Catatan : Niken Satyawati*
Anda pernah menyaksikan drama Korea? Jalinan kisah yang rumit namun menarik, mendebarkan, menyentuh dan adanya plot twist atau perubahan alur yang tak disangka-sangka adalah ciri khasnya. Demikian juga yang saya rasakan ketika tiga hari mengamati Kongres XXV PWI di Hotel El Royale Bandung. Puncak “Drama Korea” itu berlangsung di malam Pemilihan Ketua Umum PWI.
Saya masih mendampingi kegiatan seputar literasi digital di Papua ketika ditawari suami yang tak lain Ketua PWI Surakarta, “Mau ikut nggak ke kongres di Bandung?” Tanpa pikir panjang, langsung saja saya iyakan.
Karena suami saya Ketua PWI, secara ex officio saya pun menjadi Ketua IKWI (Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia) Surakarta. Kesempatan mengikuti perjalanan kongres dan proses keberlanjutan kepemimpinan PWI pusat tak mungkin saya sia-siakan dong. Kapan lagi bisa silaturahmi dengan para wartawan dari 38 provinsi di Indonesia? Kapan lagi bisa ketemu tokoh-tokoh pers Indonesia yang tentu akan berkumpul di arena kongres?
Sabtu (23/9/2023) malam, saya landing di Airport Adisumarmo dari perjalanan Papua-Makassar-Jakarta-Solo. Keluarkan barang dari koper, masukkan barang bersih ke koper yang sama. Minggu (24/9/2023) pagi saya sudah harus berangkat ke Bandung dengan KA Lodaya. Beruntung anak-anak sudah besar jadi bisa ditinggal-tinggal.
Minggu sore, baru saja check in di Hotel El Royale Bandung. Beruntung sekali saya langsung bertemu eks Pemred Harian SOLOPOS, Dhanie H Soe’oed. Kebetulan saya dulunya juga wartawan. Harian SOLOPOS adalah tempat saya bekerja 16 tahun, sebelum saya memutuskan resign 10 tahun lalu dan aktif di gerakan literasi digital hingga sekarang. Terakhir beliau menjadi atasan langsung saya sebagai Direktur Produksi dan SDM, ketika saya memimpin Lembaga Pelatihan Jurnaistik SOLOPOS. Bagi saya Pak Dhanie lautan ilmu. Tak hanya jurnalistik tapi juga kehidupan. Selain Pak Dhanie, saya bertemu orang-orang hebat lainnya di dunia kewartawanan dan pakar-pakar Ilmu Komunikasi Indonesia seperti Pak Tribuana Said, Pak Rusdi, Pak Marah Sakti, Pak Wina Armada dan banyak lagi tokoh dan senior pers lainnya.
Tiga hari tiga malam di Bandung, saya memantau menjadi penonton kongres dan tentu tujuan utama sambil jalan-jalan….hehe. Pada malam terakhir, adalah yang paling berkesan. Saya sengaja duduk di dekat pintu Ballroom Hotel El Royale bersama penggembira lain untuk mengikuti acara puncak, yakni proses pemilihan Ketua Umum, melalui layar gelas yang disediakan panitia. Saat Kongres XXIV 2018 di Solo, saya malah tidak mengikuti sedetail ini.
Baru tahu betapa alotnya suasana kongres PWI. Seru sekaligus tegang dan mendebarkan. Rasanya deg-degan bak menunggu ending drama Drakor lengkap dengan plot twist-nya. Salah satu soal calon ketua umum. Bahkan kerumitan ini kabarnya sudah berlangsung sejak lama tak hanya satu-dua bulan menjelang kongres. Kabar dari suami saya, lobi dan konsolidasi untuk calon ketua umum sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir. Rumit memang seperti Drakor Scarlet Heart, di mana ada banyak tokoh kuat yang berpotensi menjadi pemimpin dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Di saat pleno pemilihan ketua umum, pimpinan sidang membuka sidang pleno pemilihan, suasana cenderung hening dan terasa aneh.
Ratusan orang yang berada di dalam ballroom maupun di luar yang menyaksikan dari layar tv seperti menunggu-nunggu sesuatu yang sudah sangat dinantikan. Layaknya menunggu sang pacar yang mau datang. Gelisah, harap-cemas bercampur senang. Tapi tak bisa berkata-kata sehingga mulut terdiam.
Memasuki proses pencalonan, suasana mulai rancak dengan alur yang meninggi. Semua seperti menantikan siapa saja yang akan mencalonkan sebagai ketua umum PWI Pusat periode berikutnya. Mungkin memang itu yang ditunggu-tunggu mereka yang hadir di tempat itu.
