Beranda Daerah Solo Pentahelix Collaboration, Bersama Mengurai Problem Lingkungan, Temukan Solusi Komprehensif

Pentahelix Collaboration, Bersama Mengurai Problem Lingkungan, Temukan Solusi Komprehensif

Dekan Fakultas Sekolah Pascasarjana UNS, Prof Drs Sutarno MSc PhD (kiri) dan aktivis lingkungan sekaligus pencetus ecopesantren, Dr Fachruddin Mangunjaya, M.Si (kanan) tengah menandatangani MoU, didampingi Kepala Laboratorium Sosial Sekolah Pascasarjana UNS, Haryani Saptaningtyas, S.P., M.Sc., Ph.D / Foto: Suhamdani

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM Keberadaan sampah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, di mana semua aktivitas hidup manusia hampir selalu menghasilkan sampah. Boleh dikatakan, sampah akan selalu ada selama manusia masih hidup dan beraktivitas.

Perkembangan jumlah penduduk, secara otomatis akan berdampak pada meningkatnya volume sampah yang dihasilkan manusia. Problem yang jamak terjadi, baha sampah atau limbah semakin banyak sementara tempat pembuangan sampah terbatas.

Dalam siklus seperti itu, sayannya kebijakan pengelolaan sampah oleh pemerintah — termasuk di tingkat kecamatan atau kelurahan — kurang maksimal, kurang total dan terkesan setengah matang. Sehingga dalam praktik di lapangan, kebijakan pengelolaan sampah ibarat jalan di tempat.

Dani (51) warga Kelurahan Mangkubumen, Solo misalnya, punya cerita tentang centang perenang pengelolaan sampah yang diinisiasi oleh pihak Kelurahan.

Melalui selebaran-selebaran yang dibagikan ke warga, ditambah sosialiasi melalui setiap Ketua RT dalam pertemuan kampung, diserukan gerakan Papi Sarimah, yang merupakan akronim dari Paksa Pilah Sampah dari Rumah.

Melalui gerakan itu, setiap rumah tangga diwajibkan memilah antara sampah organik dan sampah non organik, sebelum  nantinya diambil oleh petugas sampah kelurahan.

Setiap keluarga juga diminta menyediakan dua tempat sampah, dan wajib ditulisi: SAMPAH ORGANIK dan SAMPAH NON ORGANIK. Sistem ini bertujuan untuk memudahkan petugas sampah dalam memisahkan antara keduanya, demi mengurangi cemaran sampah plastik di dalam tanah.

“Saya langsung membeli satu lagi tempat sampah, lalu saya ikuti semua instruksi. Keduanya saya tulisi SAMPAH ORGANIK dan SAMPAH NON ORGANIK,” ujar Dani.

Esok harinya, ketika petugas datang menggunakan mobil pikap, sampah di dua tempat sampah organik dan non organik itu diambil dan dilemparkan begitu saja ke dalam bak mobil pikap.  Herannya,  bak mobil pikap tersebut tidak dibagi antara sampah organik dan sampah non organik, sehingga sampah yang sudah dipisahkan itu kembali berbaur jadi satu di dalam bak pikap.

“Lha, apa gunanya saya pilah di rumah kalau di bak pikap jadi satu lagi? Jas bukak iket blangkon, sama juga sami mawon,” ujarnya berkelakar.

Tanpa perlu banyak tanya atau protes, setelah petugas sampah itu pergi, Dani pun mengambil satu dari dua tempat sampah itu dan dibawanya masuk ke dalam.

“Saya pikir tak ada gunanya memilah sampah dari rumah,” ujarnya.

Kejadian  seperti itu ternyata tidak hanya ada di Kelurahan Mangkubumen saja. Pengalaman serupa ternyata dialami juga oleh Dominikus Sandi, warga Purwosari, Solo yang juga pegiat Bank Sampah Kitiran Mas.

“Kebijakan pengelolaan sampah oleh pemerintah Kota Solo memang terkesan masih setengah-setengah. Kebijakan dari atas terkesan tidak sampai ke aparat di bawah,” ujarnya.

