Beranda Edukasi Pendidikan Kebijakan Update Kinerja 15 April Matikan Karier, 15 Dosen Protes ke Nadiem

Kebijakan Update Kinerja 15 April Matikan Karier, 15 Dosen Protes ke Nadiem

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/1/2023) / tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadim Makariem diprotes oleh 15 dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Protes tersebut terkait dengan batas waktu kebijakan pemutakhiran data kinerja berupa input data tridharma Penilaian Angka Kredit (PAK) di aplikasi Sistem Jabatan Informasi Akademik (Sijali) dan aplikasi Sistem Informasi Jabatan Fungsional Go Online (Sijago).

Para dosen tersebut menilai tenggat waktu pada 15 April begitu sempit dan bisa mematikan karier para dosen.

“Kebijakan ini tidak masuk akal dan tidak adil,” demikian pernyataan sikap dari 15 dosen yang diterima Tempo, Minggu (9/4/2023).

Menurut mereka, beban administratif yang menimpa dosen di Indonesia semakin tidak masuk akal. Jika dibiarkan,  maka mutu dosen dan pendidikan tinggi akan terus merosot.

Para dosen menjelaskan duduk perkara berasal dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi yang baru-baru ini mengedarkan Sosialisasi Kebijakan Penyelesaian PAK bagi dosen-dosen di seluruh Indonesia.

Kebijakan inilah yang dinilai akan membebani dosen dengan kewajiban menginput ulang secara manual data tridharma yang sangat banyak ke dalam sistem baru dan dalam waktu yang sangat sempit yaitu 15 April tersebut.

Menurut mereka, ada banyak persoalan dalam penerapan kebijakan  PAK ini serta peraturan-peraturan yang menjadi dasarnya. Pertama yaitu ada ketidakadilan bagi para dosen.

Kebijakan mengenai PAK dimaksudkan untuk menghitung angka kredit dosen. Angka kredit itu dibutuhkan antara lain untuk kepentingan kenaikan jabatan. Selama ini semua data tridharma telah secara rutin di-input oleh dosen ke  sistem aplikasi Sister (Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi).

Untuk keperluan kenaikan jabatan, Ditjen Dikti kemudian menambah aplikasi baru yang disebut Sijali dan Sijago. Walhasil, dosen harus meng-input kembali secara manual data Tridarma yang telah ada di Sister itu ke Sijali.

“Ini tentu akan menghabiskan waktu, pikiran dan energi yang tidak sedikit,” demikian kata para dosen ini.

Selain itu, aplikasi baru ini juga tidak terintegrasi dengan sistem sebelumnya dan berbeda dari wilayah ke wilayah. Misalnya, untuk Lembaga Layanan Dikti wilayah 3 (Jakarta) digunakan aplikasi Sijali, dan untuk wilayah 6 (Jawa Tengah) digunakan Sijago.

“Kelemahan sistem yang tidak terintegrasi ini, yang seharusnya diatasi pemerintah, justru kemudian dibebankan kepada para dosen,” tulis para dosen.

Bila dosen tidak menginput kembali data-data tridharma selama bertahun-tahun itu ke Sijali atau Sijago hingga 15 April 2023, maka Dikti akan menjatuhkan sanksi keras. Sanksinya yaitu semua kredit tridharma yang selama ini telah diperoleh akan dianggap nol alias tidak ada.

Baca Juga :  Prof. Dr. Sri Yamtinah Dikukuhkan sebagai Guru Besar Evaluasi dan Pembelajaran Kimia di UNS

“Dengan kata lain, para dosen-lah yang menanggung hukuman beban atas kelemahan sistem yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah,” kata para dosen ini.

Kedua, kebijakan ini juga dianggap tidak tepat sasaran. Kebijakan tentang PAK ini mendasarkan diri pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 1 tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional.

Permenpan RB ini hendak melaksanakan mandat peraturan lain, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

“Di sini, yang dianggap memiliki Jabatan Fungsional adalah Aparatur Sipil Negara,” tulis para dosen.

Akan tetapi, Ditjen Dikti justru disebut memperluas definisi ini untuk semua dosen, baik yang berstatus ASN maupun yang bekerja di perguruan tinggi swasta.

Sehingga, peraturan yang ditujukan untuk ASN diberlakukan untuk semua dosen, termasuk dosen perguruan tinggi swasta.

