Sabtu sore, 7 Desember 2024, Museum Sandi Kota Baru menjadi saksi sebuah pesta sastra penuh makna. Acara yang berlangsung di tengah hujan deras itu tetap meriah, tak mengurangi antusiasme para penonton yang datang dari berbagai penjuru kota. Acara itu merupakan bagian dari Sastra Bulan Purnama edisi ke-159, sebuah tradisi panjang yang terus menghadirkan ruang kreatif bagi sastrawan.
Peluncuran empat buku menjadi inti dari perhelatan itu. Buku-buku tersebut adalah Cerita Landhung karya Cicit Kaswami dalam bahasa Jawa, Nyawaku Kembali Lagi karya Krishna Miharja, Namaku Ratu Malang oleh Ons Untoro, dan Sangga Ratu karya Sus S. Hardjono. Setiap karya mencerminkan keunikan pengarangnya, mulai dari puisi, cerpen, hingga cerita berbahasa Jawa.
Acara dibuka dengan sambutan Kepala Balai Bahasa Yogyakarta, yang menegaskan bahwa sastra di Yogyakarta tidak pernah mati. Dengan dipandu oleh Umi Kulsum, rangkaian acara menghadirkan penampilan yang memukau. Pembacaan puisi oleh Sus S. Hardjono dan Krishna Miharja membawa suasana syahdu, diikuti pembacaan cerpen oleh Genthong HAS dan Eko Winardi.
Ada pula pementasan tari berbasis cerpen oleh koreografer Bimo Wiwohatmo, serta nukilan sastra Jawa yang dibawakan oleh Patah Ansori. Yupi dari Magelang turut mempersembahkan lagu puisi karya Krishna Miharja, yang berhasil memikat hati penonton.
Di antara penonton, hadir sejumlah tamu spesial yang turut memperkaya suasana. Shantined, seorang penyair dari Tangerang, membacakan puisi “Februari” karya Sus S. Hardjono, sedangkan Serunie Tri Padmini dari Solo membawakan puisi “Pasar Gedhe”. Ika Zardhie Saliha juga membacakan puisi karya Krishna Miharja dengan penuh penghayatan.
Tema besar dari pentas sastra itu adalah bahwa karya adalah nyawa para sastrawan. Tanpa karya, seorang penyair atau pengarang akan kehilangan identitasnya. Hal itu terasa sangat kuat dalam buku Nyawaku Kembali Lagi karya Krishna Miharja, yang menjadi benang merah dari semua karya yang diluncurkan malam itu. Buku tersebut, bersama dengan karya-karya lainnya, menegaskan bahwa seorang penulis hanya bisa dihidupkan oleh karya yang lahir dari tangannya.
Kesuksesan para pengarang yang tampil malam itu juga mendapat pengakuan nasional. Krishna Miharja, Cicit Kaswami, dan Ons Untoro diundang ke Jakarta untuk menerima penghargaan “40 Tahun Berkarya” dari Kemendikbudristek. Sementara itu, Sus S. Hardjono baru saja menerima penghargaan Sastra Triwida 2024. Penghargaan-penghargaan tersebut menjadi bukti bahwa karya mereka bukan hanya penting bagi diri sendiri, tetapi juga bermakna bagi bangsa dan negara.
Sastra Bulan Purnama juga mengingatkan bahwa sastra adalah dunia yang memadukan kerja keras dan kebahagiaan. Dalam puisi, misalnya, ada permainan kata dan bebunyian yang mampu menciptakan kegembiraan, baik bagi penyair maupun penikmatnya. Dunia ini adalah ruang bermain yang menyenangkan, tetapi juga mencerminkan realitas dengan cara yang unik.
Sebagai penutup, cerpen karya Ons Untoro, yang dikenal unik karena menggunakan nama-nama teman sebagai tokoh, dibacakan oleh Eko Winardi. Pementasan tari oleh Bimo Wiwohatmo menjadi penutup yang indah, meninggalkan kesan mendalam bagi semua yang hadir.
Acara tersebut bukan hanya sekadar perayaan sastra, tetapi juga sebuah pengingat bahwa karya adalah nyawa. Sastra Bulan Purnama akan terus menjadi tempat para pengarang dan penyair menghidupkan nyawa mereka melalui karya, menjaga denyut kehidupan sastra di Yogyakarta tetap bergelora. []