Beranda Daerah Solo Ini Riwayat Singkat Tugu Lilin Pajang dan Tugu Lilin Penumping di Solo

Ini Riwayat Singkat Tugu Lilin Pajang dan Tugu Lilin Penumping di Solo

Tugu Lilin Pajang
Inilah pertigaan Tugu Lilin Pajang sekarang. Di sinilah dulu tugu lilin itu berdiri (anak panah hijau), sebelum akhirnya ditabrak truk dan kemudian dihilangkan. Sementara itu, sampai sekarang bongkahan tugu lilin masih teronggok di sebelah timur jalan (lingkaran hijau) | Foto: Suhamdani

SOLO, JOGLOSEMARNWES.COM – Solo punya Tugu Lilin Pajang dan Tugu Lilin Penumping, yang sama-sama memiliki nilai sejarah. Namun, jika seseorang mencugapkan kata Tugu Lilin, entah bagaimana, secara spontan dan tak sengaja akan berlanjut dengan kata Pajang, yakni Tugu Lilin Pajang.

Seolah-olah, kata Tugu Lilin Pajang menjadi sebuah kesatuan kata yang tak bisa dipisahkan. Orang pun ketika mengucapkan kata Tugu Lilin, frame yang terbentuk di kepalanya adalah Tugu Lilin Pajang.

Padahal, sejatinya di Kota Solo terdapat dua buah tugu lilin. Selain Tugu Lilin Pajang, ada pula Tugu Lilin Penumping.

Kedua tugu lilin itu, baik Tugu Lilin Pajang maupun Tugu Lilin Penumping, sama-sama memiliki kisah sejarah yang berbeda. Namun kenyataannya nama Tugu Lilin Pajang lebih populer di tengah masyarakat.

Mengapa Tugu Lilin Pajang lebih populer dibanding Tugu Lilin Penumping? Bisa jadi, karena posisi Tugu Lilin Pajang yang berada di tengah pertigaan, menjadi batas sekaligus penjuru arah.

 

Tugu Lilin Pajang

Letak Tugu Lilin Pajang memang dibilang lebih strategis ketimbang Tugu Lilin Penumping. Sayangnya, saat ini Tugu Lilin Pajang sudah tak dapat terlihat lantaran hancur ditabrak truk.

Sayangnya, usai kejadian itu, tugu Lilin Pajang tidak dikembalikan seperti semula. Tugu lilin itu malah dihilangkan, rata dengan tanah dan kini diaspal.

Bongkahan tugu lilin yang patah menjadi beberapa bagian, masih bisa disaksikan teronggok di sebelah timur jalan, tepi trotoar.

Tugu Lilin Pajang terletak di Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, tepatnya di persimpangan tiga jalan, yakni Jalan Joko Tingkir, Jalan Dr Radjiman, dan Jalan Slamet Riyadi.

Konon kisahnya, Tugu Lilin Pajang sudah ada sejak zaman Keraton Pajang berdiri. Namun, mulanya tidak berbentuk lilin, melainkan hanya sebuah patok kayu yang berfungsi sebagai penunjuk arah.

Awalnya, Tugu Lilin Pajang merupakan pintu masuk ke Keraton Pajang, dan di titik itu merupakan sudut barat dari batas ibu kota Surakarta. Tugu itu sering dipakai sebagai penanda karena tempatnya yang strategis.

Baca Juga :  Diprotes Gegara Non Halal, Festival Kuliner Cap Go Meh di Solo Paragon Nekat Jalan

Tugu Lilin Pajang memang lebih dikenal oleh warga Solo karena fungsinya sebagai petunjuk arah dan letaknya yang strategis. Tepat di tengah persimpangan tiga jalan sehingga lebih menarik perhatian masyarakat, ditambahkan bentuknya yang seperti lilin.

 

Tugu Lilin Penumping

Lain Tugu Lilin Pajang, lain pula dengan Tugu Lilin Penumping. Awal mulanya, Tugu ini dibangun dengan tujuan yaitu untuk memperingati 25 tahun lahirnya hari kebangkitan nasional.

