
SUKOHARJO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Para penggurit dari berbagai kota seperti dari Solo, Ngawi, Sragen, Madiun dan lain-lain menyemarakkan malam Sukra Jenar, pembacaan gurit di Taman Budaya Suryani (TBS), Sukoharjo, Jumat (14/6/2024) malam.
Beberapa penggurit yang hadir antara lain Sang Bayang, Kasdi Kelanis dan Kanjeng Sastro Taruno. Hadir pula penggurit Jantit Jagawangsa, Pramita Putri, Bambang Jodhie, Sugiyarto B Darmawan, Sambang Dalan, Toying Harwulan. Dari Sukoharjo, hadir penggurit Dr Ucik Fuadhiyah , Dr Dewi Kusuma Dr Sawitri, Putri Paramitha dan lain-lain.
Suasana makin terasa syahdu karena pertunjukan itu berlangsung di tengah Ampi Teater terbuka yang luas dan lebar. Diterangai dengan cahaya alami bulan nan temaram, membuat suasana malam itu semakin khidmat dan syahdu.

Dari awal pertunjukan itu dimulai, ekspresi penggurit dan isi geguritan yang dibawakan memang terasa luar biasa. Garapan panggung dan pertunjukan yang bagus serta pembacaan karya oleh penggurit-penggurit kampiun terasa sangat total di jalan gurit.
Malam itu, pertunjukan tidak hanya menampilkan nama-nama penggurit yang sudah punya nama semata, melailnkan juga menyuguhkan karya-karya gurit yang bernas dan berbobot.
“Sungguh penampilan para penggurit itu tidak bisa dipandang sebelah mata,” papar penggembira sastra, Sus S Hardjono dalam rilisnya ke Joglosemarnews.
Jantit Jagawangsa, sebagai penggurit senior dari Kota Solo misalnya, menampilkan pementasan Gurit teatrikal nan apik dan ciamik. Ia tampil mengusung berbagai elemen teaterikal yang hidup dan menarik, baik ditilik dari gerak, sound dan vokal. Bahkan, boleh dikatakan Jantit menjadi Sri Panggung dan menjadi ujung tombak pementasan tersebut.
“Kemampuan dan olah panggung yang ciamik membuat semua penonton dipaksa diam dan khidmad menyaksikan aksi panggungnya,” papar Sus S Hardjono.
Di sisi lain, Paramitha Putri yang membawakan gurit kisah pertempuran Bharatayuda tampil dengan sangat elok, penuh bahasa sastra yang bermakna dan lihai bercerita tentang kisah Bharatayudha penuh dengan makna filosofis.
Ki Kanjeng Sastra Taruna tampil memukau dengan pembacaan gurit bertema keadaan sosial politiknya, sementara itu Bambang Dody menghentak dengan membawakan gurit aneh dengan gaya kocak. Dengan penguasaan panggung yang tinggi, Bambang Dody membuat penonton tersenyum-senyum sendiri atas kegetiran nasib Marsidah.
“Sebenarnya gurit yang dibacakan adalah potret atas ketimpangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat, namun dibawakan dengan segar dan komunikatif di atas panggung, membuat penonton seperti merasakan secara langsung,” papar Sus S Hardjono.
Sus Hadjono menilai, secara umum pementasan dari awal sampai akhir bukan sekadar parade baca gurit di antara beberapa penggurit saja, melainkan merupakan sebuah kesatuan kronologi pembacaan geguritan yang dapat dinikmati sebagai sebuah rangkaian kehidupan yang sesungguhnya. Suhamdani
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.














