Beranda Daerah Wonogiri Birokrasi Boros Jadi Kendala Penghematan Anggaran, Terbiasa Belanja ATK dan Rapat Teknis...

Birokrasi Boros Jadi Kendala Penghematan Anggaran, Terbiasa Belanja ATK dan Rapat Teknis Berbiaya Besar

Birokrasi
Ilustrasi diklat birokrasi. Istimewa

WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Instruksi Presiden alias Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja APBN menjadi tantangan berat bagi pemerintah pusat dan daerah. Langkah strategis ini diambil di tengah tekanan anggaran negara yang semakin besar, sementara sumber pendapatan makin menyempit.

Meski efisiensi anggaran sebesar Rp306 triliun telah ditargetkan, implementasinya tidak mudah. Pola belanja birokrasi yang cenderung boros masih menjadi kendala utama.

Melansir website ugm.ac.id dengan judul
Eisiensi Anggaran Sulit Tercapai Pakar UGM Sebut Pemerintah Hadapi Perilaku Boros dalam Birokrasi, Guru Besar UGM Bidang Manajemen Kebijakan Publik, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, mengatakan target efisiensi anggaran yang ditargetkan sebesar Rp306 Triliun memang cukup besar. Bahkan menjadi tantangan berat bagi pemerintah pusat maupun daerah.

Meski upaya efisiensi APBN bisa dilakukan, namun dalam implementasinya tidak mudah. Ini mengingat kecenderungan pola budaya birokrasi yang selalu boros membelanjakan anggaran untuk keperluan belanja rutin, dan sangat sulit diatasi.

Wahyudi Kumorotomo menyoroti kebiasaan kementerian dan lembaga dalam membelanjakan anggaran untuk belanja rutin, seperti pengadaan alat tulis kantor (ATK), rapat-rapat teknis, serta kebutuhan administratif lainnya yang sulit ditekan.

“Kementerian, lembaga di pusat maupun di daerah sudah terbiasa dengan belanja alat tulis kantor ( ATK), unsur penunjang, rapat-rapat teknis yang biayanya relatif besar, dan itu semua sangat sulit diubah,” kata Wahyudi Kumorotomo.

Baca Juga :  Meski Dipotong 35,72 Persen, ATR/BPN Eksis dengan Pinjaman Bank Dunia

Selanjutnya, jumlah kementerian dan lembaga di pusat yang bertambah sangat signifikan. Dari sebelumnya 34 kementerian dan lembaga, sekarang ini bertambah menjadi 48 kementerian dan lembaga, jelas membutuhkan dana yang lebih besar.

“Banyak kementerian dan lembaga baru yang bahkan sampai sekarang pejabatnya masih melakukan konsolidasi, menambah personil, dan semua itu tentunya membutuhkan penambahan alokasi belanja,” ujarnya.

Tantangan lainnya adalah batalnya rencana kenaikan PPN menjadi 12%. Pemerintah kini harus mencari sumber pendapatan lain, meskipun opsi yang tersedia tidak selalu mudah dan berisiko secara ekonomi maupun politik.

“Pemerintah sebenarnya bisa meningkatkan pajak progresif bagi pengusaha super kaya atau menambah pajak eksplorasi sumber daya alam seperti batu bara saat harga masih tinggi. Namun, keberanian dan komitmen politik sangat dibutuhkan untuk menjalankan kebijakan ini,” tambah Wahyudi Kumorotomo.

Di sisi lain, jika efisiensi anggaran bisa dicapai, program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) berpeluang mendapatkan pendanaan yang lebih stabil. Wahyudi Kumorotomo menilai MBG sebagai program strategis untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia, terutama dalam menurunkan angka stunting dan meningkatkan prestasi akademik anak sekolah.

Baca Juga :  2 Orang Jadi Korban Kecelakaan di Mandeyan Sindukarto Eromoko Wonogiri

“Jika dilakukan dengan konsisten dan pengawasan yang baik, program ini bisa berdampak besar. Namun, pelaksanaannya secara berkelanjutan tetap menjadi tantangan tersendiri,” tandas Wahyudi Kumorotomo.

Efisiensi anggaran bukan sekadar penghematan, tetapi juga tentang mengubah pola pikir birokrasi yang selama ini terbiasa dengan pemborosan. Tanpa perubahan signifikan, target efisiensi APBN 2025 berisiko hanya menjadi sekadar wacana. Aris Arianto