Beranda Daerah Sukoharjo Mengenang Kejayaan Sritex (5-habis): Senjakala Raksasa Tekstil Asia

Mengenang Kejayaan Sritex (5-habis): Senjakala Raksasa Tekstil Asia

Para karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) tampak berada di kawasan pabrik, dengan latar belakang foto mendiang HM Lukminto dan istri. Sebagai pendiri, sosok Lukminto selalu lekat dengan Sritex. Kini, setelah melalui perjalanan panjang, Sritex menghadapi masa sulit yang membawa perusahaan ini ke ujung perjalanannya. | Dok Joglosemar

SETIAP  perjalanan memiliki siklusnya sendiri, seperti roda yang terus berputar. Sebuah usaha lahir dari gagasan dan kerja keras, tumbuh melalui ketekunan, mencapai puncak kejayaan, lalu menghadapi tantangan yang perlahan menguji ketahanannya. Seperti halnya manusia yang mengalami fase lahir, berkembang, menua, dan akhirnya berpulang, demikian pula nasib sebuah perusahaan. Tidak ada yang abadi di puncak; kejayaan hari ini bisa menjadi kenangan di esok hari.

Sritex, yang pernah menjulang sebagai raksasa tekstil Asia, mengikuti alur kehidupan itu. Dari sebuah usaha kecil di pasar hingga menjadi pemain utama dalam industri global, namanya sempat identik dengan ketangguhan dan inovasi. Namun, seiring waktu, perubahan zaman dan dinamika bisnis mulai mengguncangnya. Kini, seperti senja yang perlahan meredup, Sritex menghadapi babak baru dalam perjalanannya—senjakala dari kejayaan yang pernah begitu gemilang, hingga kini untuk sekadar dikenang.

Petaka itu bermula dari keputusan Pengadilan Negeri Niaga Semarang pada Oktober 2024 yang menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) pailit. Putusan tersebut menjadi pukulan telak bagi perusahaan tekstil yang pernah berjaya di pasar global. Dengan keputusan ini, perjanjian damai (homologasi) yang sebelumnya telah disepakati pada Januari 2022 resmi dibatalkan, membuka jalan bagi proses likuidasi aset Sritex.

Baca Juga :  Tiga Investor Tertarik Sewa Aset Pabrik Sritex

Babak akhir dari kejayaan salah satu raksasa tekstil Indonesia pun mulai tergambar.

Dampak dari kepailitan ini segera terasa. Kurator yang ditunjuk untuk menangani proses likuidasi mengumumkan penghentian operasional perusahaan, diikuti dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pada 26 Februari 2025.

Lebih dari 10.000 karyawan kehilangan pekerjaan mereka, mayoritas berasal dari pabrik utama Sritex di Sukoharjo. Bagi ribuan pekerja yang telah bertahun-tahun menggantungkan hidup pada perusahaan tersebut, keputusan ini menjadi mimpi buruk yang tak pernah mereka bayangkan.

Tak hanya berdampak pada karyawan, gelombang PHK itu juga menjadi pukulan bagi ekonomi daerah. Di Kota Solo saja, sekitar 600 warga harus kehilangan mata pencahariannya akibat penutupan Sritex. Pemerintah daerah pun berupaya mencari solusi untuk menekan lonjakan angka pengangguran dalam waktu singkat.

Namun, nasib ribuan karyawan yang telah diberhentikan masih menjadi tanda tanya besar. Pemenuhan hak-hak mereka, seperti pesangon dan tunjangan, masih belum sepenuhnya jelas, meskipun Menteri Tenaga Kerja menegaskan bahwa pemerintah akan mengawal pemberian hak-hak tersebut.

Berbagai pihak berusaha mencari jalan keluar. Pemerintah, bersama sektor swasta, menyediakan lebih dari 10.000 lowongan pekerjaan di Solo dan sekitarnya. Namun, bagi para mantan karyawan, langkah tersebut belum tentu mampu menggantikan stabilitas hidup yang selama ini mereka nikmati di bawah naungan Sritex. Sementara itu, proses likuidasi terus berjalan.

Baca Juga :  Mengenang Kejayaan Sritex (2): Menjadi Besar Karena Tiga Prinsip Utama

Gedung-gedung pabrik yang dulu berdiri megah perlahan mulai kehilangan fungsinya. Sejarah panjang Sritex, dari sebuah industri rumahan hingga menjadi salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, kini hanya tinggal kenangan. Senjakala telah tiba, menutup lembaran terakhir dari kisah kejayaannya. Suhamdani | Berbagai Sumber