Itu hanya sekadar contoh kecil fakta yang terjadi perihal pengelolaan sampah di lingkungan warga. Masih banyak problem sampah maupun pengelolaan lingkungan secara umum yang belum memenuhi harapan terciptanya lingkungan hidup yang berkualitas.

Aktivis lingkungan dan penulis buku Generasi Terakhir, Dr Fachruddin Mangunjaya M.Si (kanan) tengah memaparkan materi ecopesantren. Paling kiri, Manajer Bank Sampah Kitiran Mas, Solo, Dominikus Sandi dan tengah adalah moderator diskusi, Dr Akbarudin Arif, S.S, M.A / Foto: Suhamdani

Berangkat dari centang perenang pengelolaan sampah dan lingkungan secara umum, Laboratorium Sosial Sekolah Pascasarjana, Unversitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mencoba menjalin benang merah untuk mempertemukan ide-ide dan rumusan dari lintas disiplin.

Melalui wadah yang diikat dengan Memorandum of Understanding (MoU) pada Selasa (8/11/2022), berbagai stakeholder diajak untuk bersama-sama mengurai problem pengelolaan sampah dan lingkungan, dengan harapan bisa lahir rekomendasi maupun role model yang dapat diterapkan pada skala lebih luas.

Kepala Laboratorium Sosial Sekolah Pascasarjana UNS, Haryani Saptaningtyas, S.P., M.Sc., Ph.D menyebut hal ini sebagai model Pentahelix Colaboration.

Model ini mempertemukan lima lini sekaligus untuk bersama-sama sesuai dengan perannya, memberikan kontribusi dalam pengelolaan sampah dan lingkungan hidup.

Lima lini tersebut mencakup akademisi, pebisnis, pemerintah, komunitas dan media.  Masing-masing lini menurut Haryani, memiliki peran masing-masing yang satu sama lain saling menunjang.

 

Cemaran Mikro Plastik

Berangkat dari ranah akademik, Dr Fachruddin Mangunjaya, M.Si melakukan penelitian untuk melahirkan model pengelolaan lingkungan yang lebih baik.

Ia melihat, kondisi lingkungan alam saat ini cukup memprihatinkan. Salah satu indikator buruknya kondisi lingkungan ia temukan dari kondisi sungai-sungai di Indondesia.

Hasil penelitian menunjukkan, 70% – 90% sungai-sungai di Indonesia dalam keadaan rusak lantaran tercemar oleh mikroplastik.

Karena itulah, sejak 2006 silam, Dr Fachruddin mengambil sasaran penelitian di kalangan pesantren, dan membuat rumusan Ecopesantren.

Pesantren dipilih, selain karena secara historis bahkan lebih tua dari negara ini, adalah sebuah komunitas besar dan mengakar. Apalagi di tahun itu, jumlahnya di Indonesia mencapai sekitar 26.900 pesantren.

“Konsepnya mirip-mirip sekolah adiwiyata, di mana pengelolaan lingkungan dilakukan secara konsisten dan terukur. Nanti ada acuannya secara administratif,” papar Dr Fachruddin.

Di pesantren itu, Dr Fachruddin merumuskan 10 program ecopesantren, di mana beberapa di antaranya adalah, pertama, menyusun kurikulum berbasis lingkungan.

Kedua, adalah figh lingkungan, yang mengintegrasikan Islam dengan lingkungan. Ketiga, pemeringkatan sumber daya manusia (SDM) di bidang lingkungan. Keempat, sumber daya air (SDA), kelima hidup sehat, keenam, pengelolaan sampah dan limbah, dan lain-lain.

Melalui model tersebut, Dr Fachruddin  mengibaratkan pesantren sebagai replika sebuah negara. Sebab di dalamnya terhadap struktur dan hirarki yang bertugas mengatur dinamika kehidupan di lingkungan pesantren.

Pengelolaan lingkungan yang baik, melalui model tersebut terus digencarkan, dikawal, didampingi dan dievaluasi. Untuk memacu semangat pengelolaan lingkungan yang baik, dilakukan program ecopesantren award.

“Ada standar-standar tertentu yang harus dipenuhi, dan ini sudah berlangsung tahun ke tiga,” papar penulis buku Generasi Terakhir tersebut.

