Beranda Daerah Boyolali Antisipasi Nikah Dini di Kawasan Lereng Merapi, Ini yang Dilakukan Lakpesdam PCNU...

Antisipasi Nikah Dini di Kawasan Lereng Merapi, Ini yang Dilakukan Lakpesdam PCNU Boyolali

Lakpesdam PCNU Boyolali mengadakan Edukasi Pencegahan Nikah Dini bagi remaja. Kegiatan pada Selasa (26/12/2023) ini diikuti 35 orang dari perwakilan dukuh dan pengurus sekolah lapang Desa Inklusi. Waskita

BOYOLALI, JOGLOSEMARNEWS.COM — Bertempat di Balai Desa Kembangsari, Kecamatan Musuk, Lakpesdam PCNU Boyolali mengadakan Edukasi Pencegahan Nikah Dini bagi remaja. Kegiatan pada Selasa (26/12/2023) ini diikuti 35 orang dari perwakilan dukuh dan pengurus sekolah lapang Desa Inklusi.

Menurut Ismail Alhabib mewakili Tim Tehnis P3PD Lakpesdam PCNU Boyolali, bahwa berdasar data PUSKAPA (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak) UI tahun 2018, menunjukkan bahwa 1 dari 9 anak perempuan menikah dini di Indonesia.

“Perempuan yang menikah sebelum berusia 18 tahun mencapai sekitar 1.220.900 dan angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia” kata Ismail.

Nur Fauziah selaku narasumber dari Fatayat NU Boyolali menjelaskan bahwa di Boyolali, permintaan dispensasi nikah anak masih cukup tinggi yaitu 195 perkara di tahun 2023, 199 perkara tahun 2022 dan 346 di tahun 2021.
“Factor yang mengakibatkan perkawinan anak antara lain faktor kemiskinan, geografis, kurangnya akses terhadap pendidikan, ketidaksetaraan gender”.

Ditambahkan, kejadian bencana termasuk Covid 19 juga berkontribusi karena perubahan pola hidup. Termasuk ketiadaan akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif, norma sosial yang menguatkan stereotipe gender tertentu (misalnya, perempuan seharusnya menikah muda), dan budaya (interpretasi agama dan tradisi lokal).

“Kesalahan dalam memilih teman dan lingkungan banyak juga menjadi factor terjadinya kehamilan pra nikah,” katanya.

Implikasi perkawinan anak menjadi sangat kompleks. Paling tidak ada 5 tantangan nyata terhadap kelangsungan generasi bangsa. Pertama, potensi kegagalan melanjutkan pendidikan. Kedua, potensi meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.

“Studi menyatakan bahwa 24% kasus perceraian terjadi pada perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun,” katanya

Ketiga, potensi meningkatnya angka kematian ibu. Komplikasi saat kehamilan dan melahirkan merupakan penyebab kematian terbesar kedua bagi anak perempuan berusia 15-19 tahun, serta rentan mengalami kerusakan organ reproduksi.

Yang keempat adalah potensi meningkatnya kematian bayi (AKB). Bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari atau 1,5 kali lebih besar dibanding jika dilahirkan oleh ibu berusia 20-30 tahun.

“Kelima, potensi kerugian ekonomi. Perkawinan anak diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya 1,7% dari pendapatan domestik bruto (PDB),” katanya.

Sementara Silvi, seorang peserta dari kelompok SMA dari Dukuh Gatak Kembangsari, menceritakan bahwa beberapa temannya sudah menikah karena kehamilan pra nikah. Untuk itu, dia mengusulkan edukasi semacam ini bisa menyentuh kelompok siswa SMP.

“Ya, karena kelompok ini belum banyak pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, masih kurang wawasan. Juga masa yang rentan untuk coba-coba berhubungan dengan temannya laki-laki,” katanya. Waskita