Beranda Edukasi Pendidikan Dinamika Kurikulum Merdeka: P5 Bikin Fresh, Diferensiasi Mengajar Jadi Tantangan

Dinamika Kurikulum Merdeka: P5 Bikin Fresh, Diferensiasi Mengajar Jadi Tantangan

Para siswa SD Kemasan 2 Surakarta tampak asyik melihat hasil karya mereka berupa sayuran dengan sistem hydroponik / Foto: Dok Sekolah

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM Suasana terlihat gegap dan gembira pagi itu. Bersama dengan sinar matahari yang mulai menyinari bumi, para siswa SD Kemasan 2 Surakarta tampak antusias menyambut kegiatan baru.

Ya, pada hari itu anak-anak akan belajar dan berkegiatan di luar kelas. Mereka hendak belajar dan memmpraktikkan bagaimana cara menanam sayuran dengan sistem hydroponik.

Semua peralatan telah lengkap, mulai dari media tanam, nutrisi hydroponik, alat ukur, benih hingga instalasi hydroponik.

“Ini namanya apa, anak-anak?” tanya Pak Irfan, seorang profesional yang dihadirkan oleh sekolah untuk memberikan materi, sembari tangannya memegang semacam gelas plastik berlubang-lubang.

“Net poott!” sahut anak-anak dengan antusias.

“Bagus….”

Kemudian, Pak Irfan pun mulai mengajak para itu menaruh benih-benih sayuran ke media tanam, lalu memasukkannya ke dalam lubang-lubang berjajar di gully trapesium berisi air. Anak-anak pun melakukannya dengan gembira.

Kepala SD Kemasan 2 Surakarta, Sri Yanti, S.Pd mengatakan, kegiatan tersebut merupakan bagian dari Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).

“Anak-anak terlihat sangat senang dengan kegiatan seperti ini,” ujar Sri Yanti kepada Joglosemarnews, Rabu (5/4/2023).

Menurut Sri Yanti, P5 adalah kegiatan yang merupakan bagian dari Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM). P5 dilakukan dengan menganut konsep bahwa anak-anak belajar tidak lepas dari lingkungan sekitarnya.

Dengan demikian, guru perlu selalu kreatif mencari isu-isu di lingkungan sekitar, untuk kemudian ditarik masuk sebagai materi ajar dalam kegiatan P5 tersebut.

“Yang sudah kami lakukan kemarin di antaranya anak-anak belajar menanam sayur dengan metode hydroponik, selain juga membuat ecoprint,” ujar Sri Yanti.

Melalui kegiatan P5 ini, diakui Sri Yanti, siswa bisa belajar banyak hal, baik yang menyangkut ranah kognitif maupun afektifnya.

Dalam praktik menanam sayuran hydroponik tersebut, Sri Yanti mencontohkan, tidak semua benih yang ditanam oleh para siswa hidup dengan baik. Namun ada pula sebagian benih yang mati.

Dalam konsep P5 ini, anak diajak untuk mencari tahu atau menganalisis mengapa ada benih hidup dan ada pula benih yang mati. Anak diajak untuk berpikir sejak dini.

“Dan uniknya, anak-anak yang benihnya mati itu tidak jadi merasa sedih atau kecewa. Mereka malah senang karena mendapat pengalaman baru,” beber Sri Yanti.

Sri Yanti, yang sekolahnya menjadi Sekolah  Penggerak di Kota Solo itu menjelaskan, dalam kegiatan P5, sekolah dan guru diberi kebebasan penuh untuk berkreasi guna menuju pada capaian tertentu yang telah dicanangkan.

Dengan demikian, masing-masing guru maupun sekolah akan memiliki jenis kegiatan yang berbeda-beda dalam kegiatan P5 ini, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta, tergantung kreasi para guru.

Lain SD Kemasan 2, lain pula dengan SD Marsudirini Surakarta. Di sini, suatu ketika para siswa diminta membawa makanan tradisional dari rumah secara berkelompok, ke sekolah. Pagi harinya, makanan itu kemudian ditaruh  di meja masing-masing.

Anak-anak kemudian diminta untuk menulis nama dan cerita seputar makanan tradisional tersebut dalam secarik kertas, lalu diminta menceritakan seputar makanan tradisional tersebut di depan rekan-rekan dan gurunya.