Dr Fachruddin yang juga aktivis lingkungan terkemuka ini memiliki ecopesantren binaan di Bogor. Latar belakangnya di bidang konservasi, mendorong dia membangun laboratorium Biologi di lingkungan pesantren binaannya.

Di sana, aneka macam jenis burung ditangkarkan dan dilestarikan. Ia juga mengajarkan kepada para santri untuk beternak lebah untuk membantu kebugaran, imunitas maupun untuk membantu perekonomian warga santri.

Dunia pesantren, menurut Dr Fachruddin memiliki hubungan linier dengan pola hidup yang ramah lingkungan. Termasuk dari sisi ajaran agamanya, dan itu sangat aktual untuk diterapkan pada masa sekarang.

“Contohnya, Islam mengajarkan pada umatnya untuk membebaskan sempadan sungai setengah dari lebar sungai ke arah dua sisi. Ajaran ini untuk saat sekarang masih aktual dan nyambung,” ujarnya.

Baca Juga :  Kampanye Terakhir, Respati-Astrid Apresiasi Antusiasme Seluruh Pendukung dan Parpol Pengusung

Karena itulah, Dr Fachruddin berharap role model ecopesantren tersebut bisa menjadi inspirasi bagi pesantren-pesantren lainnya. Semakin banyak pesantren menerapkan model tersebut, ia berharap bisa menularkan virus pelestarian lingkungan kepada masyarakat secara lebih luas.

 

Peran Dinas Mutlak

Diakui atau tidak, sistem pengelolaan sampah — sebagai bagian dari pengelolaan lingkungan yang bersih dan sehat – sejauh ini belum terintegrasi dengan baik.

Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), mestinya berperan aktif dalam mengelola sampah. Kesan yang terjadi sekarang, pemerintah lebih mengandalkan masyarakat untuk mengelola sampah di lingkungan terkecil, RT.

“Ini menurut saya salah. Harusnya pemerintah berperan aktif,” ujar Manajer Bank Sampah Kitiran Mas, Solo, Dominikus Sandi.

Bagi Dominikus Sandi, pemimpin daerah yang baik, mestinya harus memiliki jiwa peduli terhadap lingkungan, dan menggunakan “power” untuk mengelola lingkungan – termasuk pengelolaan sampah – dengan baik.

Ia mencontohkan, Tri Risma Harini sewaktu menjabat sebagai Walikota Surabaya, berhasil menunjukkan jiwa kepemimpinan yang peduli terhadap lingkungan. Ia menerapkan kedisiplinan demi menjaga lingkungan tetap terjaga kelestariannya.

“Untuk mengelola lingkungan dengan baik, model pemimpin seperti Bu Risma itu perlu dijadikan rujukan,” paparnya.

Apa yang disampaikan Dominikus Sandi tersebut tidaklah keliru. Selain “power” untuk melahirkan dan mengawal kebijakan soal sampah, komunikasi antar pemimpin daerah menjadi sangat penting.

Sebab, pengelolaan sampah yang tidak tepat bisa-bisa memunculkan friksi atau gesekan di tengah masyarakat. Seperti yang terjadi di Karangasem, Solo yang berbatasan dengan daerah Karanganyar.

Dua wilayah di Solo dan Karanganyar tersebut dibatasi oleh Sungai Gajah Putih. Tepat di sebelah utara sungai, berdiri tempat pembuangan sampah puluhan tahun silam. Seiring waktu,  volume sampah mulai overload.

Warga Karangasem, Solo yang tidak menggunakan tempat sampah tersebut ibarat sebagai “perokok pasif”, hanya kena dampaknya, yakni bau yang tidak sedap dan serbuan lalat-lalat yang jumlahnya tidak sedikit. Kadang kalau sampah dibakar, asap pembakaran memenuhi rumah-rumah warga Karangasem, hingga mengganggu pernafasan.

Tak kurang-kurang upaya yang dilakukan warga Karangasem mencari solusi, baik melalui lapor ke Kelurahan Karangansem hingga ke Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Solo. Namun sampai sekarang upaya tersebut sama sekali belum membuahkan hasil.

