Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Pro Kontra Usulan Penghapusan Jabatan Gubernur

Ilustrasi kursi jabatan / tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Diskusi mengenai usul penghapusan jabatan Gubernur oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKN), Muhaimin Iskandar makin menyeruak ke permukaan.

Dukungan mapun bantahan bermuculan, hingga menyuguhkan sebuah wacana yang membutuhkan waktu panjang untuk sampai pada kesimpulan.

Usul Muhaimin yang cenderung mirip dengan kebijakan di era Orde Baru itu mendapat dukungan dari politikus Golkar, Bambang Soesatyo.

Pria yang akrab disapa Bamsoet itu menyebut, secara pribadi dia setuju dengan Muhaimin. Menurut Bamsoet, gubernur sebaiknya memang ditunjuk oleh pemerintah pusat.

Dia menjelaskan, kajian menunjukkan bahwa gubernur adalah perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Oleh sebab itu, mestinya pemerintah pusat lah yang memilih gubernur.

“Hasil kajian kami, saya pribadi dan kawan-kawan, tidak terkait dengan kelembagaan ya, MPR atau DPR, sebaiknya memang Gubernur ditunjuk mewakili pemerintah pusat,” kata Ketua MPR itu saat ditemui pada Minggu (5/2/2023).

Namun Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid menilai, usulan Cak Imin untuk menghapus Pilgub secara langsung sudah tidak bisa terkejar.

Menurut dia, usulan ini perlu kajian yang panjang.

Di sisi lain, tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan. Oleh sebab itu, dia menyebut sebaiknya semua pihak berfokus menyiapkan perangkatnya agar Pemilu serentak 2024 berjalan dengan maksimal.

“Sebagai wacana, itu nanti saja untuk periode 2029. Kalau sekarang saya kira sudah tidak terkejar. Untuk yang terbaik, saya kira adalah siapkan seluruh perangkat agar Pemilu serentak bisa terselenggara dengan maksimal,” kata Hidayat yang juga Wakil Ketua MPR RI, Minggu (5/2/2023).

 

Hidayat tidak mempersoalkan usulan itu. Kendati demikian, ia menyayangkan usulan ini mencuat di masa injury time jelang Pemilu 2024.

Menurut dia, usulan yang mepet dengan gelaran Pemilu ini membuat kajian yang komprehensif sulit dilakukan. Dia menilai usulan ini baiknya diendapkan dulu untuk kemudian dibahas usai Pemilu 2024.

“Ide-ide itu baiknya kita endapkan dulu. Kita kaji nanti di awal 2024 hingga 2029. Jangan di masa injury time kaya begini. Ini sudah waktunya, tidak memungkinkan melakukan kajian lebih komprehensif,” ujarnya.

Respons Kepala Daerah

 

Usul Muhaimin justru tak disambut sumringah para kepala daerah. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, misalnya, mengatakan usulan yang bijak mestinya berasal dari rakyat. Oleh sebab itu, rakyat mesti menjadi pihak yang pertama kali ditanya sebelum mengusulkan penghapusan Pilgub secara langsung.

“Jadi pertanyaannya, kalau mau ada perubahan-perubahan silakan. Karena negara ini dibangun oleh kesepakatan, kesepakatan tertinggi datang dari aspirasi rakyat. Itu jawaban saya,” kata Ridwan Kamil di Medan, Selasa (31/1/2023).

Sementara itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X merespons santai usulan Cak Imin. Menurut dia, Cak Imin sebagai politisi boleh mengusulkan apapun.

Kendati demikian, ia menegaskan bahwa dirinya selalu tunduk pada konstitusi yang berlaku, alih-alih usulan perorangan.

Dia pun menilai strktur tatanan pemerintahan sebenarnya sudah diatur oleh sistem perundang-undangan.

“Ya silakan saja (jika ada usulan jabatan gubernur dihapus), wong semua terserah pemerintah pusat, bukan Cak Imin,” kata Sultan HB X.

Adapun Wali Kota Solo Gibran Rakabuming menilai jabatan Gubernur punya fungsi krusial. Menurut dia, Gubernur punya peran penting untuk menjalankan rantai komando.

