JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Dunia wartawan adalah dunia fakta, dan seni ibarat sebuah idealisme, sebuah kebebasan. Sangat jarang, seseorang bisa merangkap antara dunia fakta dan idealisme, kebebasan dan imajinasi.
Nano Riantiarno adalah sosok yang langka itu. Ia mampu merambah dan mengolaborasikan kedua dunia tersebut tanpa terjadi tumpang tindih.
Kalau dalam dunia cerita fiksi, sosok Nano ini tergambar pada diri Seno Gumira Ajidarma, yang mampu melompat dari dunia fiksi ke fakta, dari fakta ke fiksi.
Terkadang bahkan ia mampu meramu fakta-fakta di lapangan menjadi sebuah fiksi yang ciamik, menggigit dan mendobrak sebuah kemapanan.
Posisi Seno Gumira, mirip-mirip dengan Nano Riantiarno. Di Jagat seni, Nano yang kelahiran 6 Juni 1949 itu dikenal sebagai seorang aktor, penulis, sutradara, wartawan dan tokoh teater Indonesia, pendiri Teater Koma (1977). Dia adalah suami dari aktris Ratna Riantiarno.
Aktivitas berteaternya sudah ia mulai sejak 1965 di kota kelahirannya, Cirebon.
Setamatnya dari SMA pada 1967, ia melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta, kemudian pada 1971 masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta.
Sebuah lompatan ia lakukan saat dia bergabung dengan Teguh Karya, salah seorang dramawan terkemuka Indonesia dan ikut mendirikan Teater Populer pada 1968.
Pada 1 Maret 1977, dia mendirikan Teater Koma, salah satu kelompok teater yang paling produktif di Indonesia saat ini.
Sampai dengan tahun 2006, kelompok ini telah menggelar sekitar 111 produksi panggung dan televisi.
Film layar lebar perdana karyanya, CEMENG 2005 (The Last Primadona), 1995, diproduksi oleh Dewan Film Nasional Indonesia.
Jejak Karya Nano Riantiarno:
- Rumah Kertas
- J Atawa Jian Juhro
- Maaf. Maaf”
- Kontes 1980
- Trilogi Opera Kecoa (Bom Waktu, Opera Kecoa, dan Opera Julini)
- Konglomerat Burisrawa
- Pialang Segitiga Emas
- Suksesi
- Opera Primadona
- Sampek Engtay
- Banci Gugat
- Opera Ular Putih
- RSJ atau Rumah Sakit Jiwa
- Cinta Yang Serakah
- Semar Gugat
- Opera Sembelit
- Presiden Burung-Burung
- Republik Bagong
- Tanda Cinta
Selain drama-drama di atas, Teater Koma di bawah pimpinan Nano juga pernah memanggungkan karya-karya penulis kelas dunia, antara lain:
- Woyzeck karya Georg Buchner
- The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht
- The Good Person of Shechzwan karya Bertolt Brecht
- The Comedy of Errors karya William Shakespeare
- Romeo Juliet karya William Shakespeare
- Women in Parliament karya Aristophanes
- Animal Farm karya George Orwell
- The Crucible karya Arthur Miller
- Orang Kaya Baru dan Tartuffe atau Republik Togog karya Moliere
- The Marriage of Figaro karya Beaumarchaise
Dari Panggung Teater, Nano merambah dunia Wartawan, Penulis Skenario Film
Nano banyak menulis skenario film dan televisi. Karya skenarionya, Jakarta Jakarta, meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di Ujung Pandang, 1978. Karya sinetronnya, Karina meraih Piala Vidia pada Festival Film Indonesia di Jakarta, 1987.
Menulis novel Cermin Merah, Cermin Bening dan Cermin Cinta, diterbitkan oleh Grasindo, 2004, 2005 dan 2006. ”Ranjang Bayi” dan 18 fiksi, kumpulan cerita pendek, diterbitkan Kompas, 2005. Roman Primadona, diterbitkan Gramedia 2006.
Nano ikut mendirikan majalah Zaman, 1979, dan bekerja sebagai redaktur (1979-1985).
Ia ikut pula mendirikan majalah Matra, 1986, dan bekerja sebagai pemimpin redaksi. Pada tahun 2001, pensiun sebagai wartawan.
Kini berkiprah hanya sebagai seniman dan pekerja teater, serta pengajar di program pasca-sarjana pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta.
Gaungkan Indonesia di Panggung Teater Dunia
Aktivitas di Tingkat Nasional dan Internasional. Pada tahun 1975, dia berkeliling Indonesia mengamati teater rakyat dan kesenian tradisi.
Ia juga berkeliling Jepang atas undangan Japan Foundation pada 1987 dan 1997.
Pada 1978, Nano mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS, selama 6 bulan.
Pada 1987 ia diundang sebagai peserta pada International Word Festival, 1987 di Autralia National University, Canberra, Australia.
Pada tahun berikutnya, dia diundang ke New Order Seminar, 1988, di tempat yang sama di Australia. Dan pada tahun 1996, menjadi partisipan aktif pada Session 340, Salzburg Seminar di Austria.
Dia membacakan makalah Teater Modern Indonesia di Universitas Cornell, Ithaca, AS, 1990, dan juga di di kampus-kampus di Sydney, Monash-Melbourne, Adelaide, dan Perth, 1992.
Pernah pula mengunjungi negara-negara Skandinavia, Inggris, Prancis, Belanda, Italia, Afrika Utara, Turki, Yunani, Spanyol, Jerman dan Tiongkok, 1986-1999.
Pernah menjabat sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1985-1990).
Anggota Komite Artistik Seni Pentas untuk Kias (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat), 1991-1992. Dan anggota Board of Artistic Art Summit Indonesia, 2004.
Juga konseptor dari Jakarta Performing Art Market/Pastojak (Pasar Tontonan Jakarta I), 1997, yang diselenggarakan selama satu bulan penuh di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Menulis dan menyutradarai 4 pentas multi media kolosal, yaitu Rama-Shinta (1994), Opera Mahabharata (1996), Opera Anoman (1998), dan Bende Ancol (1999).