Beranda Umum Opini NEPOTISME…

NEPOTISME…

Verdy Bagus Hendratmoko. dok

 

Catatan : Verdy Bagus Hendratmoko*

Ini pengalaman pribadi. Bukan bermaksud riya atau sombong, tapi sekadar berbagi kisah. Dimaknai untuk menginspirasi syukur, tidak pun tak masalah. Sekali lagi, ini cuma berbagi kisah.

Saat itu, posisi saya manajer umum di sebuah klub sepakbola. Suatu ketika, klub memakai jasa pelatih asing yang belum bisa berbahasa Indonesia. Manajemen klub pun kelabakan harus mencari tenaga penerjemah (translator). Dalam waktu singkat, karena kompetisi sudah di depan mata.

Saya lantas ingat anak saya yang baru masuk kuliah di Sastra Inggris Undip Semarang. Alhamdulillah, anak saya sempat bersekolah level SMA di Melbourne. Dia juga hobi sepakbola.

Singkat cerita, anak saya dengan senang hati cuti kuliah dan mulai menjalani pekerjaan pertama dalam hidupnya sebagai pendamping pelatih klub sepakbola kasta tertinggi sepakbola di Indonesia.

Alhamdulillah, sang pelatih dan juga para pemain asing di klub merasa cocok dan puas dengan kinerja anak saya. Sampai-sampai, anak saya lebih sering menjalani hari-harinya bersama sang pelatih dan keluarganya.

Saat mendekati masa kompetisi, manajemen klub menyiapkan kontrak untuk semua personel tim. Karena bukan bidang saya, maka saya pun bersikap “tidak ikut cawe-cawe”.

Tiba giliran kontrak untuk ofisial tim, ada seorang pimpinan manajemen perusahaan (bukan manajemen klub) menanyakan status calon translator tim.

 

“Oh… jadi dia anak Bapak ya? Kok nggak ngomong dulu sebelumnya…” Begitulah ucapan sang pimpinan ke saya lewat telepon.

Saya segera tanggap ke mana arah pembicaraan itu.

 

Selesai pembicaraan, saya langsung telepon anak saya. “Dek, kamu nggak jadi dikontrak. Sekarang kamu pulang ke rumah, kemasi barang-barangmu, besok kamu kembali kuliah. Batalkan pengajuan cuti kuliahnya..”

Anak saya kaget bukan kepalang. Marah, kecewa, sedih… Pasti lah, karena dia sudah terlanjur menyukai pekerjaan barunya. “Kok bisa begitu? Keputusan siapa? Apa Coach dan pemain sudah dikasih tahu?”

Anak saya penasaran dan mencoba bertanya.

Anda tentu bisa bayangkan bagaimana suasana batin anak saya saat itu. Dengan menahan sesak di dada. Lidah pun terasa kelu, terbata-bata saya memberi jawaban.

 

“Itu keputusan Papah. Apa alasannya? Alasannya karena kamu anak Papah. Jelas???”

 

Alhamdulillah Allah memberi saya anak yang luar biasa. Meski kecewa, sedih, geram juga pasti, anak saya tetap patuh dan hari itu juga dia terbang ke Semarang, melanjutkan kuliahnya yang sempat terjeda beberapa bulan.

Keesokan harinya, saya pun panen protes dan pertanyaan dari para pemain asing, terutama tentu dari sang pelatih. Bahkan pelatih ngotot ingin bicara langsung dengan pemilik klub, agar anak saya dipermanenkan jadi penerjemah tim.

 

“Apa alasan Anda tidak mengontrak dia?” cecar si pelatih dengan nada tinggi.

 

Lagi-lagi, dada saya tiba-tiba terasa sesak…lidah kembali kelu tercekat.. “Maaf, saya putuskan tidak pakai jasa dia karena dia anak saya.. Manajemen memang belum memutuskan, tapi itulah sikap saya. Sekali lagi mohon maaf dan mohon agar bisa dimengerti,” jawab saya ke si pelatih.

Walau di awal sempat terjadi adu argumen dan perdebatan, si pelatih akhirnya ikhlas melepas anak saya. Disertai doa dan harapan agar anak saya sukses studi dan karirnya.

Waktu pun kemudian bergulir seiring berputarnya roda kehidupan. Anak saya lulus kuliah, dan alhamdulillah tak lama setelah diwisuda, dia lolos seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS).

Maha Besar Allah dengan semua keagungannya. Allah tahu anak saya pernah dikecewakan oleh ayahnya, tetapi itu bukan atas dasar sesuatu hal ataupun niatan yang buruk, karenanya Allah membalas anak saya dengan hal yang jauh lebih baik (insya Allah).

Terima kasih ya Allah atas semua pertolongan dan kemurahan hati-Mu…(*)

 

—*Penulis adalah wartawan senior–