Dokumentasi Joglosemaarnews.com menunjukkan, upaya dengan aksi pasang spanduk pun pernah dilakukan oleh masyarakat Karangasem, Solo, namun tetap saja hasilnya nihil. Seolah ada gap yang menjadi penghalang problem sampah di masyarakat ini kepada pengambil keputusan. Atau, jangan-jangan sampah diangap bukan persoalan yang mendesak untuk segera diselesaikan?

“Dalam kasus seperti ini, mestinya negara hadir. Kalau perlu, kedua pimpinan daerah harus duduk bersama mencari solusi. Kalau sudah ada klik di atas, yang bawah tinggal melaksanakan,”  paparnya.

Apa yang dilakukan Sandi, menjadi bukti bahwa “power” akan membantu pengelolaan sampah dengan baik. Ia bercerita, ketika ditunjuk oleh Ketua RT di mana dia tinggal untuk mengelola Bank Sampah, ia bersedia, namun dengan satau syarat.

“Harus ada reward dan punishment. Bagi warga yang tidak  mau setor sampah, harus diberi sanksi. Akhirnya diterapkan kebijakan, yang tidak setor sampah, kalau minta tanda tangan Ketua RT, harus nunggu 3 hari, meskipun pak RT ada. Itu sebagai bentuk sanksi,” ujar Sandi saat bincang-bincang dengan Joglosemarnews.

Dan buktinya, “power” yang diterapkan dalam pengelolaan Bank Sampah Kitiran Mas itu mulai membuahkan hasil. Makin lama Bank Sampah Kitiran Mas semakin besar dan masyarakat patuh untuk menyetor sampah ke Bank Sampah tersebut.

Sekarang, masyarakat mulai merasakan manfaat dari bank sampah. Selain lingkungan menjadi bersih, warga juga mulai merasakan manfaat ekonominya. Kini, Bank Sampah Kitiran Mas mulai dipandang oleh masyarakat Kota Solo.

Bank Sampah Kitiran Mas mulai diajak bekerja sama oleh beberapa lembaga, termasuk dengan UNS Surakarta. Selain itu, Bank Sampah Kitiran Mas juga kini sering dijadikan rujukan dari berbagai pihak yang ingin belajar mengenai pengelolaan sampah yang baik.

Sandi menceritakan, pengelolaan sampah oleh masyarakat pun perlu melihat psikologi masyarakat. Ia yakin, masyarakat tentu akan keberatan untuk memilah sampah dari rumah dan menyetor ke bank sampah jika tidak ada nilai ekonominya.

Karena itulah, Bank Sampah Kitiran Mas mengangkat nilai ekonomi dari sampah tersebut sebagai pijakan. Jika dulu sampah dianggap sebagai limbah, maka mengacu pada psikologi masyarakat tadi, sampah harus diubah menjadi sesuatu yang menguntungkan secara ekonomi. Bagaimana sampah bisa disulap menjadi berkah.

“Masyarakat akhirnya bisa merasakan benar, bahwa kalimat sampah adalah berkah bukan hanya slogan, tapi kenyataan,” paparnya.

Keberhasilan Bank Sampah Kitiran Mas dalam menstimulasi nilai ekonomi masyarakat, terbukti dengan dijalinnya kerja sama dengan salah satu BUMN di Kota Solo.

Sampah-sampah anorganik yang disetor oleh warga, dipilah-pilah lagi agar lebih mudah untuk dikreasikan lagi menjadi produk handicraft. Setidaknya, pemilihan sampah anorganik di Bank Sampah Kitiran Mas sudah lebih detail, hingga mencapai 30 jenis.

Biasanya, sampah-sampah plastik akan dimanfaatkan dan dikreasi menjadi pernak pernik asesoris, seperti tas maupun aneka kerajinan lainnya, yang memiliki nilai ekonomi dan menghasilkan cuan ketika dijual.

Adapun sampah jelantah -– minyak goreng sisa – biasanya diolah menjadi sabun. Sementara itu, problem untuk limbah organik diatasi dengan budidaya magot. Magot dibudidayakan dengan makanan dari sampah organik, seperti sisa-sisa makanan. Dengan demikian, selain lingkungan menjadi bersih, magot memiliki nilai jual tinggi sebagai pakan ternak.