Siswa kelas 1B SD Marsudirini Surakarta dengan gembira menunjukkan makanan tradisional yang mereka bawa dari rumah / Dok Sekolah | Kolase: Suhamdani

Apapun dapat mereka ceritakan, mulai dari bahan-bahannya apa saja, bagaimana cara membuatnya, bagaimana cita rasanya, di mana dapat diperoleh dan lain-lain.

“Anak-anak sangat antusias. Mereka senang sekali saat bercerita diajak orangtuanya ke pasar tradisional untuk mencari jajanan tradisional,” ujar Kepala SD Marsudirini Surakarta, Fransisca Sri Lani, S.Pd kepada Joglosemarnews.

Kegiatan P5 di SMP Negeri 8 Surakarta lain lagi. Di sana, para siswa diajak untuk membuat aneka karya, mulai dari membuat poster anti perundungan, membuat kolase kegiatan anti bullying, hingga drama anti bullying dan membuat yel-yel anti bullying.

“Karya-karya itu kemudian dipamarken di halaman sekolah. Para siswa terlihat sangat antusias mengikutinya,” ujar Kepala SMP Negeri 8 Surakarta, Triad Suparman, M.Pd.

Aneka macam kegiatan yang dilakukan para guru dan siswa di atas merupakan implementasi dari pendidikan karakter, yang dalam Kurikulum Merdeka ini mendapat porsi penekanan yang lebih banyak.

Para siswa SMP Negeri 8 Surakarta tengah melakukan gelar karya sebagai bagian dari kegiatan P5 pendidikan karakter / Dok Sekolah

Melalui kegiatan P5 tersebut, para guru mengakui, mereka terdorong untuk aktif berpikir, berkreasi dan bergerak dengan dinamis.

Sementara di sisi yang lain, para siswa juga mereasa lebih fresh dengan adanya kegiatan pendidikan karakter tersebut. Mereka mendapatkan hal-hal dan pengetahuan baru yang tak terduga sebelumnya.

“Melalui kegiatan semacam ini, para siswa secara tak langsung bisa belajar banyak hal, misalnya bagaimana berkomunikasi dengan orang tua maupun guru, dengan rekan-rekannya, bagaimana bergotong royong, belajar menganalisis persoalan dan masih banyak lagi, dan ini bisa mendorong anak menjadi mandiri dalam berpikir maupun bertindak,” papar Sri Yati.

 

Tantangan Deferensiasi Mengajar

Melalui Kurikulum Meredeka ini, kebebasan tidak hanya berlaku dalam kegiatan pendidikan karakter melalui program P5 saja.

Dalam ranah akademik pun, para guru diberi keleluasaan untuk mencari cara dan metode mengajar yang dirasa paling pas untuk para siswa. Dengan catatan, siswa diharapkan mampu mencapai target yang telah dicanangkan.

Kemerdekaan mengajar yang dicanangkan dalam Kurikulum Merdeka tersebut, bagi Kepala SMP Negeri 8 Surakarta, Triad Suparman, M.Pd, justru mengingatkan dirinya terhadap cara mengajar yang dilakuan oleh para guru pada 20 tahun silam.

“Kalau dulu banyak guru bilang: Pokokmen, piye carane sing penting murid-murid mudheng (Pokoknya, bagaimana caranya, yang penting para siswa paham-red),” ujar Triad Suparman berkisah.

Kepala SMP Negeri 8 Surakarta, Triad Suparman, M.Pd / Foto: Suhamdani

Dalam konteks di atas, Triad menjelaskan, sejatinya kemerdekaan mengajar, diam-diam sudah tumbuh dan dilakukan oleh sebagian guru di masa silam. Hanya saja, kemerdekaan mengajar di masa itu hanya muncul secara individual dan belum diakomodir dalam sebuah kurikulum.

“Dan ternyata Kurikulum Merdeka sekarang ini malah nyambung dengan semangat merdeka mengajar pada masa silam,” tutur Triad Suparman.

Pada bagian lain, Triad mengakui, konsep deferensiasi mengajar dalam kurikulum ini sedikit membuat para guru gagap.  Dalam konsep deferensiasi ini, sebagian guru masih kesulitan memberikan materi pelajaran kepada 32 siswa yang kemampuannya sangat beragam, agar para siswa benar-benar paham.

