Beranda Umum Nasional PKS Buka Opsi Pamakzulan Jokowi, Aturannya Harus Didahului Putusan MK. Mungkinkah?

PKS Buka Opsi Pamakzulan Jokowi, Aturannya Harus Didahului Putusan MK. Mungkinkah?

opsi pemakzuan untuk Presiden Jokowi
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno (kanan) dan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (kiri) saat menyampaikan paparan pada kunjungan kerja di Balai Desa Batubulan, Gianyar, Bali, Selasa (31/10/2023) | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Presiden Joko Widodo dibayang-bayangi ancaman pamakzulan terkait dengan tuduhan ikut campur dalam Pilpres 2024.

Wacana pemakzulan tersebut dilontarkan pertama kali oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera.

“Kalau jadi dan faktanya verified, pemakzulan bisa menjadi salah satu opsi,” kata Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (31/10/2023).

Lalu, bagaimana sebenarnya pemakzulan presiden dalam undang-undang?

Pemakzulan bisa didefinisikan sebagai proses, cara, atau perbuatan untuk memakzulkan seseorang dari jabatannya, memberhentikan dari jabatan, atau meletakkan jabatannya (sendiri) sebagai pemimpin.

Pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden telah diatur dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pasal tersebut berbunyi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Baca Juga :  Fakta Baru: Ternyata AKP Dadang Juga Berondong Rumah Kapolres usai Tembak Mati AKP Ryanto Ulil!

Proses pemakzulan juga harus selalu mematuhi konstitusi sebagai manifestasi dari prinsip negara berdasarkan kedaulatan rakyat, yang dijalankan sesuai dengan UUD 1945.

Menurut UUD 1945, langkah pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dimulai dengan pengajuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Sebelum pengajuan formal kepada MPR, DPR sebagai pemegang posisi hukum harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebelum tahapan-tahapan tersebut dijalankan, DPR memanfaatkan hak angket sebagai upaya penyelidikan terhadap kebijakan yang diambil oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Setelah itu, langkah selanjutnya adalah penggunaan hak menyatakan pendapat sebagai cara untuk membawa kasus Presiden dan/atau Wakil Presiden ke MK.

Apabila permohonan dari DPR yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden telah berhasil diajukan ke MK, dan MK memutuskan bahwa terdapat pelanggaran berdasarkan Pasal 7A UUD 1945, pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak otomatis terjadi setelah Putusan MK dibacakan.

Baca Juga :  Perempuan Tak Terwakili di Unsur Pimpinan KPK, Alexander: Kalau Mau Lewat Kampanye Antikorupsi Saja

Proses berikutnya melibatkan sidang paripurna MPR. Keputusan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dihadiri oleh minimal 3/4 dari total anggota MPR dan memerlukan persetujuan dari setidaknya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir.

Pertanyaannya, jika Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) adalah adik ipar dari presiden, apakah netralitas mungkin terjadi?

www.tempo.co