Oleh: Zhafira Amajida Ade Chika Hidayat
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret
Presiden Amerika Serikat Joe Biden memutuskan kesepakatan gencatan senjata di Gaza yang didukung oleh DK PBB tanpa melakukan perundingan oleh Israel. โTerlalu banyak orang tak berdosa yang terbunuh, termasuk ribuan anak-anak. Banyak keluarga meninggalkan rumah mereka dan melihat komunitas mereka hancur termasuk rasa sakit yang mereka alami sangat besar. Hal ini adalah cara terbaik membantu warga sipil Gaza yang menderita karena perang Israel-Hamasโ, ujar Joe Biden pada saat pidato dalam moment Idul Adha (16/6/2024).
Proposal ini memiliki 3 fase, fase pertama yaitu kedua belah pihak melakukan gencatan senjata selama 6 minggu dan membebaskan sandra lansia yang terluka serta perempuan warga sipil, fase kedua berupa penarikan seluruh pasukan Israel dan pembebasan seluruh sandra serta tahanan Palestina, fase ketiga mengembalikan seluruh jenazah sandra yang telah tewas baik Humas maupun Israel.
Pada Minggu, 16 Juni 2024 Pemimpin Hamas yang berada di Qatar, Ismail Haniyeh menyambut usulan gencatan senjata secara positif yang menyebutkan bahwa Hamas dan Kelompok Palestina siap untuk kesepakatan yang komprehensif namun pihak Amerika Serikat tidak memberikan penjelasan yang rinci tentang rencana yang diajukan. Hal ini meruntuhkan respon Israel yang mengatakan bahwa Hamas menolak 3 fase utama rencana Amerika Serikat.
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Palestina pada Selasa, 11 Juni 2024 di jalur Gaza, korban tewas akibat genosida yang dilakukan Israel mencapai angka 37.000 termasuk para lansia, anak-anak, dan perempuan. Hingga Rabu, 19 Juni 2024 gaungan โAll eyes on Rafahโ juga turut serta menggema di media sosial sampai dibagikan ulang 47,4 Juta warganet di Instagram, setelah terjadinya tragedi 26 Mei 2024 atas serangan udara tujuh bom seberat 900 kg dan juga rudal ke kampung pengungsian. Akibat ini terdapat 45 korban tewas terbakar hidup-hidup. Zhafira Amajida Ade Chika Hidayat