Pasalnya, kondisi dan latar belakang siswa di SMP Negeri 8 Surakarta sangat heterogen. Ada siswa yang kemampuannya masuk high level atau memiliki kecerdasan tinggi, ada yang menengah dan tak sedikit pula yang masuk level bawah.

Terjadinya heterogenitas tersebut,  menurut Triad wajar terjadi sebagai  konsekuensi lanjutan dari kebijakan zonasi. Sebuah kebijakan yang membuat sekolah tak lagi punya screening atau standardisasi bagi para calon siswa baru.

Alhasil, seberapa pun kemampuan siswa, asal masih masuk dalam jangkauan zonasi wilayah sekolah, harus diakomodir oleh pihak sekolah.

Baca Juga :  DKV ISI Surakarta Apresiasi Prestasi Mahasiswa Lewat Konversi Nilai Mata Kuliah

“Di sini, banyak siswa yang sekali diajari langsung paham. Tapi banyak juga yang harus dibilangi tiga sampai lima kali, baru bisa mudheng (paham-red),” papar Triad.

Di tengah heterogenitas siswa seperti inilah, konsep deferensiasi mengajar dakui menjadi tugas yang lumayan berat bagi sebagian guru. Hal ini dirasakan benar oleh Sri Suprapti, S.Pd, guru Bahasa Jawa di SMP Negeri 8 Solo.

Guru SMP Negeri 2 Surakarta, Sri Suprapti, S.Pd membagi siswa dalam kelompok untuk memudahkan pendampingan / Foto: Suhamdani

Untuk mencapai target pemahaman yang sama kepada para siswa yang beragam kemampuan itu, ia telah mencoba memberikan perhatian yang lebih pada murid kemampuannya pas-pasan.

Hanya saja, ibarat ibarat buah simalakama, hal itu justru memunculkan semacam kecemburuan bagi para siswa yang lain.

“Jadinya ya memang serba salah. Tapi mau bagaimana lagi, yang penting mereka bisa paham materi pelajaran,” tutur Sri Suprapti kepada Joglosemarnews.

Kondisi di atas, secara otomatis dialami pula oleh guru-guru di sekolah negeri yang lain sebagai dampak kebijakan zonasi, termasuk pula di SD Kemasan 2 Surakarta.

Kepala SD Negeri Kemasan 2 Surakarta, Sri Yanti, S.Pd menjelaskan, deferesnsiasi mengajar dalam Kurikulum Merdeka justru menjadi tantangan tersendiri.

Bagi guru-guru yang masih fresh graduate, hal itu relatif tidak menjadi persoalan, karena daya kreasi dan semangat mereka yang tinggi dan terbuka untuk sebuah perubahan.

Namun lain halnya bagi guru-guru yang sudah berusia lanjut, terasa masih gagap untuk mengikuti gerak dan dinamika yang terjadi. Itu dirasakan benar oleh Sri Yanti selaku kepala sekolah.

Karena itulah, Sri Yanti merasa harus berdiri di tengah-tengah. Ia harus bisa mendorong guru-guru untuk terus berkreasi selaras semangat Kurikulum Merdeka. Namun di sisi lain ia juga harus memberikan motivasi kepada guru-guru berusia lanjut dengan cara yang halus atau ngemong.

“Kebetulan saja, dari sisi usia saya ini berada  di tengah-tengah. Jadi bisa merasakan apa yang dialami guru-guru usia lanjut, bisa pula mengikuti perkembangan zaman dan dinamika guru-guru muda,” paparnya.

Untuk menyiasati konsep deferensiasi mengajar ini, para guru di SDN Kemasan 2 Surakarta membentuk kelompok kecil, sebagai wadah untuk mendiskusikan dan saling sharing informasi dan pengalaman antar guru.

Melalui tim kecil ini, terbukti para guru merasa terbantu. Guru yang mengalami kebuntuan dalam mengajar, akhirnya mendapatkan solusi melalui tim kecil ini.

