyarakat terkait dengan hukum pidana; dan
- KUHP yang sekarang berlaku bukan merupakan sistem hukum yang utuh karena terdapat beberapa pasal yang dicabut.
Pembaruan hukum pidana di Indonesia dapat dilakukan dengan cara merekodifikasi KUHP Nasional Indonesia yang telah dirancang sejak adanya gagasan tersebut.
Secara sosiologis, pembaharuan hukum pidana melalui sistem rekodifikasi merupakan ikhtiar untuk mewujudkan misi dekolonisasi KUHP peninggalan Belanda, demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, dan adaptasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi.
Rekodifikasi memiliki arti yaitu menyatukan kembali pengaturan-pengaturan tindak pidana ke dalam suatu KUHP yang lebih sistematis. Menilik pendapat Rachmadi Usman yang mengatakan bahwa kodifikasi adalah salah satu cara yang tepat dalam memberikan kepastian hukum.
Kepastian hukum sendiri merupakan tujuan dari sistem hukum. Oleh karenanya kodifikasi adalah sesuatu yang harus dilakukan dan harus tencantum hukum didalamnya sehingga dapat memenuhi kesadaran hukum dan keadilan.
Akan tetapi, akibat yang ditimbulkan dari kodifikasi adalah bersifat statis, oleh karenanya tidak dapat berkembang sesuai dengan masyarakat yang selalu dinamis.
Selain itu menurut Satjipto Rahardjo tujuan dari kodifikasi adalah untuk membuat kumpulan perundang-undangan menjadi sederhana dan mudah dikuasai, disusun secara logis, serasi, dan pasti.
Dalam proses kodifikasi terdapat beberapa model kodifikasi yang dapat digunakan yang diantaranya adalah model kodifikasi total dan model kodifikasi terbuka.
Penerapan model kodifikasi juga tergantung dengan tujuan atau arah dari politik hukum pembentukan RUU KUHP. Kodifikasi total memiliki maksud untuk mencegah munculnya pengaturan asas-asas hukum pidana baru dalam undang-undang diluar KUHP. Sedangkan dalam model kodifikasi terbuka hukum pidana dapat diperbarui secara fleksibel dengan membuka pintu pembentukan dan pengembangan hukum pidana dalam undang-undang diluar KUHP.
Untuk KUHP yang masih berlaku sampai sekarang menggunakan model kodifikasi terbuka sehingga masih memungkinkan terdapat pengembangan hukum pidana dalam undang-undang diluar KUHP.
Hal tersebut dapat dilihat dalan ketentuan Pasal 103 KUHP yang merupakan gerbang untuk tindak pidana diluar KUHP yang berbeda dengan rumusan dalam KUHP. Apabila mencermati RUU KUHP Nasional yang telah dirancang model kodifikasi yang digunakan sama dengan KUHP warisan Belanda yaitu kodifikasi terbuka.
Terkait dengan urgensi dilakukannya rekodifikasi KUHP nasional Indonesia, telah diadakan “Diskusi Publik Rancangan Undang-Undang tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana” yang dilakukan pada tanggal 27 Mei 2021 di Golden Palace Hotel, dalam diskusi tersebut salah satu pakar hukum pidana yaitu Prof. Eddy O.S. Hiariej berpendapat bahwa penting adanya pengintegrasian hukum pidana yang semakin berkembang ke dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Selain itu perlu juga dilakukan upaya rekodifikasi yang mencakup konsolidasi dan sinkronisasi peraturan hukum pidana baik secara vertikal maupun horizontal ke dalam suatu kitab undangundang yang sistematis.
Rekodifikasi ini juga ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul karena ketidakjelasan pemberlakuan KUHP warisan Belanda. Selain rekodifikasi yang mencakup konsolidasi serta sinkronisasi peraturan hukum pidana, pembaruan RUU KUHP juga diarahkan sebagai upaya harmonisasi, yaitu dengan menyesuaikan KUHP terhadap perkembangan hukum pidana yang bersifat universal dan upaya modernisasi, yaitu dengan mengubah filosofi pembalasan klasik yang berorientasi kepada perbuatan semata-mata, menjadi filosofi integratif yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku, dan korban kejahatan.
Upaya rekodifikasi KUHP Nasional Indonesia begitu penting karena dalam rancangan KUHP Nasional ini telah sesuai dengan hukum pidana modern yaitu keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Melihat bahwa KUHP warisan Belanda banyak hal yang sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat yang dinamis maka rekodifikasi KUHP Nasional sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan sesuai dengan perkembangan hukum pidana modern. []
Penulis adalah alumni FH UNS dan Paralegal