WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Industri tekstil nasional sedang menghadapi tantangan berat. Dalam beberapa waktu terakhir, banyak perusahaan tekstil yang terpaksa menutup operasinya atau mengurangi produksi secara signifikan.
Fenomena ini mengkhawatirkan karena tekstil merupakan salah satu sektor penting yang mendukung perekonomian dan menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang.
Beberapa faktor utama yang menjadi penyebab banyaknya perusahaan tekstil yang bangkrut adalah sebagai berikut:
1. Kenaikan Harga Bahan Baku
Kenaikan harga bahan baku seperti kapas, polyester, dan pewarna tekstil telah memberikan tekanan besar pada industri ini. Fluktuasi harga bahan baku global yang dipicu oleh gangguan rantai pasok dan kebijakan perdagangan internasional telah membuat biaya produksi meningkat tajam. Bagi banyak perusahaan, terutama yang berskala kecil dan menengah, kenaikan harga ini sulit untuk ditanggung tanpa menaikkan harga jual, yang bisa berdampak pada daya saing di pasar.
2. Persaingan Ketat dari Produk Impor
Produk tekstil impor, terutama dari negara-negara seperti China, Vietnam, dan Bangladesh, membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang lebih murah. Hal ini membuat produk lokal kesulitan bersaing, terutama dalam hal harga. Selain itu, beberapa produk impor memiliki kualitas yang lebih baik dengan harga yang lebih terjangkau, sehingga konsumen lebih memilih produk tersebut.
3. Keterbatasan Inovasi dan Teknologi
Banyak perusahaan tekstil di Indonesia masih menggunakan teknologi lama dan kurang berinovasi dalam hal desain dan kualitas produk. Ketertinggalan dalam adopsi teknologi baru membuat mereka kalah bersaing dengan perusahaan luar negeri yang lebih efisien dan inovatif dalam produksi. Rendahnya investasi dalam teknologi menyebabkan produktivitas yang rendah dan biaya operasional yang lebih tinggi.
4. Penurunan Permintaan Pasar
Pandemi COVID-19 yang berkepanjangan mengubah pola konsumsi masyarakat. Permintaan akan produk tekstil seperti pakaian formal dan tekstil rumah tangga menurun tajam. Meskipun ekonomi dikatakan mulai akan pulih, permintaan belum kembali ke level normal, membuat perusahaan tekstil sulit untuk bangkit dari keterpurukan.
5. Biaya Energi dan Ketenagakerjaan yang Tinggi
Biaya energi, seperti listrik dan gas, yang tinggi juga menjadi tantangan bagi industri tekstil. Selain itu, biaya tenaga kerja yang terus meningkat tidak sebanding dengan produktivitas yang dihasilkan. Kebijakan upah minimum yang terus naik tiap tahun semakin menambah beban perusahaan.
6. Kurangnya Dukungan Pemerintah
Banyak pelaku industri tekstil mengeluhkan minimnya dukungan dari pemerintah dalam bentuk insentif pajak atau bantuan modal. Selain itu, regulasi yang rumit dan birokrasi yang berbelit-belit dalam perizinan juga menjadi kendala bagi perusahaan untuk berkembang dan bersaing.
Bangkrutnya perusahaan-perusahaan tekstil ini membawa dampak sosial yang sangat besar, terutama berupa Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK massal. Ratusan ribu pekerja tekstil kehilangan pekerjaan mereka dalam waktu singkat, menciptakan gelombang pengangguran baru yang memperparah kondisi ekonomi keluarga. Beberapa daerah yang menjadi pusat industri tekstil, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten, mengalami lonjakan angka pengangguran yang signifikan.
PHK massal ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan para pekerja, tetapi juga berdampak pada ekonomi lokal di mana industri tekstil menjadi penggerak utama. Banyak pelaku usaha kecil yang memasok kebutuhan perusahaan tekstil, seperti penjahit, pemasok bahan baku kecil, dan jasa transportasi, juga turut terdampak.
Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memperburuk masalah sosial seperti kemiskinan, ketidakstabilan ekonomi keluarga, dan menurunnya daya beli masyarakat.
Industri tekstil Indonesia sedang dalam masa sulit akibat berbagai tekanan ekonomi dan persaingan yang semakin ketat. Untuk dapat bertahan, perusahaan tekstil perlu beradaptasi dengan perubahan pasar, berinovasi dalam produk, dan memanfaatkan teknologi modern. Dukungan pemerintah melalui kebijakan yang pro-industri dan insentif yang tepat juga sangat diperlukan agar sektor ini dapat bangkit kembali. Aris Arianto