Untuk menyiasati deferensiasi mengajar ini, sejak awal masuk pelajaran, para siswa dikelompokkan sesuai kemampuan. Para siswa yang kemampuannya tinggi duduk di bagian belakang, siswa yang kemampuannya menengah berada di tengah dan para siswa kemampuannya pas-pasan duduk di depan.

“Ini akan memudahkan pengawasan guru pada siswa,” papar Sri Yanti.

Untuk mengejar capaian target belajar dalam program deferensiasi mengajar ini, demikian cerita Sri Yanti, ada salah satu guru di sekolahnya ada kalanya menggunakan cara unik.

Kepala SD Kemasan 2 Surakarta, Sri Yanti , S.Pd / Foto: Suhamdani

Caranya, guru menawarkan kepada siswa yang memiliki kemampuan lebih, untuk mengajari temannya yang masih kesulitan. Sementara si guru fokus untuk mendampingi siswa yang butuh lebih banyak perhatian.

“Dan ternyata cara ini efektif. Anak yang diminta mengajari temannya itu merasa senang, yang diajari juga lebih mudah mengerti. Siswa yang mengajari tambah pinter, yang diajari juga jadi paham. Komunikasi antar siswa juga terjalin bagus. Jadi unsur kognitif dan afektifnya malah kena semua,” beber Sri Yanti.

Cara yang hampir sama digunakan pula oleh guru-guru di SD Marsudirini, Surakarta. Meskipun sebagai sekolah swasta relatif tidak terpengaruh oleh kebijakan zonasi, namun cara tersebut dilakukan untuk menyiasati konsep deferensiasi mengajar di Kurikulum Merdeka.

Pengelompokan siswa dari tingkat kemampuannya tetap dilakukan. Di awal masuk pelajaran, guru akan menyeleksi kemampuan siswa, lalu mengelompokkannya sesuai posisinya.

“Siswa yang paling butuh perhatian, akan duduk tepat di depan guru,” papar Fransisca Sri Lani, Kepala SD Marsudirini Surakarta.

Di luar itu, dua tahun dilanda pandemi Covid-19 telah  menjadi tantangan tersendiri bagi para guru dalam mengimplementasikan Kurkulum Merdeka. Dua tahun lamanya para siswa belajar dengan metode daring di rumah yang jauh bimbingan dan pengawasan langsung dari para guru.

Begitu lepas dari pandemi dan mulai dengan pembelajaran klasikal, kondisinya sungguh di luar dugaan.

MM Hendriyani, guru Kelas 4 SD Marsudirni Surakarta mengibaratkan, secara fisik adalah murid kelas 4, namun secara kemampuan, nyaris tak ada bedanya dari murid kelas 2.

“Nggak tahu ya, tapi ini benar terjadi. Mungkin di sekolah lain juga mengalami hal yang sama, karena pandemi terjadi secara umum,” paparnya.

Pandemi memang sifatnya kasuistik dan menjadi semacam “beban tambahan” bagi guru. Namun diakui Hendri, konsep deferensiasi mengajar sendiri di sisi lain menjadi tantangan yang harus mereka taklukkan.

Salah satu yang mereka lakukan adalah membentuk tim kecil, sebagaimana yang dilakukan SD Negeri Kemasan 2, yang menjadi tempat untuk sharing pengalaman, mencari solusi, serta menjadi kawah untuk menggodog modul pembelajaran yang akan mereka gunakan sesuai fase dan tingkatannya.

 

Pelatihan Guru

Sejatinya, kehadiran Kurikulum Merdeka tidak “bertujuan” memberi  beban bagi para guru. Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi  (Kemdikbudristek) telah menyediakan Platform Merdeka yang berisi video bagi guru-guru untuk belajar.

Kehadiran Platform Merdeka ini dirasakan sangat membantu para guru untuk memahami gerak dan dinamika pembelajaran yang ada, sehingga mereka relatif dapat mengikuti perkembangan yang terjadi.

Melalui teknologi platform ini, otomatis informasi seputar dinamika pendidikan bakal lebih massif diterima oleh para guru tanpa batas.

“Memang Diklat guru secara langsung dari Dinas tetap ada. Sekolah juga bisa secara mandiri mengundang pembicara berkompeten untuk memberikan Diklat, tapi bagi guru yang tidak punya kesempatan ikut langsung, bisa melakukannya lewat platform digital,” papar Kepala SD Marsudirini, Fransisca Sri Lani.

