Cerita sebelumnya:
Kerbau yang kalah bertarung akhirnya minum air di Sendang, dan setelah itu berangsur-angsur semangat dan kekuatannya pulih kembali. Dengan kekuatan penuh, kerbau itu memburu kerbau yang tadi menjadid lawannya.
KERBAU itu lari kencang, dengan nafas mendengus-dengus, menerjang lebatnya gerumbul perdu dan tanaman liar. Tepat di depan kerbau yang tadi menjadi lawananya, kerbau itu berhenti. Kerbau yang penuh luka itu merundukkan kepala dan mendengus dengan garang. Sementara kerbau yang semula menjadi lawannya itu juga sudah bersiaga. Lalu terjadilah pertarungan kembali. Pertarungan kedua itu terjadi lebih hebat dari pertarungan pertama.
Lama kelamaan, kerbau yang habis minum air sendang itu tampak lebih unggul. Dalam satu kesempatan, tanduknya sempat melukai mata lawan. Keadaan pun berbalik. Kepala kerbau yang sebelumnya menang itu akhirnya penuh dengan luka-luka dan segera melarikan diri entah ke mana.
RM Said tertegun menyaksikan kejadian itu. Ia merasakan, peristiwa itu sebagai sasmita dari samadi yang dia lakukan di dekat sendang tersebut. Beberapa hari kemudian, peristiwa yang sama terulang lagi, di mana kerbau yang kalah, setelah minum air sendang tersebut akhirnya memenangkan pertarungan.
RM Said berpikir bahwa air sendang tersebut memiliki daya yang bisa memberi kekuatan bagi siapapun yang meminumnya. Air sendang itu rupanya merupakan jawaban atas samadi yang dia lakukan dengan setia, dan kerbau berik itu adalah sasmita. Maka, pada suatu hari ketika RM Said usai bersamadi, dia turun dari batu, lalu melangkah ke tepi sendang. Kali ini, dia hendak membuktikan khasiat air sendang tersebut.
Ia pun berjongkok, lalu menangkupkan kedua telapak tangannya ke dalam air, lalu menuangkannya ke mulutnya. Air sendang tersebut dingin di lidah namun tidak berasa. Anehnya, air sendang itu tak hanya menyegarkan tenggorokannya, namun terasa memenuhi seluruh urat nadi, membuat tubuhnya mengencang seperti dipenuhi oleh kekuatan dan ruh keberanian. RM Said berdiri dan melangkahkan kakinya dari tempat itu dengan sangat ringan, seringan kapas.
RM Said merasa takjub. Air sendang yang baru saja diminum itu sungguh berbeda dari air manapun yang pernah diminumnya selama ia mengembara. Baru kali ini RM Said merasa mendapatkan sebuah petunjuk wadag yang jelas melalui air sendang tersebut.
*****
Semakin hari, keterampilan berperang warga Dusun Nglaroh semakin meningkat. Mulai dari keterampilan menunggang kuda, melempar dan menggunakan tombak, memainkan senjata pedang maupun berkelahi dengan tangan kosong, semuanya telah dianggap mencukupi untuk berperang melawan musuh.
Mempertimbangkan kesiapan seluruh warga Nglaroh itu, maka pada suatu malam RM Said, Kyai Ngabei Kudanawarsa dan Kyai Ngabei Rangga Panambangan berunding.
“Tampaknya, kemampuan berperang warga Nglaroh ini sudah tidak meragukan lagi,” desis Kyai Rangga Panambangan.
“Benar apa yang dikatakan Ki Rangga, Kyai. Saya mengamati dan merasakan sendiri dari hari ke hari, memang demikian keadaannya,” sahut RM Said.
“Kalian berdua benar, anak Mas. Saya yang lahir dan menjadi tua di dusun ini, merasa lebih heran. Warga yang setiap hari hanya memegang cangkul di sawah, sekarang terampil memainkan berbagai macam senjata. Ini adalah pengalaman baru bagi mereka, anak Mas,” jawab Kyai Ngabehi Kudanawarsa panjang lebar.
“Rupanya, melihat kesiapan warga Nglaroh ini, sudah saatnya kita menyerbu Kraton Kartasura. Bagaimana pandangan Kyai Kudanawarsa?” tanya RM Said.
“Betul anak Mas. Seluruh warga sudah memiliki keterampilan berperang yang mumpuni. Sekarang masalahnya, bagaimana memompa keberanian mereka, karena perang adalah pengalaman pertama bagi mereka. Anak Mas tahu, selama hidup, mereka hanya tahu, musuh yang mereka hadapi tak lebih dari wereng dan tikus. Tapi kali ini, mereka harus berhadapan dengan para prajurit yang sesungguhnya,” sahut Kyai Ngabehi Kudanawarsa.
“Iya, benar Kyai, saya mengerti,” ujar RM Said lirih.
“Saya dengar kabar, Sunan Kuning juga mau memberontak,” tukas Kyai Ngabei Rangga Panambangan menyela.
“Yah itulah, justru itu saya usul, mengingat warga Nglaroh ini belum punya mental dan pengalaman bertempur, sebagai langkah awal kita bergabung dulu dengan pasukan Sunan Kuning. Sekaligus untuk menguji, seberapa kuat pasungan Nglaroh ini. Suatu ketika, saat pasukan kita Sudah benar-benar pilih tanding, kita bisa mandiri,” ujar Kyai Ngabei Kudanawarsa.
RM Said mengangguk-angguk. Usul Kyai Ngabei Kudanawarsa itu sungguh masuk akal. Ia sadar, berperang tidak hanya mengandalkan kekuatan, namun juga strategi dan akal.
“Tapi kita harus mengirimkan utusan dulu ke Sunan Kuning,” sahut Ki Rangga Panambangan.
“Betul anak Mas. Utusan sangat penting untuk mengutarakan maksud kedatangan kita, agar tidak terjadi salah paham dari Sunan Kuning,” ujar Kyai Kudanawarsa. Suhamdani
Bersambung
Cerita fiksi ini terinspirasi dari perbincangan dengan Juru Kunci Sendang Siwani dan diperkaya dengan Babad Panambangan