SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Sragen mendorong persoalan mutasi yang memicu penolakan dan mogok massal di pabrik tekstil PT Bintang Asahi Tekstil Indonesia (PT BATI) di Desa Purwosuman, Kecamatan Sidoharjo diselesaikan kedua pihak atau bipartit.
Meski demikian, dinas menyarankan agar buruh menghindari tidak masuk atau mundur dari kerjaan. Sebab jika tidak masuk atau mundur dari posisinya, akan membuat posisi buruh lemah dalam menuntut haknya.
Hal itu disampaikan Kepala Disnaker Kabupaten Sragen, Muh Yulianto menyikapi aksi mogok kerja yang dilakukan ratusan buruh PT BATI, beberapa hari lalu.
“Kami mendorong pihak perusahaan dan serikat pekerja atau buruh bisa duduk bersama menyelesaikan persoalan itu. Harapan kami bisa diselesaikan secara bipartit dan kami tetap memonitor. Agar persoalan itu bisa selesai secara kondusif,” paparnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Minggu (27/11/2022).
Ia menguraikan persoalan mogok kerja itu memang dipicu penolakan buruh terkait rencana manajemen memutasi mereka ke bidang yang lain.
Para buruh menolak dimutasi karena bidang yang baru bukan keahlian mereka. Terlebih, selama ini mereka sudah bekerja belasan hingga 20 tahun lebih di bidang yang selama ini ditangani.
Para buruh menolak dipindah karena menduga hal itu adalah siasat perusahaan untuk membuang pelan-pelan mereka agar tidak betah dan mundur.
Padahal usia mereka mayoritas sudah di atas 40 dan 50 tahun dengan masa kerja di atas 20an tahun.
“Mungkin perusahaan punya pertimbangan tertentu untuk memindah mereka. Tapi kalau dipindah tidak sesuai bidangnya juga kurang pas. Apalagi mereka ini sudah tua dan masa kerja sudah lama,” urainya.
Lebih lanjut, Yulianto menyampaikan sempat ada negosiasi soal pesangon apabila perusahaan hendak memberhentikan mereka. Namun pesangon yang ditawarkan jauh dari ketentuan.
Karenanya, ia menyarankan agar para buruh tidak meliburkan diri dan tetap bekerja. Kemudian mereka juga jangan mundur agar posisinya tidak lemah di mata perusahaan.
“Kalau mereka tidak masuk atau mundur, maka akan lemah. Mereka tidak lagi bisa menuntut hak seperti pesangon dan lainnya. Kalau perusahaan mau memberhentikan, maka harus membayar pesangon dengan ketentuan sesuai UU,” imbuhnya.
Tetap Menolak Dipindah
Sementara, para buruh tetap kekeh menolak dimutasi atau dipindah di luar bidang keahlian yang sudah belasan tahun mereka tangani.
Mereka pun sepakat tidak akan mau dipindah dan menantang perusahaan untuk memberhentikan dengan pesangon seperti aturan Undang-Undang.
Sikap itu dilontarkan karena mengendus kebijakan mutasi awur-awuran itu dinilai hanya siasat untuk membuat pekerja tidak betah sehingga mau mundur pelan-pelan.
Siasat itu diduga untuk menghindari beban keuangan perusahaan membayar pesangon jika harus memberhentikan mereka. Sebab mayoritas pekerja itu sudah bekerja belasan hingga puluhan tahun.
“Kami tetap tidak akan mau dipindah ke bagian yang kami tidak menguasai dan bagian yang sulit. Untuk apa kerja kalau kita tidak menguasainya. Ini hanya akal-akalan agar kami menyerah dan mundur. Tapi kami tidak akan mau. Masa perusahaan mau enaknya sendiri, habis Manis mau Ditendang, pokoknya kami minta dipekerjakan di bidang yang dulu,” papar SIN, salah satu buruh bagian spinning yang sudah bekerja hampir 20 tahun saat aksi mogok massal, dua hari lalu.
Aksi mogok digelar di lingkungan pabrik. Tak kurang dari 300 buruh di bagian spinning dan bagian lain, bergerombol di lokasi pabrik namun mereka tidak mau masuk kerja.
“Kami hanya menuntut hak kami. Kami dari awal bekerja sesuai divisi dan keahlian, tapi kenapa mau dipindah ke bagian yang kami tidak menguasai. Ini sama artinya dengan membuang kami pelan-pelan agar tidak betah dan keluar sendiri,” ujarnya.
Buruh asal Purwosuman Sidoharjo itu menuturkan mayoritas yang mogok kerja itu memang sudah bekerja di atas 15 hingga 20 tahun.
Jika memang perusahaan ingin mengurangi karyawan, mestinya lebih baik diberhentikan namun dengan hal pesangon sesuai ketentuan peraturan.
“Jangan cari enaknya sendiri. Kalau memang sudah tidak dipakai ya dirumahkan, tapi dengan aturan dan beri hak pesangon sesuai ketentuan. Bukan malah dibuang ke bagian yang tidak dikuasai. Itu tidak manusiawi,” urainya.
Praktik itu sebenarnya sudah terendus sejak kondisi pandemi beberapa waktu lalu. Di mana pekerja yang jadi target dikurangi, mendadak mendapat surat pindah bagian yang tidak dikuasai di luar keahliannya.
Akibatnya, beberapa pekerja yang tidak betah dan tidak berani berontak, memilih mengalah keluar dari perusahaan.
Pekerja lain, SUT, menegaskan para buruh hanya menuntut haknya untuk bekerja seperti bidang keahlian yang sudah dijalani selama ini.
Sebab mayoritas sudah bekerja di atas 20 tahun. Jika perusahaan ingin melakukan pengurangan karyawan, bisa melakukan baik-baik dengan memberhentikan namun tetap harus memenuhi kewajiban pesangon sesuai ketentuan.
“Pernah ada pembicaraan soal pesangon. Tapi perusahaan hanya menawarkan Rp 6 juta. Jelas kami menolak. Karena aturannya pesangon itu sudah ada rumusnya gaji dikalikan dengan masa kerja. Minimal kami yang sudah belasan sampai 20 tahun kerja itu pesangon di antara Rp 15 juta-Rp 20 juta,” tuturnya.
Buruh wanita, Tumiyem menambahkan sebenarnya dirinya sudah mengajukan permohonan pensiun karena usianya sudah di atas 60.
Namun permohonannya belum pernah direspon dan dikabulkan oleh perusahaan.
“Sempat mau dipanggil, tapi nggak jadi terus,” tandasnya.
Menyikapi aksi mogok itu, perwakilan perusahaan akhirnya keder. Mereka mengutus perwakilan untuk melakukan audiensi dan mediasi.
Setelah melalui perundingan dengan difasilitasi dinas, akhirnya perusahaan menyerah dan memutuskan membatalkan kebijakan memutasi butuh ke bidang lain.
Mereka akhirnya tetap dipekerjakan di tempat semula. Wardoyo