Ternyata yang mencalonkan hanya tiga orang. Padahal menurut kabar dari suami saya ada empat nama yang akan maju sebagai calon ketua umum. Satu nama tidak jadi mencalonkan diri. Adapun ketiga nama calon tersebut adalah Pak Atal S Depari (petahana) yang maju paling awal untuk mencalonkan diri kembali. Pak Atal menyatakan masih banyak ide-ide dan gagasannya yang belum terealisasi. Disusul kemudian Pak Hendry Chaerudin Bangun, mantan Sekum PWI dan mantan anggota Dewan Pers yang punya gagasan sama untuk lebih memajukan PWI. Kemudian ada Pak Zulmansyah, Ketum PWI Riau. Inilah calon fenomenal, karena menjadi pioner orang daerah yang berani maju menjadi calon pemimpin PWI.
Ketegangan langsung meningkat saat memasuki pemungutan suara. Saat para ketua provinsi bergiliran menyalurkan suaranya di bilik suara, rasa berdebar-debar mulai muncul, menduga-duga nama siapa yang mereka tulis di kertas suara tersebut. Apalagi, ketika para saksi dan pimpinan sidang mencocokkan jumlah kertas suara yang sudah ditulis oleh para ketua provinsi, ternyata pada hitungan awal ada selisih 1 kertas. Dari 88 hak suara, kertas suara yang ada hanya 87. Peserta pun mulai bergemuruh mempertanyakan. Barulah ketika dihitung ulang, ada kecocokan antara jumlah kertas suara dengan hak suara yang ada. Peserta dan peninjau pun lega, emosi jiwa terkendali lagi.
Perasaan mendebarkan muncul kembali saat dilakukan penghitungan suara. Terjadi susul-menyusul dua nama calon di papan hitungan. Perolehan suara begitu ketat antara calon petahana, Pak Atal Sembiring Depari dan Pak Hendry Ch Bangun. Keduanya saling bergantian memimpin perolehan suara. Jarak keduanya sangat ketat hanya satu sampai tiga suara. Pada akhirnya diakhiri dengan keunggulan Pak Atal dengan 40 suara. Sedangkan Pak Hendry dengan 39 suara, atau selisih 1 suara saja. Adapun Pak Zulmansyah memperoleh 9 suara.
Karena tidak ada yang bisa mencapai 50 persen + 1, maka pemilihan dilakukan dengan putaran kedua. Pimpinan sidang menskors persidangan untuk persiapan pemungutan suara putaran kedua. Skorsing waktu ini dimanfaatkan oleh peserta dan peninjau maupun penggembira yang hadir untuk menghela nafas sejenak setelah disuguhi salip-salipan suara. Kabarnya -kata suami saya-, grup-grup WhatsApp PWI juga banyak yang memantau situasi di El Royale.
Pimpinan sidang mencabut skorsing waktu. Mulai lagi situasi mendebarkan karena proses pemilihan belum usai. Para ketua PWI kembali maju bergiliran untuk menyuarakan aspirasi menulis nama calon yang dipilih di bilik suara. Pada putaran kedua, terjadi persaingan yang lebih sengit dan makin mendebarkan. Perolehan suara kembali susul-menyusul. Suasana diwarnai teriakan dari pendukung masing-masing. Selisih juga hanya 2-3 suara. Salip menyalip suara seperti balapan Valentino Rossi dengan Marc Marquez di ajang MotoGP. Pak Atal dan Pak Hendry gantian memimpin perolehan suara. Barulah di sisa-sisa suara terakhir, Pak Hendry melaju lebih dulu.
Di akhir penghitungan suara, ternyata Pak Hendry gantian yang unggul dengan 47 suara. Pak Atal mendapat 41 suara. Dengan demikian, Pak Hendry sah terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat. Suasana riuh menyambut kemenangan Pak Hendry. Tensi ketegangan pun menurun. Apalagi saat kedua orang tokoh PWI itu saling bersalaman dan berangkulan.
Saya yakin, ini bukan soal kalah dan menang. Ini hanyalah prosedur organisasi yang harus dijalankan sesuai amanah anggota. Karena kalau bicara menang dan kalah, masing-masing sudah saling berbagi. Di Kongres Solo yang begitu meriah saat itu, Pak Hendry merelakan berbagi kemenangan untuk Pak Atal, sekarang di Kongres Bandung giliran Pak Atal rela berbagi kemenangan untuk Pak Hendry.
Itulah indahnya PWI, saling berbagi untuk tujuan yang sama. Karena ini tentang bersama-sama membangun PWI ke depan. Saya terharu menyaksikan kedua orang andalan di PWI itu saling berjabat tangan dan berangkulan. Pak Atal justru yang lebih dulu mengajak Pak Hendry bersalaman. Para peserta pun juga tampak saling berjabat tangan. Senyuman tersungging di bibir, seakan ingin mengatakan bahwa perjuangan masih panjang untuk terus menjadikan PWI sebagai rumah bersama untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalitas kinerja wartawan.
Drama Korea di El royale pun berakhir menjelang subuh. Penonton bubar bersiap pulang ke daerah masing-masing untuk menyambut PWI esok yang masih banyak tantangan dan pekerjaan.
Selamat Pak Hendry. Terima kasih Pak Atal.
—*Penulis adalah Ketua IKWI Surakarta–