Dari mengumpulkan sampah 250 hingga 300 kg setiap dua minggu tersebut, Sandi menyebut, warga bisa mendapatkan keuntungan ekonomi sekitar Rp 600.000 dalam tiga bulan.

“Tentu nilai ini bisa untuk tambah-tambah kebutuhan rumah tangga, dan warga merasa senang,” ujarnya.

Sandi mengakui, bank sampah Kitiran Mas memang belum mengembangkan budidaya magot tersebut karena terkendala lahan. Di kota Solo, menurut Sandi baru Bank Sampah Gajah Putih di Karangasem yang memiliki budidaya magot. Budidaya magot di Bank Sampah Gajah Putih menggunakan lahan kosong yang tidak digunakan.

“Di sinilah sebenarnya butuh peran dari pimpinan wilayah, baik RT, RW maupun Lurah untuk menyediakan lahan guna budidaya magot. Jika tak ada eksekusi dari pemerintah, ya hanya berhenti di wacana,” paparnya.

 

Perang Terhadap Plastik

Baca Juga :  Unik, Begini Cara Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat Gelar Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan

Upaya-upaya pelestarian lingkungan dari sampah anorganik, selain muncul dari kalangan akademisi dan masyarakat, ternyata juga muncul dari kalangan perusahaan.

Jusfri Ahmadi dari Greenhope misalnya, menjelaskan bagaimana perusahaannya memproduksi plastik yang ramah lingkungan. Aneka jenis plastik yang diproduksi, mengunakan bahan-bahan yang mudah diurai saat berada di tempat pembuangan sampah. Ia mengatakan, perusahaannya memegang komitmen untuk “perang melawan plastik” yang tak dapat terurai.

Contoh pengelolaan lingkungan yang baik datang juga dari Pondok Pesantren modern As Salam, Sukoharjo. Moh Saleh, salah satu pengurus Ponpes memang mengakui pondok pesantrennya memang belum mengadopsi model ecopesantren, seperti yang dikembangkan oleh Dr Fachruddin Mangunjaya.

Akan tetapi, prinsip kebersihan dan pelestarian lingkungan dipegang teguh dengan konsisten. Untuk sampah kertas misalnya, pondok tersebut sudah memiliki mesin pencacah untuk kemudian diolah lagi.

Secara struktural, Pondok Pesantren Modern As Salam juga memiliki kader-kader lingkungan yang andal maupun relawan-relawan lingkungan. Dan, yang menggembirakan lagi, di pondok ini juga dikembangkan konsep Madrasah Adiwiyata.

Bicara mengenai pengelolaan lingkungan yang baik, SMA Takhassus Al Quran Wonosobo tentu tak bisa dilupakan. Fatma Ainie, SIP, MM menjelaskan, di sekolahnya kebersihan lingkungan menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh seluruh civitas sekolah.

“Di kami ada konsep ‘disiplin sampah’, yang tentu ada sanksi bagi siapapun   yang melanggar,” ujarnya.

Di samping membangun karakter siswa untuk peduli lingkungan dan sampah, pihak sekolah juga memiliki solusi teknis pengolahan sampah agar lingkungan tetap terjaga.

Misalnya, Fatma mencontohkan, sekolahnya kini telah mengembangkan abu hasil pembakaran sampah organik untuk dikreasi menjadi batako.  Sebagai tahap awal, batako tersebut digunakan sebagai bahan untuk membangun tembok pagar sekolah.

 

Benang Merah

Ada sebuah ungkapan “Di mana ada ‘musuh’ bersama, di situ bisa muncul persatuan untuk melakukan perlawanan”. Gerakan mahasiswa tahun 1998 silam mungkin dapat dikatakan sebagai salah satu contohnya.

Itu hanya sebuah analogi. Namun demikian, ungkapan di atas sebenarnya berlaku juga untuk problematika lingkungan dan sampah.

Andai problem lingkungan dan sampah ini boleh dianggap sebagai “musuh bersama” bagi masyarakat, maka bukan tidak mungkin akan muncul persatuan dari banyak elemen untuk melahirkan sebuah kebijakan atau role model pengelolaan lingkungan dan sampah yang lebih berkualitas.

