Oleh : Khafid Sirotudin*
Saya memiliki teman karib seorang haji, yang sejak SMP gemar membaca beberapa Kitab Kejawen milik bapaknya dan mempraktekkan dalam doa dan munajat dalam bahasa Jawa.
Suwargi bapaknya adalah assabiqul awwalun salah satu Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) sebuah desa di Weleri Kendal. Salah satu doa yang selalu dia lafadzkan ketika kami pamit pulang dari bertamu ke rumahnya adalah “Bismillah mas…sluman slumun slamet”.
Dalam kehidupan pergaulan sehari-hari, kita pernah mengenal dan mendengar beberapa ungkapan : pepatah, kata mutiara, mahfudzot (Arab) dan paribasan (Jawa). Beragam ungkapan tersebut diambil dari berbagai literasi para filosof, ahli hikmah, penyair, alim ulama, pemimpin dunia, pahlawan nasional, juga sahabat Nabi.
Yang terakhir ini, saking seringnya disampaikan para khatib shalat Jumat, mubaligh, ustadz, kyai dan da’i, kadangkala dipahami sebagai hadits Nabi. Misalnya kalimat “man shabara dzafira” (barang siapa bersabar pasti dia beruntung).
Di dalam masyarakat Jawa, terdapat beberapa paribasan yang masih digunakan hingga saat ini. Salah satunya adalah “sluman-slumun-slamet” yang menggambarkan usaha seseorang yang hendak meraih kesuksesan dengan cara yang tidak mencolok atau diam-diam.
Bisa bermakna juga, seseorang sedang melakukan ihtiar sosial politik dengan laku spiritual yang cukup besar tanpa merasa perlu memperlihatkan atau memamerkannya kepada orang lain, yang penting berhasil. Misalnya melakukan ritual puasa Dawud (sehari puasa, sehari tidak) selama setahun.
Menurut kamus basa Jawa, slamet memiliki arti selamat atau aman. Ungkapan sluman slumun slamet yang diucapkan orang Jawa sebagai doa memohon keselamatan atau keamanan dari Gusti Allah “ingkang Murbeng Dumadi” (ingkang:yang, murbeng:menghidupkan, dumadi:ciptaan atau makhluk). Sehingga kalimat “Bismillah, sluman slumun slamet” bermakna sebuah doa “Dengan Asma Allah Swt. semoga Tuhan memberikan keselamatan dan keamanan kepada makhluk ciptaan-Nya”.
Dalam peradaban Jawa berlaku sesanti (semboyan, ajaran) “sabdo kinaryo jopo” (perkataan mengandung doa). Sejalan dengan mahfudzot “kullu kalam addua” (setiap perkataan adalah doa). Saya belum mengetahui lebih dulu mana paribasan Jawa dengan mahfudzot Arab ini. Tetapi dengan ilmu “aji pangiro-iro” saya yakin lebih tua peradaban Jawa dibanding Arab.
Konon menurut kisah yang masih diragukan keabsahannya, kata “sluman” diambil dari nama Nabi Sulaiman (975 SM – 935 SM; versi lain 989 SM hingga 923 SM). Sedangkan suku Jawa yang merupakan bangsa Austronesia, pertama kali memasuki pulau Jawa antara tahun 1500 SM hingga 1000 SM.
Sulaiman as. selain dikenal sebagai seorang Nabi juga seorang Raja kaya raya, dimana kerajaannya dibangun di atas tanah dan di bawah laut. Kehebatan lainnya Nabi Sulaiman menguasai bahasa jin dan hewan.
Istilah “slumun” konon identik dengan “salamun” yang berarti permohonan keselamatan untuk seluruh Nabi dan Rasul-Nya. Maka pada hakekatnya, pepatah “sluman slumun slamet” adalah sebuah lafadz doa untuk memohon pertolongan akan keamanan dan keselamatan kepada Allah, Tuhan Semesta Alam.
Sehingga tidaklah mengherankan manakala paribasan sluman slumun slamet banyak diungkapkan masyarakat Jawa ketika hendak melakukan perjalanan, bepergian, melaksanakan hajatan atau akan mulai bekerja.
Selamat bekerja bagi bapak, ibu, saudara dan teman-teman yang telah mendapat kepercayaan dari Presiden Prabowo Subiyanto sebagai Menteri, Wakil Menteri dan Pejabat Negara setingkat Menteri. Juga selamat mengemban amanat untuk para calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah se Indonesia yang telah memenangkan kontestasi demokrasi Pilkada Serentak 2024. Doa kami kepada anda semua “Bismillah…sluman slumun slamet. Amin”.
Wallahu’alam
Solo, Akhir Desember 2024
*Penulis adalah kader Muhammadiyah