Pada jaman dahulu kala, putra Kangjeng Raden Aryo Mangkunagara Kartasura yang bernama Raden Mas (RM) Said hidup sangat menderita. Penderitaan itu dirasakan RM Said terutama sejak ayahnya diasingkan ke tanah pembuangan oleh raja di Kraton Kartasura, yakni Sinuhun Paku Buwono II karena dianggapnya bersalah.
Kehidupan RM Said sangat menderita sejak ditinggalkan ayahnya, dan jauh dari kehidupan selayaknya seorang keturunan bangsawan. Setiap hari RM Said lebih banyak bergaul dengan para pelayan istana ataupun dengan perawat kuda. Bahkan, untuk makan minum dan tidur pun dilakukan di kandang kuda.
Di antara teman-teman pergaulannya, RM Said memiliki seorang sahabat, namanya Sutawijaya. Dia adalah anak dari mendiang Raden Tumenggung Wirasuta. Sutawijaya diam-diam sangat kecewa terhadap sang raja, karena tidak diperkenankan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai bupati. Dengan Sutawijaya, RM Said merasa mendapat seorang teman yang senasib.
Lantaran merasa sakit hati atas sikap Sang Raja dan kasihan melihat penderitaan RM Said yang demikian berat, pada suatu hari Sutawijaya mengeluarkan isi hatinya kepada RM Said.
“Daripada Raden Mas hidup dihinakan seperti ini, bagaimana seandainya kita keluar dari Kraton, dan hidup dalam kebebasan?” ujar Sutawijaya kepada sahabatnya.
RM Said termenung oleh perkataan sahabatnya itu. Setelah ditimbang-timbang, apa yang dikatakan Sutawijaya itu memang ada benarnya. Ibaratnya, sebagus-bagusnya dan secantik-cantiknya sebuah sangkar, namun itu tetaplah belenggu yang menyiksa seekor burung. Orang lain mungkin melihat dirinya hidup dalam kemewahan Kraton Kartasura. Namun sebetulnya tidak. Karena hidupnya bahkan seperti seorang budak saja. [Bersambung]
Catatan: Cerita ini merupakan pengembangan dari perbincangan dengan juru kunci Sendang Siwani