Kepala SD Marsudirini Surakarta, Fransisca Sri Lani, S.Pd / Foto: Suhamdani

Dalam hal ini, sekolah justru didorong untuk mengikuti Diklat lewat platform tersebut, dan itu dikontrol secara digital.

Sekolah yang guru-gurunya aktif mengikuti diklat lewat platform akan terlihat dari tabel berwarna hijau. Sementara warna kuning menunjukkan aktivitas guru-guru mengikuti Diklat pada tingkatan sedang.

Warna merah yang perlu menjadi perhatian, karena menunjukkan guru-guru jarang mengikuti Diklat melalui platform yang disediakan.

“Data ini bisa dilihat oleh siapa saja, termasuk dalam Diklat luring, tabel itu bisa disaksikan bersama.  Jadi kita akan malu jika tabel di platform berwarna merah. Makanya sekolah akan selalu aktif mendorong guru-gurunya untuk mengikuti Diklat lewat platform,” ujar Sri Lani.

Baca Juga :  Wisuda UMS Sarat Empati, Doa dan Donasi Mengalir untuk Korban Banjir Sumatra  

Apakah platform Diklat tersebut mampu menyelesaikan masalah? Ternyata belum sepenuhnya ideal. Pasalnya, teknologi tersebut masih bisa “disiasati” atau “diakali” oleh para guru, demi mengejar warna hijau dalam tabel.

Hal ini diakui benar oleh Kepala SD Kemasan 2, Sri Yanti, S.Pd. Ia mengakui ada saja guru yang entah dengan alasan apa membuka platform Diklat mengajar, namun tidak mengikutinya sampai selesai.

“Bahkan ada yang membuka, lalu disambi-sambi yang lain. Ada juga yang hanya membuka sebentar, kemudian ditutup. Yang penting sudah membuka platform dan absen,” ujarnya.

Kejadian di atas, secara tak langsung menunjukkan bahwa teknologi tidak selamanya selaras dengan fakta yang terjadi di lapangan. Warna hijau yang menjadi indikator guru aktif membuka platform mengajar, tidak otomatis menjadi ukuran kualitas mengajar guru di kelas.

Melihat adanya kesenjangan ini, menurut Sri Yanti, Kepala Sekolah menjadi kunci utama perubahan tersebut. Ia selalu aktif berkomunikasi dengan guru-guru, memberikan motivasi dan evaluasi secara langsung.

Sebagaimana terungkap dari para guru di sekolah negeri maupun swasta di atas, rupanya  konsep deferensiasi pengajaran ini dirasakan menjadi tantangan oleh para guru secara umum di Kota Solo.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Surakarta, Dian Rineta, M.Si / Foto: dinaspendidikan.surakarta.go.id

Fakta ini diakui pula oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Surakarta, Dian Rineta, M.Si, di mana pembelajaran harus mengutamakan kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda dalam satu ruang kelas.

Sedangkan guru di sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka secara mandiri, perubahan ini akan terasa berat karena belum semua guru mendapatkan pelatihan secara langsung.

“Mereka hanya mempelajari melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM), di mana jaminan untuk dapat memahami materi belum dapat diukur,” jelas Kepala Dinas Pendidian Kota Solo, Dian Rineta kepada Joglosemarnews, Kamis (6/4/2023).

Kondisi tersebut sedikit berbeda dengan sekolah yang telah menjalankan program Sekolah Penggerak. Karena Sekolah Penggerak angkatan 1 dan 2, secara umum sudah memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) guru yang lebih siap dibanding sekolah mandiri.

Melihat kesenjangan dan persoalan tersebut, jelas Dian, Dinas Pendidikan Kota Surakarta tidak tinggal diam. Insntansinya secara konsisten selalu mengadakan sosialisasi dan pelatihan bagi para guru, kendati jumlahnya masih terbatas.

Namun untuk menutupi kekurangan tersebut, selain tersedia Platform Merdeka Mengajar, pihak Dinas juga menugaskan Pengawas Sekolah untuk mendampingi sekolah binaan masing-masing  dalam penerapan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM).

“Dengan cara ini, setidaknya kebutuhan para guru secara umum dapat terjembatani,” paparnya.

