SEMARANG – Kebebasan pers, termasuk ruang bagi pers mahasiswa untuk menyuarakan fakta dan kebenaran, belakangan ini menghadapi tekanan serius. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang semestinya menjadi salah satu pilar kritis dalam dunia akademik mulai mendapat intimidasi akibat karya-karya jurnalistik yang mereka terbitkan.
Sejumlah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di Jawa Tengah mengaku mendapat intimidasi dari oknum TNI setelah menerbitkan karya jurnalistik yang mengkritik institusi tersebut. LPM bahkan diminta menghapus berita yang dianggap merugikan, disertai ancaman menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Salah satu kasus intimidasi dialami LPM Shoutul Quran (LPM SQ) dari Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo. Rio (bukan nama sebenarnya), awak redaksi LPM SQ, mengungkapkan bahwa tekanan muncul setelah mereka menerbitkan surat terbuka kepada Komando Distrik Militer (Kodim) 0707 Wonosobo pada Rabu (16/4/2025).
Surat terbuka itu mempertanyakan tindakan anggota Kodim 0707 yang diduga melakukan kekerasan terhadap awak redaksi saat meliput kericuhan di markas Kodim, Senin (24/3/2025). Saat itu, handphone milik salah satu anggota LPM SQ dibanting saat melakukan siaran langsung.
“Selepas surat terbuka terbit, dua awak redaksi kami mendapatkan teror dari nomor-nomor tidak dikenal,” kata Rio kepada Tribun, Sabtu (26/4/2025).
Menurut Rio, pimpinan LPM berinisial D ditelepon hingga 13 kali sampai tengah malam pada Minggu (20/4/2025). Anggota lainnya, berinisial F, juga menerima telepon dan pesan singkat yang berisi ajakan bertemu untuk “berkoordinasi” terkait pemberitaan tersebut.
Selain itu, Rio menyebut ada pesan berantai dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNSIQ yang meminta LPM SQ menghapus berita terkait Kodim 0707 Wonosobo. Namun permintaan tersebut ditolak.
Menggunakan aplikasi Getcontact, dua nomor misterius yang meneror awak redaksi diketahui memiliki tagar nama “Qoyum Mustangin” dan “Nazila Nugraheni”. Rio menduga, Mustangin adalah intel Kodim dan Nazila pejabat kampus.
Akibat teror tersebut, Rio mengatakan, dua anggota LPM mengalami trauma, sementara suasana kerja redaksi juga menjadi penuh kehati-hatian.
“Kami menjadi lebih berhati-hati menerbitkan berita. Ada pertimbangan tambahan yang sebelumnya tidak ada,” ujarnya.
Untuk menghadapi intimidasi itu, Rio telah berkonsultasi dengan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, serta Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) UNSIQ. Namun, menurutnya, belum ada respon dukungan berarti dari pihak kampus.
“Kalau memang berita kami dianggap merugikan, seharusnya dibantah secara terbuka, bukan diteror,” tegasnya.
Kasus serupa juga dialami LPM Justisia UIN Walisongo Semarang. Wati (bukan nama sebenarnya), anggota redaksi LPM Justisia, mengungkapkan mendapat intimidasi setelah memberitakan dugaan intimidasi TNI terhadap mahasiswa dalam diskusi bertajuk “Fasisme Mengancam Kampus” di Kampus 3 UIN Walisongo pada Senin (14/4/2025).
Wati mengatakan, sehari setelah diskusi, dirinya ditelepon oleh seseorang yang belakangan diketahui adalah Rokiman, Babinsa Kelurahan Tambakaji, Ngaliyan. Rokiman protes karena wajahnya tidak disamarkan dalam pemberitaan, dan mengancam akan menggunakan UU ITE untuk mempersoalkannya.
“Kata Rokiman, berita itu bisa bikin masalah panjang dan dapat dilaporkan,” ujar Wati.
Tekanan juga dialami Fredrik, anggota LPM Reference UIN Walisongo. Ia mengaku dihubungi nomor tak dikenal selama dua hari berturut-turut, 15-16 April 2025, setelah memberitakan dugaan intimidasi aparat di kampusnya.
“Saya resah karena menyuarakan kebenaran justru mendapat teror,” ungkap Fredrik.
Fredrik menyebut kini tengah berkonsolidasi dengan LPM lain untuk melaporkan intimidasi tersebut ke pihak rektorat.
Sementara itu, Fariz dari Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, mengungkapkan bahwa dirinya mendapat pesan WhatsApp dari Rokiman yang meminta berita menampilkan fotonya dihapus. Rokiman bahkan sempat mendatangi lokasi dekat kantor redaksi Amanat.
“Kami tidak menghapus berita itu karena tidak melanggar kode etik jurnalistik,” tegas Fariz.
Ia menambahkan, tindakan aparat tersebut sudah masuk kategori teror yang mengancam kebebasan pers.
“Kami memilih melaporkan kejadian ini ke organisasi pers, bukan ke kampus,” ujarnya.
Respon Kodam
Menanggapi laporan intimidasi terhadap pers mahasiswa, Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) IV/Diponegoro, Letkol Inf Andy Soelistyo, menyatakan bahwa keterangan pers mahasiswa tersebut masih sepihak. Hingga kini, pihak Polisi Militer belum menerima laporan resmi mengenai dugaan intimidasi tersebut.
“Kalau ada yang merasa ditekan atau diminta menghapus berita, silakan melapor ke Polisi Militer atau Kepolisian. Biar bisa dibuktikan secara ilmiah melalui digital forensik,” kata Andy.
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.














