
JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai culun sekali jika menggunakan hitungan harga tiket untuk bepergian Kaesang sebesar Rp 90 juta per orang dalam kasus dugaan gratifikasi jet pribadi.
Penilaian itu dilontarkan oleh peneliti kajian anti korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman.
“Menurut saya KPK akan culun sekali. Tidak benar seperti itu cara hitungnya, yang benar dihitung biaya sewa jet-nya,” katanya dalam wawancara yang ditayangkan di YouTube Tribunnews seperti dikutip, Kamis (19/9/2024).
Zaenur Rohman mengkritik hitung-hitungan dari Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan, yang menyebut harga tiket jet pribadi yang ditumpangi putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep, dan rombongannya senilai Rp 90 juta per orang.
Zaenur menilai seharusnya yang dihitung adalah biaya sewa jet pribadi, bukan harga tiket per penumpang.
Menurutnya, Kaesang beserta istri, Erina Gudono, kakak ipar, dan stafnya melakukan perjalanan ke Amerika Serikat (AS) dengan menggunakan jet pribadi yang diperkirakan memiliki biaya sewa sebesar Rp 8 miliar untuk satu kali penerbangan. Jika dihitung perjalanan pulang pergi, biayanya bisa mencapai Rp 16 miliar.
Zaenur mengungkapkan bahwa hitungan yang digunakan Deputi KPK, sebesar Rp 90 juta per orang dan dikalikan dengan empat orang rombongan Kaesang sehingga menjadi Rp 360 juta, tidak sesuai dengan realitas. Menurutnya, hal ini bisa mengarahkan kasus tersebut pada penyelesaian yang tidak tepat.
“Jika ini hanya dihitung berdasarkan harga tiket, tampaknya kasus ini akan ditutup begitu saja,” ujarnya.
Lebih lanjut, Zaenur menegaskan bahwa KPK tidak menunjukkan sikap tegas dalam menangani dugaan gratifikasi tersebut. Ia menilai, lembaga antirasuah itu seolah hanya akan meminta Kaesang untuk membayar tiket jet pribadi sesuai dengan hitungan Pahala Nainggolan, tanpa menyelidiki lebih dalam dugaan gratifikasi yang sebenarnya.
Zaenur juga mengingatkan bahwa KPK telah menerima dua laporan terkait dugaan gratifikasi ini. Salah satunya dilaporkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), dan yang lainnya berasal dari dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun.
Laporan itu didasari oleh rekaman video yang memperlihatkan Kaesang dan istrinya turun dari jet pribadi tanpa melalui pemeriksaan imigrasi.
Tak hanya itu, Zaenur menambahkan bahwa dugaan gratifikasi ini bukan hanya terkait dengan satu kali perjalanan Kaesang menggunakan jet pribadi, tetapi diduga ada penggunaan lain yang juga melibatkan fasilitas tersebut.
Dalam video yang beredar, terlihat Kaesang dan istrinya membawa beberapa tas bermerek, yang memperkuat dugaan bahwa ada pemberian lain yang diterima dalam perjalanan tersebut.
Zaenur menekankan bahwa jika gratifikasi ini terbukti, Kaesang bisa dijerat dengan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur bahwa gratifikasi kepada penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajibannya dapat dihukum penjara minimal empat tahun.
Pahala Nainggolan sebelumnya menyatakan bahwa jika penggunaan jet pribadi ini terbukti sebagai bentuk gratifikasi, maka Kaesang diwajibkan membayar biaya setidaknya Rp 360 juta, sesuai dengan perhitungan Rp 90 juta per tiket. Pahala juga menambahkan bahwa jika laporan tersebut tidak terbukti, maka kasus ini bisa dihentikan.
“Kalau ditetapkan bukan milik negara, ya sudah, laporannya tidak akan berkembang ke mana-mana,” kata Pahala saat memberikan keterangan di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Selasa (17/9/2024).