Dian memaparkan, khusus untuk jenjang SD di Kota Solo, pelaksanaan Kurikulum Merdeka sudah berjalan dengan baik. Tahun 2023 ini, semua sekolah di Kota Solo sudah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka  pada kelas 1 dan kelas 4.

Sementara itu khusus untuk jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Kota Solo, saat ini  sedang berproses menuju pada status Mandiri Berubah.

Semua guru di setiap Satuan PAUD sudah mengerjakan Platform Merdeka Mengajar dan sebagian besar sudah menuju pada aksi nyata menuju sekolah penggerak. Saat ini menurutnya, sudah ada 12 PAUD yang sudah mendapat sertifikat pelaksanaan Kurikulum Merdeka.

Untuk itu, diharapan pada tahun akademik  (TA) 2023/2024, semua satuan PAUD di Kota Solo sudah melaksanakan Implementasi Kurikulum Merdeka yang termuat pada dokumen 1 Kurikulum Satuan PAUD.

“Karena di tahun 2023 ini, Disdik sudah menyelenggarakan Bimtek IKM melalui DPA Disdik 2023 dan materi kurikulum di Diklat Berjenjang sudah memakai IKM. Selain itu melalui dana hibah di Organisasi Mitra (IGTKI, Himpaudi dan PKG PAUD) penggunaannya juga fokus dan konsentrasi pada sosialisasi dan Bimtek IKM,” ujarnya.

Dian Rineta mengakui, IKM masih menjadi kendala bagi sebagian guru, termasuk guru PAUD, lantaran masih minimnya pengetahuan dan keterampilan dalam penggunaan IT.

Selain itu menyangkut sarana dan prasarana (Sarpras), masih ada sekolah yang belum memiliki perangkat seperti PC/laptop, sehigga terpaksa menggunakan sarana pribadi dan gadget milik pribadi guru yang belum support untuk PMM.

“Itulah maka para guru harus didampingi oleh operator sekolah masing-masing,” paparnya.

Dian mengatakan, setiap pembina teknis baik Penilik PAUD dan Pengawas TK selalu melakukan pembimbingan dan pendampingan dalam pelaksanaan IKM. Mereka siap  membantu apabila muncul kesulitan-kesulitan.

Selain itu, jelas Dian, melalui Gugus PAUD dan PKG PAUD, Satuan PAUD rutin melakukan sharing dan diskusi dalam mengatasi permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan IKM.

Untuk Kepala PAUD dapat dilakukan di forum Kelompok Kerja Kepala PAUD (KKKP), sementara untuk Guru dapat dilakukan melalui forum KKG (Kelompok Kerja Guru).

Untuk jenjang SMP, menurut Dian, kurikulum merdeka sudah dilaksanakan di sebagian besar sekolah di Kota Solo, yang persentasenya hampir 100%, minimal di dua tingkat kelas. Sementara ini di Kota Solo sudah terdapat 13 sekolah penggerak.

Setiap program baru, diakui Dian Rineta, tak pernah lepas dari kendala-kendala, begitu pula dengan penerapan Implementasi Kurikulum Mandiri tersebut.

Dijelaskan Dian, beberapa kendala dalam penerapan IKM ini antara lain adalah menyamakan persepsi antara kepala sekolah (KS) dengan  guru terkait Kurikulum Merdeka.

Di sisi lain, kesenjangan kompetensi dan kurangnya jumlah guru serta minimnya kesadaran guru untuk belajar mandiri  mengenai Kurikulum Merdeka, menjadi kendala yang tak boleh diabaikan.

Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, Dian menjelaskan, pihaknya rutin melakukan sosialisasi dan Bimtek dengan narasumber dari Sekolah Penggerak, Pengawas hingga melibatkan Balai Besar Guru Penggerak (BBGP).

Di samping itu, Dinas juga  membuat target triwulan capaian topik untuk guru agar belajar mandiri di PMM melalui edaran, di mana monitoring dan evaluasinya dipantau melalui aplikasi  yang melibatkan kerja pengawas sekolah.

“Dinas Pendidikan juga rutin melakukan supervisi dan monitoring dalam pelaksanaan IKM baik secara on line maupun off line,” pungkas Dian Rineta. Suhamdani

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.