Oleh : Niken Satyawati*
Pentolan-pentolan relawan Gibran Rakabuming Raka dan Joko Widodo (Jokowi) menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto dalam sebuah acara wedangan bersama di Angkringan Omah Semar, Solo. Walikota Solo, Gibran Rakabuming turut hadir dalam acara itu.
Jagat politik pun geger genjik. Dunia maya riuh rendah. Ada yang mendukung, ada yang mencibir, ada yang mengumpat bahkan melaknat. Buntutnya, Gibran dipanggil ke Kantor DPP PDIP di Jakarta untuk menjelaskan duduk perkara pertemuan itu.
Menjelang 2024, politik kian dinamis. Suhu politik mulai memanas. Semua orang berspekulasi sah. Boleh-boleh saja wong ini negara demokrasi. Semua orang bebas menyatakan pendapat. Termasuk saya dong….
Terkait pertemuan relawan Gibran-Jokowi dengan Prabowo, saya punya analisis tersendiri.
Pertama, tak ada yang salah dengan manuver Gibran. Pria yang akrab disapa “Mas Wali” atau “Mase” ini memang seorang politisi. Saat ini Gibran masih kader banteng. Tapi ingat, dia sekarang menjabat walikota. Sedangkan Prabowo adalah Menteri Pertahanan. Jadi posisinya adalah Walikota menjamu Menhan.
Sementara setahu saya, Mas Wali ini memang sosok yang clingus dan tak suka menonjol. Jadi dia mengajak orang-orang terdekatnya untuk ikut hadir di wedangan. Siapa orang terdekatnya secara pribadi? Ya para pendukungnya yang sudah setia bahkan sejak dia belum mencalonkan diri menjadi Walikota Solo.
Konon, bahkan para pendukung ini sudah lebih dulu ingin Solo dipimpin seorang Gibran. Sampai mereka harus membujuknya untuk bersedia nyemplung di dunia politik. Jadi, apa yang salah? Tidak ada. Tidak majalah…
Kedua, relawan itu bukan orang partai. Gibran sendiri selaku kader banteng menyatakan masih tegak lurus dengan partai. Tapi apakah relawan itu kader partai? Mungkin ada yang berafiliasi ke partai. Tapi sejauh yang saya tahu, relawan-relawan yang hadir di Omah Semar bukan orang partai. Mereka bukan orang partai, jadi bebas-bebas saja mau dukung siapa. Ketika dukungan itu jatuh kepada Prabowo, ya sah-sah saja. Relawan kok dipadakkan kader partai.
Ketiga, terlepas dari berbagai anggapan, peristiwa di Omah Semar menunjukkan keberanian Gibran. Sebagai politisi dia makin matang dan dewasa. Dia berani berbeda sikap dengan siapapun, sepanjang untuk membela rakyat. Soal Pildun, dia berani beda kok dengan partai. Mase ini persis bapaknya. Prinsipnya adalah berani karena benar. Kendati dia sadar perbedaan sikapnya dengan partai akan membuahkan ekses yang barangkali tidak baik.
Last but not least, tak ada musuh abadi. Jika kelak Gibran akan mendukung Prabowo, itu bukan hil yang mustahal. Seorang politisi itu boleh dan biasa pindah ke lain kandang. Tak terhitung lagi mereka yang semula merah menjadi kuning, semula kuning menjadi biru, semula hitam jadi orange. Itu nggak dosa.
Demikian juga bapaknya, Jokowi. Nganu…. Gibran dan Jokowi orang PDIP, mesti mengikuti partai dong? Ya selama Eit, jangan salah. Bahkan Pak Presiden yang sering disebut “petugas partai”, sesungguhnya tidak sepetugas itu. Pildun hanya satu contoh saja bapak dan anak ini beda sikap dengan partai. Terkait Pilpres, bukan tidak mungkin hal ini bakal terulang.
Ketika Lebaran Jokowi makan bareng dengan siapa? Ya, di hari paling penting bagi umat Islam itu, Jokowi pilih makan bersama dengan Prabowo dan keluarganya. Bukan yang lain.
Akun Twitter Gibran Rakabuming juga bikin kejutan, dengan menyatakan dukungan pada gerakan tidak memilih Capres yang membatalkan Pildun! Tak sampai di situ. Kaesang ikut memanasi dengan mengenakan kaos bergambar dan bertuliskan “Prabowo” di sebuah podcast. Whaini…
Ah, masak sih bisa begitu? Masak Jokowi dan keluarga bisa berbalik arah mendukung musuh politiknya? Ya bisa dong. Jokowi-Prabowo hanya “bermusuhan” saat Pilpres. Setelah itu dia justru merangkul Prabowo dan dijadikan Menteri Pertahanan. Kalau kemudian dalam perkembangannya yang terjadi memang lebih dari itu, ya wajar saja. Ini hanya politik, Kak. Bukan kitab suci yang tak bisa berubah. Dan belum tentu juga ini akan terjadi beneran.
Ingat selalu pameo, “Tak ada musuh ataupun teman yang abadi di dalam politik, yang abadi hanya kepentingan”.
Yang tidak wajar adalah mindset ingin musuhan terus dan memelihara kebencian kepada orang lain dengan preferensi politik berbeda. Jadi, saran saya kepada salah satu pendukung sesecapres, hentikan sikap beringas itu. Nggak hanya diri sendiri yang rugi karena bikin males orang, tapi sesecapres yang Anda dukung juga akan menerima akibatnya.
Soal mau pilih Capres ini atau itu adalah hak masing-masing orang. Tidak boleh dipaksa-paksakan. Jadi tak ada yang bisa dilakukan kecuali saling menghargai pilihan masing-masing.
Pilpres masih lama. Masih akan ada banyak dinamika. Yuk kita sambut dengan suka cita. Penuh kegembiraan, bukan kebencian!
—*Penulis adalah Warga Pemilih–