
JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sikap Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) yang menerima konsesi tambang dari pemerintah, dinilai bertentangan dengan keputusan PBNU yang dulu pernah mengharamkan tambang.
Penilaian itu dilontarkan oleh Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA).
Oleh karena itulah, organisasi advokasi di lingkaran NU tersebut meminta para nahdliyin tak latah merayakan suka-cita PBNU yang menerima konsesi tambang dari pemerintah.
“Bisnis ini adalah bisnis kotor yang ironisnya pernah PBNU haramkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang pada 2015,” tulis FNKSDA dalam siaran persnya, Minggu (9/6/2024).
Kepada Tempo, pegiat FNKSDA Roy Murtadho menyatakan sikap ini atas nama kolektif.
“Bisa dikutip saja pandangan FNKSDA,” kata dia saat dihubungi, Minggu (9/6/2024).
Letak keharaman tambang, tulis FNKSDA, tidak terletak pada legalitas atau izin pemerintah, tetapi pada dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Bahkan jauh sebelum itu, pada Muktamar ke-29 di Cipasung pada 1994, PBNU telah menetapkan merusak lingkungan hidup hukumnya haram dan dikategorikan sebagai tindakan kriminal (jinayah).
Sikap elite PBNU, tulis FNKSDA, sudah tidak patut lagi merepresentasikan kondisi warga nahdliyin, terutama korban tambang yang selama ini ditindas oleh sistem yang sewenang-wenang. FNKSDA juga menuding PBNU sama sekali mereka tidak layak merepresentasikan kalangan cendekiawan dan aktivis nahdliyin yang selama ini menolak pertambangan.
Dalam hal izin tambang, tulis FNKSDA, nahdliyin harus tetap menjadikan produk hukum hasil bahtsul masail mendukung kelestarian lingkungan sebagai kompas moral. FNKSDA menyatakan sikap elite PBNU terhadap izin tambang tidak perlu ditaati. Sebab, tulis FNKSDA, sikap itu hanya menimbulkan kemaksiatan berupa keterlibatan mereka dalam industri tambang yang mempercepat kerusakan lingkungan.
“Kami melihat sebagai peluang, ya segera kami tangkap. Wong butuh, mau bagaimana lagi,” kata dia di Kantor PBNU, Jakarta pada 6 Juni 2024.
Dia menjelaskan lebih dari setengah penduduk Indonesia mengaku NU. Ia menyebut NU memiliki pesantren atau madrasah sekitar 30 ribu. Sehingga, untuk mengelola itu semua dibutuhkan sumber daya.
Sementara, sumber daya komunitas mereka untuk menanggung fasilitas tersebut tidak lagi mencukupi, sehingga membutuhkan pendapatan lebih.
“Pertama-tama saya katakan, NU ini butuh, apa pun yang halal, yang bisa menjadi sumber revenue untuk pembiayaan organisasi,” ujarnya.
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.