Ini adalah penampakan Tugu Lilin Penumping, dibangun pada tahun 1933, proses pembangunan Tugu Kebangkitan Nasional ini pernah ditolak oleh Pemerintah Belanda | Foto: Suhamdani

Penghitungan itu dimulai sejak berdirinya perkumpulan Budi Utomo yang diselenggarakan pada tanggal 20 mei 1908 silam tepat pada pukul 09.00 pagi di salah satu ruang di Jakarta yaitu, STOVIA.

Adapun sejak 1928, Budi Utomo resmi menjadi bagian dari PPPKI, sebuah federasi perkumpulan pergerakan politik yang diprakarsai oleh PNI dibawah pimpinan Soekarno.

Ceritanya, pada bulan April 1933 PPKI mengadakan rapat di Kota Surakarta. Pada rapat tersebut dikemukakan sebuah gagasan dengan kesepakatan untuk mendirikan sebuah tugu yang digunakan untuk memperingati ke 25 tahun Kebangkitan Nasional di Kota Solo.

Menantu Pakubuwana X, yakni KRT Woerjaningrat yang saat itu merupakan ketua Boedi Oetomo mendapatkan tugas untuk membangun sebuah monumen bersejarah dalam pergerakan tersebut.

Komite Tugu Kebangsaan pun segera dibentuk dengan tujuh orang anggota dan diketuai oleh Mr. Singgih.

Pada akhirnya, monumen itu dikenal dengan sebutan Tugu Lilin, karena memiliki bentuk yang mirip seperti lilin dengan api yang menyala di bagian puncaknya.

Gambaran api di puncak menjadi sebuah simbol penerang dari sebuah harapan. Yakni harapan para pejuang dizaman dahulu yang berjuang mati-matian demi mencapai hari kemerdekaan Indonesia.

Konsep bangunan Tugu Lilin itu awalnya ditawarkan oleh Ir. Soetedjo. Konsep tersebut dianggap mampu memenuhi cita-cita kebangsaan dan mudah dimengerti masyarakat secara umum.

Baca Juga :  RS “JIH” Solo Hadirkan Healthy Cafe and Catering, Solusi Makanan Sehat untuk Masyarakat Solo Raya

Pasalnya, bentuk tugu yang ditawarkan menggambarkan kekuatan, sedangkan lilin mempunyai arti penerang jalan.

Pembangunan Tugu Lilin Penumping itu sebenarnya melalui proses berliku dan mengalami pertentangan dengan pemerintah Belanda.

Sekalipun sudah mendapatkan izin dari Pakubuwono X pada akhir November 1933, namun dalam prosesnya, pembangunan Tugu Lilin itu  ternyata memiliki banyak hambatan.

Pasalnya, pemerintahan Hindia Belanda sempat menolak pembangunan tugu tersebut karena dianggap sebagai simbol pemberontakan.

Bahkan, Pakubuwono X sempat dipanggil Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang saat itu dipimpin oleh Bonifacius Cornelis de Jonge karena mendukung pendirian tugu tersebut.

Pembangunan Tugu Meskipun akhirnya telah mendapatkan izin pendirian tugu, tapi setelah tugu tersebut selesai dibangun kembali mendapatkan reaksi keras dari Pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda saat itu menolak pemberian nama tugu tersebut sebagai Tugu Peringatan Pergerakan Kebangsaan 1908-1933.

Karena nama tugu tersebut, bahkan Pemerintah Hindia Belanda mengancam akan membongkarnya. Tapi setelah mediasi kembali dilakukan antara Pakubuwono X dengan Pemerintah Hindia Belanda kala itu, akhirnya tugu tersebut tetap berdiri hingga sekarang dengan nama resminya adalah Tugu Kebangkitan Nasional. [*]

Diolah dari Wikipedia | tribunnews