Dia menjelaskan, perannya sebagai Walikota selalu mendapatkan arahan dari Gubernur. Tanpa Gubernur, kata Gibran, proses koordinasi antar daerah oleh masing-masing Kepala Daerah sulit dilakukan.

“Ya (fungsi gubernur) krusial banget. Kita selalu dapat arahan dari gubernur. Saat koordinasi antar wilayah ndak jalan, dijembatani gubernur, diselesaikan gubernur,” ucap putra sulung Presiden Joko Widodo itu di Balaikota Solo.

Sedangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, usulan dari Cak Imin itu perlu kajian yang mendalam.

“Perlu semuanya kajian, perlu perhitungan, perlu kalkuasi, apakah bisa menjadi lebih efisien atau nanti rentang kontrolnya terlalu jauh?” ujar Jokowi.

Adapun Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik mengatakan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah sampai saat ini masih berlaku.

Dia menyebut UU itulah yang jadi rujukan hukum KPU dalam merancang perencanaan tahapan Pilkada, termasuk perencanaan anggaran pembiayaan tahapan Pilkada.

Dia menjelaskan, UU Pilkada merupakan tindak lanjut dari norma yang ada dalam Bab VI Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang menyebutkan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dipilih secara demokratis.

“Frasa Kepala Daerah yang dipilih secara demokratis dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945 itu hanya bisa ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai the sole interpreter of constitution alias penafsir tunggal konstitusi,” kata Idham kepada Tempo, Minggu (5/2/2023).

Idham turut merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota pasal 201 ayat 8. Aturan ini menyebutkan pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Kepala Daerah di seluruh Indonesia dilaksanakan pada November 2024.

“Dikarenakan Pasal 201 ayat 8 UU Nomor 10 Tahun 2016 masih efektif berlaku, jadi Pemilihan/Pilkada Serentak Nasional akan diselenggarakan pada November 2024,” kata Idham.

Tak Punya Pijakan Teoritis

 

Pakar Hukum tata Negara Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid menilai usulan Cak Imin untuk menghapus mekanisme Pilgub secara langsung tidak punya kajian akademis yang mendalam. Menurut dia, usul Muhaimin hanya sekadar pikiran lepas saja.

“Usulan yang dilontarkan oleh Wakil Ketua DPR Muhaimain Iskandar itu sesungguhnya tidak ada pijakan teoretis, maupun konseptual, yang disampaikan oleh pengusul ide penghapusan pranata jabatan gubernur ini,” ujar Fahri saat dihubungi Tempo, Minggu (5/2/2023).

Selain itu, usulan Cak Imin dinilai Fahri tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan dan konstitusional.

Musababnya, dalam konsep otonomi dan sistem pemerintahan daerah, sebagaimana didesain dalam UUD Tahun 1945, telah diatur secara sistemik bentuk negara dan sistem pemerintahannya.

Dia mengatakan jabatan gubernur di level provinsi termasuk dalam konsep otonomi daerah tersebut. Menurut Fahri, konsep otonomi ini sudah final dan sebaiknya tidak diotak-atik lagi.

“Sebab selain telah memiliki basis konstitusional yang kuat pada saat pembahasan amandemen UUD 1945, hakikatnya konsep otonomi dan keberadaan pranata gubernur mempunyai akar historis yang kuat, terkait dengan mekanisme pengisian jabatan gubernur secara akademik dapat didiskusikan kemudian,” kata Fahri.

Dia menyebut eksistensi Gubernur dan konsep otonomi yang sudah ada ini hendaknya tidak diganggu. Tujuannya, agar bangsa Indonesia tidak mundur dalam persoalan pilihan sistem yang sudah tuntas dilakukan.

Fahri menyebut penyelenggara negara idealnya berfokus menyelesaikan visi bernegara, alih-alih mengotak-atik sistem Pilgub yang sudah disepakati.

“Penyelenggara negara idelanya fokus menyelesaikan visi bernegara sebagaimana telah ditetapkan oleh konstitusi untuk kepentingan kesejahteraan rakyat,” kata Fahri.

Exit mobile version