Hal itulah yang kemudian ditangkap oleh Laboratorium Sosial Sekolah Pascasarjana, Unversitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, untuk merengkuh berbagai stakeholder dan diajak bersama-sama mengurai, mencari solusi praktis dan mengedukasi masyarakat terkait problematika lingkungan dan sampah.

Konsep pentaholix colaboration seperti disebut Kepala Laboratorium Sosial Sekolah Pascasarjana UNS, Haryani Saptaningtyas di atas, mencoba mengkolaborasikan berbagai latar belakang, untuk bersama-sama mengurai problem lingkungan dan sampah.

Focus Grup Discussion (FGD) dan jalinan kerja sama yang disahkan melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) di UNS Inn, Selasa (8/11/2022) kemarin  menjadi langkah awal untuk bersama-sama secara sinergis mengelola lingkungan dan penanganan sampah dengan lebih baik.

Dari hasil diskusi lintas disiplin ilmu dan lintas elemen tersebut, Haryani Saptaningtyas membuat rangkuman sederhana mengenai sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang perlu untuk ditindaklanjuti secara riil ke depan.

Pertama, belum adanya pengelolaan lingkungan dan sampah secara terintegrasi, sementara di sisi lain kecepatan produksi sampah plastik dan penanganannya tidak sebanding.

Kedua, sebenarnya sudah ada Perda di Kota Solo yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan dan sampah. Hanya saja, masih diperlukan gerakan massif yang melibatan berbagai pihak, termasuk para Lurah, RT, RW dan masyarakat.

Ketiga, perubahan perilaku stakeholder dan masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan dan sampah menjadi point yang perlu mendapatkan perhatian khusus, melalui edukasi yang terus menerus.

Dan keempat, sesuai dengan zamannya, generasi muda perlu didorong untuk menjadi “agen perubahan” dalam pengelolaan lingkungan.

Di akhir pertemuan, Dekan Fakultas Sekolah Pascasarjana UNS, Prof Drs Sutarno MSc PhD berpesan agar MoU yang dihasilkan itu tidak hanya berhenti sebatas sebagai naskah kerja sama di atas meja. Sebab menurut pengalamannya, MoU sering dilakukan oleh para pihak, namun seiring berjalannya waktu kemudian terlupakan begitu saja.

“Tapi saya punya keyakinan, pengalaman itu tidak akan terjadi pada MoU kali ini,” ujarnya memberikan harapan.

Menguatkan hal itu, Dr Drajat Tri Kartono, M.Si menjabarkan bahwa kolaborasi berbagai elemen tersebut akan bergerak di berbagai lapisan. Mulai dari aras akademik, tindakan teknis di lapangan maupun ranah edukasi untuk mengubah perilaku masyarakat.

Kerja-kerja tersebut akan dimainkan oleh masing-masing elemen yang tergabung dalam MoU sesuai dengan perannya. Kalangan akademisi akan mencipta dan merumuskan role model, untuk diaplikasikan di lapangan.

Sementara dari bawah, masyarakat dan komunitas akan bergerak melakukan solusi praktis sekaligus memberikan edukasi, sebagaimana yang dilakukan Bank Sampah Kitiran Mas, SMA Tahasus Al Quran Wonosobo maupun Pondok Pesantren Modern As Salam.

Di lain pihak, unsur pemerintah bertugas membuat kebijakan-kebijakan pengelolaan lingkungan maupun sampah yang pelaksanaannya di bawah kontrol Kompip sebagai semacam outsider dari pemerintah.

Tentu saja, kampanye pengelolaan lingkungan dan sampah tersebut harus selalu disuarakan kepada masyarakat secara kontinyu, di mana hal ini akan dimainkan oleh media sebagai saluran informasi.

Sementara itu, edukasi mengenai pengelolaan lingkungan yang terbukukan – jika suatu ketika dapat terlaksana – akan membutuhkan peran besar dari penerbit, di mana Penerbit Tiga Serangkai ikut ambil bagian dalam MoU tersebut.

“Kolaborasi lintas disiplin seperti ini, alangkah baiknya kalau dapat berjalan secara riil dan konsisten.  Mari kita kawal dan jaga lingkungan kita agar menjadi lebih baik dan berkualitas,” pungkas Drajat Tri Kartono.  Suhamdani