Beranda Umum Nasional Tak Hanya Sivitas Perguruan Tinggi di Indonesia, Mahasiswa ANU di Australia Pun...

Tak Hanya Sivitas Perguruan Tinggi di Indonesia, Mahasiswa ANU di Australia Pun Kritik Jokowi Soal Netralitas di Pemilu 2024

Presidisium Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid (kiri) berbicara dalam diskusi bertajuk "Negara Darurat Hoax" di gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Selasa (16/10/2018). Mafindo menyatakan hoax makin meningkat setiap tahun. Mafindo mencatat, pada rentang Juli-September 2018, terverifikasi 230 kabar hoax di media sosial. Sebanyak 58,7 persen di antaranya bermuatan politik | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEW.COM – Manuver presiden Jokowi yang terkesan tidak netral menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 ternyata tak hanya menjadi keprihatinan bagi sivitas perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Memandang manuver presiden yang “memalukan” itu, Forum Komunikasi Mahasiswa Australian National University (ANU) pun ikut menyuarakan kritiknya terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Mereka mengkritik netralitas pejabat dan aparat penegak hukum pada Pemilu 2024.

Pernyataan yang mereka sebut sebagai Maklumat Canberra itu  disampaikan oleh Anita Wahid, mahasiswi Phd Scholar di Australian National University.

“Menjelang hari Pemilihan Umum atau Pemilu 2024, masyarakat menyaksikan elite mempertontonkan keberpihakan politik tanpa merasa malu dan tersandera sebagai kepanjangan tangan agenda politik elektoral,” kata Anita melalui tayangan daring pada Kamis (8/2/2024).

Anita mengatakan, etika pejabat dan penyelenggara negara menjadi barang langka dari tingkat pimpinan tertinggi di pusat sampai tingkat terbawah di daerah.

Mandat penyelenggara negara untuk melayani yang papa serta terpinggirkan menjadi cacat dengan menjadikan kelompok yang seharusnya menjadi prioritas dalam pembangunan menjadi sebatas deret ukur belaka dalam preferensi survei Pemilu.

“Sejarah akan mencatat era di mana paslon melanggar etika dengan pengerahan anggaran serta sumber daya demi meraih kemenangan politik dinasti. Dampaknya panjang dan menciderai ingatan kolektif kita sebagai bangsa,” kata Anita.

Putri Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu mengatakan, seolah kita tak cukup melihat elite menghisap laut, menguras bumi dan mengotori langit.

“Akal sehat kita semua terhina dengan penjungkirbalikan logika penyelenggaraan negara demi kontestasi elektoral ini sehingga harus mendapat perlawanan dari segenap elemen masyarakat,” lanjutnya

Pembacaan maklumat ini kemudian dilanjutkan oleh Riandy Laksono, mahasiswa Phd Scholar, Crawford School of Public Policy. Ia mengatakan Pemilu sebagai proses demokratis yang seharusnya sebagai kontestasi rutin tempat gagasan bertarung, gagal menjadi pengalaman kolektif bangsa dalam berdemokrasi. Pemilu 2024 jadi terjebak sekadar melanjutkan status quo belaka.

Baca Juga :  HUT ke-52, Megawati Tantang Polri  untuk Berani Bela Kepentingan Masyarakat, Bukan Segelintir Orang

“Padahal, Indonesia yang terdiri dari berbagai lapisan, kelas sosial serta kelompok minoritas telah melewati banyak peristiwa yang menjadikan kita semua berbagi sejarah sebagai satu bangsa. Pemilu adalah salah satu ajang di mana semua pengalaman tersebut terakumulasi menjadi satu dan para kandidat berkontes siapa yang mampu mendapat amanah dari kita sebagai pemilih.”

Namun di Pemilu 2024 ini, Riandy mengatakan, sebagai pemilih, masyarakat melihat pengalaman sebagai bangsa tersebut tidak dihargai dan diinjak-injak dari keberpihakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan sebagian pejabat serta aparatur sipil negara pada paslon tertentu. Ditambah lagi, Presiden dengan sengaja mengutip Pasal 299 Ayat 1 Undang-Undang Pemilihan Umum untuk membenarkan keberpihakannya dan dengan sengaja meninggalkan bagian lain terkait syarat-syarat dibolehkannya Presiden untuk berkampanye.

“Hal ini menunjukkan betapa mudahnya undang-undang dipelintir untuk kepentingan elektoral sepihak oleh pemimpin negara tanpa mempertimbangkan etika. Sebagai mahasiswa rantau di negeri orang, kami merasa lebih dekat pada apa yang terjadi di Tanah Air,” katanya.

Riandy mengatakan, dari desakan para guru-guru besar dan civitas akademika almamater dari berbagai kampus di Indonesia semakin meyakinkan bahwa Indonesia jauh dari baik-baik saja. Sebagai mahasiswa, Riandy memiliki ruang kebebasan berekspresi dan berserikat dalam kerangka akademik yang mendorong untuk berada dalam garis yang sama.

“Dengan mereka yang memberi peringatan pada penyelenggara negara untuk kembali menjadi teladan mendesak dengan mengembalikan Pemilu sebagai pesta rakyat demi perubahan yang lebih baik, bukan kendaraan keberlanjutan garis keturunan sebagai penguasa,” katanya.

Baca Juga :  Mendikdasmen Lantik 10 Pejabat Eselon I, Tegaskan Nilai SANTUN

Riandy mengatakan, ia sadar bahwa demokrasi bukanlah anugerah, melainkan hasil dari ikhtiar bersama yang harus direbut, sebagaimana teladan yang diupayakan oleh bapak ibu bangsa kita pada 1945.

Untuk itu, Riandy mengatakan Forum Komunikasi Mahasiswa Australian National University (ANU) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas mendesak agar :

 

  1. Presiden Joko Widodo beserta segenap jajaran mengembalikan martabat penyelenggaraan negara dengan berbasis etika;

 

  1. Pemerintah untuk tidak menyalahgunakan wewenang, sumberdaya, dan lembaga negara untuk upaya pemenangan salah satu paslon tertentu dalam Pemilu 2024;

 

  1. Penyelenggara negara dan aparat keamanan menjaga netralitas dan secara aktif menjamin ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai prasyarat demokrasi;

 

  1. Masyarakat secara luas saling jaga dari segala bentuk upaya yang berusaha menciderai upaya gotong royong dang bersolidaritas yang selama ini daya rekat utama kita sebagai bangsa.

    www.tempo.co