Lalu yang terakhir, kebijakan ini juga dinilai cacat administratif. Seharusnya, berdasarkan konsep hierarki perundang-undangan, surat edaran dibuat setelah terbit peraturan-peraturan yang mendasarinya.

Dalam kasus ini, kata para dosen, surat edaran telah lebih dulu ada sebelum peraturan yang mendasarinya. Surat Edaran atau SE 638/E.E4/KP/2020 tertanggal 23 Juni 2020, yang terbit di tahun yang lebih awal dari Permenpan RB Nomor 1 tahun 2023 dan Surat Dirjen Diktiristek No 0403/E.E4/KK.00/2022 tertanggal 25 Mei 2022.

Untuk itu, para dosen ini mengajukan empat tuntutan ke Nadiem. Pertama batalkan tenggat waktu 15 April. Kedua, menghapuskan ancaman sanksi terhadap dosen terkait kebijakan tersebut.

Ketiga, mengaudit aplikasi-aplikasi Ditjen Dikti yang terlalu banyak dan membebani dosen. Keempat, melakukan reformasi birokrasi pendidikan  sekarang juga. Adapun 15 dosen yang menyuarakan sikap ini yaitu sebagai berikut:

 

  1. Sigit Riyanto (Universitas Gadjah Mada atau UGM)
  2. Rikardo Simarmata (UGM)
  3. Syukron Salam (Universitas Negeri Semarang)
  4. Richo Wibowo (UGM)
  5. Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia)
  6. Herlambang P. Wiratraman (UGM)
  7. Benny D. Setianto, (Unika Soegijapranata)
  8. Riawan Tjandra (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
  9. Donny Danardono (Unika Soegijapranata)
  10. Budhy Munawar-Rachman (STF Driyarkara)
  11. Damayanti Buchori, (Institut Pertanian Bogor).
  12. Budi Hardiman (UPH Tangerang).
  13. Franz Magnis-Suseno (STF Driyarkara)
  14. Fitzerald K. Sitorus (UPH Tangerang).
  15. Justinus Sudarminta SJ (STF Driyarkara).
Baca Juga :  Prof. Dr. Sri Yamtinah Dikukuhkan sebagai Guru Besar Evaluasi dan Pembelajaran Kimia di UNS

 

Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nizam menyebut keluarnya Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 memang mengharuskan dosen untuk mengklaim kinerjanya selama ini agar dapat ditetapkan berapa nilai kumulatif nya saat tutup buku akhir Juni nanti. Menurut Nizam, pihaknya hanya membutuhkan daftar dosen dan pengakuan angka kredit kinerja yang telah diperolehnya sampai akhir tahun 2022 dari para rektor perguruan tinggi.

 

Data tersebut dapat diambil dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi atau PDDikti, aplikasi Sister, dan pangkalan data lainnya. Bagi dosen yang selama ini sudah rajin mengupdate alias memutakhirkan kinerjanya, kata Nizam, maka seharusnya tidak ada masalah karena tidak perlu menambahkan data lagi.

 

“Tapi bagi yang belum mengupdate kinerjanya ya terpaksa harus segera mengupdate data kinerjanya agar dapat diakui,” kata Nizam saat dihubungi. Ia pun juga memastikan tenggat waktu yang tadinya 15 April akhirnya diperpanjang jadi 15 Mei 2023.

 

Nizam menyebut tenggat waktu ini mundur bukan karena ada keluhan dari para dosen, karena sudah diputuskan sebelum itu. Nizam menyebut pihaknya sudah berdiskusi dengan Kemenpan RB dan akhirnya tenggat waktu mundur 15 Mei.

 

Perubahan tenggat waktu ini, kata Nizam, juga sudah disosialisasikan melalui Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi atau LLDikti dan para rektor Maret lalu. “Hari ini tadi kami koordinasikan lagi dengan LLDikti dan pimpinan perguruan tinggi,” ujar Nizam.

 

Adapun terkait Surat Edaran yang disebut cacat administrasi, Nizam menyangsikan hal tersebut. “Rasanya tidak mungkin SE bertanggal seperti itu. Karena SE di tandatangani secara elektronik, jadi time stamp-nya sesuai penanda tanganan. Tapi akan saya cek ke admin,” kata Nizam.

www.tempo.co